Oleh: Karta Raharja Ucu (@kartaraharjaucu)
Wartawan Republika
"... Contoh saja di Arab Saudi, hampir tidak ada demonstrasi. Padahal Arab Saudi adalah negara di mana Islam bermula."
Potongan kalimat itu tak sengaja saya dengar dari seorang nara sumber yang diundang ke sebuah stasiun radio. Entah siapa nara sumbernya. Orang biasa atau tokoh ternama. Yang jelas, potongan kalimat itu bermaksud menyindir rencana demonstrasi yang akan dilakukan umat Islam atas penistaan Alquran yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pada Jumat, 4 November 2016.
Umat Islam di Indonesia dinilai reaktif dan cenderung anarkis saat menghadapi permasalahan yang bersinggungan dengan agama. Padahal, menurut si nara sumber, di Arab Saudi, negeri di mana Islam lahir dan besar, nyaris tidak ada demonstrasi yang dilakukan rakyatnya.
Memang benar, hampir tidak ada pemberitaan rakyat Arab Saudi menggelar unjuk rasa menuntut sesuatu kepada pimpinan daerah atau bahkan rajanya. Kalau pun ada, Kerajaan Arab Saudi sudah lebih dulu mengamankan para pendemo karena demonstrasi dinilai tidak sejalan dengan syariat Islam, nilai dan norma masyarakat Saudi. Perlu diingat, Saudi menganut sistem pemerintahan monarki mutlak atau monarki absolut, di mana kuasa rajanya memiliki kuasa penuh untuk memerintah negaranya. Dan negeri yang diberkahi itu menggunakan hukum Islam yang ditentang keras para pelaku 'pembela' HAM karena dinilai tidak manusiawi.
Sementara Indonesia menggunakan sistem presidensial, yakni sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasan legislatif. Presiden Indonesia dipilih langsung rakyatnya melalui mekanisme pemilu. Demokratis. Sistem hukum di Indonesia pun tidak murni menggunakan hukum Islam. Setidaknya ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yakni sistem hukum adat, sistem hukum Eropa Kontinental, dan sistem hukum Islam. Tetapi, setiap warga negara yang terbukti bersalah harus dihukum melalui persidangan dan hukum negara.
Coba tengok ucapan Wasekjen MUI Pusat, Tengku Zulkarnain ketika diminta pendapat soal hukuman apa yang pantas untuk seorang penista agama. "Untuk kejadian melecehkan Alquran, kalau memakai hukum Islam, pelaku harus dihukum mati, dipotong kaki dan tangannya atau minimal diusir dari Indonesia."
Dalam kasus penistaan Alquran yang dilakukan Basuki, kata Tengku Zulkarnain, umat Islam tidak meminta menggunakan hukum Islam, melainkan hukum negara. "Kalau kesalahan kepada pribadi-pribadi Islam mungkin bisa dimaafkan, tetapi kalau kesalahan terhadap agama, menghina Allah, menghina Rasulullah, dan menghina Islam, ya harus dihukum."
Lalu jika para pendukung Basuki ingin umat Islam di Indonesia mengikuti jejak Saudi, apakah mereka rela jika hukum Islam dipakai untuk menindak perilaku yang dilakukan junjungannya? Standar ganda biasanya dipakai untuk mengangkangi umat Muslim.
Umat Islam diminta berlaku santun dan menjalankan ajaran Rasulullah Shallallahu alaihi Wa Sallam secara kaffah. Namun, ketika seorang Muslim menerapkan syariat Islam, malah disebut fanatik, tidak sesuai budaya Indonesia, kearab-araban, anarkis dan tidak toleran. Umat Islam Indonesia diminta untuk demokratis menyuarakan pendapatnya. Tetapi, saat menyampaikan pendapat melalui cara-cara demokratis, seperti unjuk rasa, malah dituding gampang tersulut emosinya.
Lewat ucapannya yang membawa-bawa surah Al Maidah ayat 51 dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu, Basuki yang punya panggilan akrab Ahok itu sudah melewati batas kewenangannya sebagai seorang kepala daerah, juga sebagai seorang non-Muslim. Ucapannya seperti duri dalam daging. Menyakitkan.
"Ini bukan soal Ahok keturunan Cina atau non-Muslim, tapi soal Ahok melecehkan Alquran dan menyinggung akidah umat Islam," kata Alwi Shahab, sejarawan Jakarta.
Pascadilantik menjadi gubernur Jakarta menggantikan Joko Widodo yang naik takhta menjadi presiden ketujuh RI, Ahok kerap menjadi newsmakers dengan sejumlah kebijakan, sikap kontroversial, dugaan keterlibatan di sejumlah kasus korupsi, melawan parpol, sumpah serapah kepada warga Jakarta, hingga inkonsistensinya menggunakan kendaraan partai politik pada Pilgub DKI. Padahal beberapa pekan sebelum memutuskan maju lewat partai, ia menegaskan memilih lewat jalur independen untuk mengikuti Pilgub DKI.
Pria kelahiran Belitung Timur 50 tahun silam itu terkenal sebagai pejabat publik yang enteng berbicara kasar. Dan penistaan Alquran yang dilakukannya menjadi titik klimaksnya. Siapa menabur angin, dia menuai badai. Ahok tak sadar ucapannya di Kepulauan Seribu sudah menabuh genderang perang dengan umat Islam.
