Oleh: Ferry Kisihandi
Wartawan Republika
Sehari lagi, warga AS akan menyalurkan aspirasinya melalui bilik suara. Pada Selasa (8/11) waktu setempat, mereka menetapkan pilihan untuk menentukan siapa yang kelak akhirnya menjadi presiden selanjutnya menggantikan Barack Hussein Obama.
Hillary Clinton dari Partai Demokrat yang pernah menjabat menteri luar negeri di era Obama ataukah rivalnya, miliarder Donald Trump dari Partai Republik, yang bakal mendulang dukungan mayoritas sebagai tiket ke Gedung Putih.
Ada sejumlah catatan selama Obama, presiden berkulit hitam pertama, memimpin negara adi daya tersebut selama dua periode, yakni masa jabatan tahun 2009 hingga Januari 2017. Mengawali periode pertama pemerintahannya, Obama menempuh langkah besar.
Ia memperbaiki hubungan dengan dunia Islam setelah serangkaian kejadian seperti serangan 11 September 2001 yang menuntun pada invasi AS terhadap Afghanistan. Presiden George W Bush kala itu menyerukan perang global terhadap terorisme.
Sayangnya, umat Islam yang tak terlibat dalam serangan yang dilakukan sekelompok kecil Muslim itu, terkena imbas dari perang yang dikobarkan Bush. Obama mengunjungi Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir pada 4 Juni 2009 sebagai langkah awal memperbaiki keadaan.
Ia menyampaikan pidato yang menegaskan keinginan AS membuka lembaran baru dalam hubungan dengan dunia Islam yang didasari rasa saling menghormati. Di dalam negeri, sikap ramah terhadap Muslim juga ia lakukan.
Dalam pidato state of union terakhirnya di Kongres pada 12 Januari 2016, misalnya, Obama menegaskan, saat politikus AS menghina Muslim, itu membuat AS rendah di mata dunia. Ia merespons pernyataan-pernyataan tak bersahabat Trump terhadap Islam.
Obama juga menempuh jarak 80 km dari Gedung Putih, Washington DC, menuju Masjid Islamic Society of Baltimore (ISB), Maryland, pada 3 Februari 2016. Di sana, ia menegaskan, Muslim merupakan bagian tak terpisahkan dari Amerika.
Meski tak mungkin berpaling dari Israel, pemerintahan Obama bersikap kritis terhadap sekutu terdekatnya itu. Obama menentang perluasan permukiman Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat karena menjadi batu sandungan bagi terwujudnya perdamaian Palestina-Israel.
Di sisi lain, Obama menekankan rekonsiliasi selama ia memerintah. Ia membuka kembali hubungan diplomatik dengan Kuba setelah hampir