Belum sembuh luka umat Islam karena seabrek kebijakan Ahok yang merugikan. Sebut saja pelarangan takbiran keliling, melarang acara zikir nasional di Monas, hingga pembongkaran sejumlah masjid, Ahok kembali berulah dengan menistakan ayat Alquran. Sekali lagi, ini bukan soal Ahok non-Muslim atau memiliki darah Cina, tapi ini soal penghinaan kepada kitab suci agama yang diakui di Indonesia. Agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia.
Logikanya begini, jika penghina presiden sebagai simbol negara saja segera ditangkap dan didorong ke sel tahanan, lalu kenapa polisi tidak memberlakukan cara serupa kepada penista Alquran, kitab suci yang diturunkan Tuhannya presiden.
Indonesia dibangun dengan pondasi ideologi Muslim yang berurat dan berakar kuat. Tengok saja perjuangan para santri hingga kiai. Mulai dari Pangeran Diponegoro hingga KH Ahmad Dahlan. Dari KH Hasyim Asyari hingga BJ Habibie. Atau entah berapa juta umat Muslim tak tercatat namanya yang sudah menyedekahkan harta, pemikiran, doa, hingga nyawa demi republik ini berdiri dan terbebas dari penjajah. Lantas pondasi kearifan, kesantunan, dan keberkahan negeri ini dinodai dengan sumpah serapah dan makian dari seorang pejabat publik.
Gilanya, situasi seperti saat ini melahirkan (yang katanya) para pembela-pembela kaum minoritas. Mereka bersebrangan. Mencela ulama dan menyuguhkan paradigma pemikiran terbalik. Meminta penentang Ahok tidak membawa-bawa atribut agama. Lupa, jika mereka sendiri berkubang dan bersembunyi di balik peci atau ayat suci.
Saya jadi teringat Emha Ainun Nadjib yang pernah berkirim surat kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Rasanya heran melihat para pendukung Ahok yang beragama Muslim, mengaku cinta kepada Allah, Alquran, dan Rasulullah. Tetapi, menyalak ganas membela penista Alquran dan memaki saudara seiman yang meminta keadilan atas kelakuan Ahok.
"Kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurigai, menindas dan mengisap hanya untuk beberapa lembar uang," tulis Cak Nun mengutarakan keresahannya kepada Rasulullah.
Aksi besok bakal menjadi kenduri cinta dan bukti ghirah umat Islam kepada agamanya. Riak-riak demonstrasi di berbagai daerah bakal menciptakan ombak besar pada Jumat besok. Dan bukan tidak mungkin, ombak itu bakal menggulung siapa saja yang mencoba membentengi Ahok dari tuntutan hukum.
Demonstrasi adalah hak konstitusional. Unjuk rasa juga bukan kejahatan politik, melainkan bagian dari demokrasi. Biarlah semua berjalan sesuai ketentuan. Mungkin permintaan maaf Ahok sudah diterima, tapi umat Islam tetap menuntut proses hukum berlanjut tanpa banyak retorika dan tanpa akrobat alias penyelewengan. Seperti seorang pengendara sepeda motor yang lupa memakai helm dan diberhentikan polisi. Pengendara itu meminta maaf tapi dia tetap kena tilang. Polisi mungkin memaafkan kekhilafan pengendara motor tersebut, tapi hukum harus ditegakkan.
"Aksi bela Islam bukan aksi anti Cina, bukan aksi anti Kristen, serta bukan juga aksi SARA, tetapi semata-mata merupakan aksi anti penistaan agama," kata Imam Besar FPI, Habib Rizieq.
Pernyataan Habib Rizieq menjadi jaminan, jika demo 4 November bukan karena latar belakang suku, agama atau ras Ahok. Tapi semata-mata menuntut keadilan atas apa yang dilakukan Ahok.
“Perlu kami tegaskan kepada Polda dan Pangdam bahwa aksi kami pada 4 November adalah aksi penegakan hukum atau jihad konstitusi, bukan aksi SARA atau anti Kristen. Jadi murni aksi penegakan hukum,” kata Ketua Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI), Ustaz Bachtiar Nazir, ketika ulama dan pimpinan ormas Islam bertemu pimpinan DPR RI, di gedung parlemen, Jakarta, Jumat (28/10).
“Kedatangan kami ke Istana Negara bukan untuk membuat kerusuhan, tapi minta kepada presiden untuk menegakkan hukum dan tidak mengintervensi kasus Ahok,” ujar Bachtiar menegaskan.
Demo nanti bukan dilatari SARA. Justru ucapan berduri dari bibir Ahok yang menjadi biang kerok keresahan beragama di Ibu Kota. Ucapannya pula yang menggerakan unjuk rasa namun kerap diplintir menjadi isu berbau SARA oleh para pendukungnya. Semoga saja aksi nanti tidak menelurkan embrio-embrio kebencian baru sesama anak bangsa yang bisa menceraiberaikan NKRI.
Seperti nasihat bijak dari ibu angkat saya yang berbeda keyakinan. "Le, kita memang berbeda akidah, berbeda agama. Tapi bukan berarti perbedaan itu membuat Ibu membenci kamu yang menyembah Tuhan yang berbeda."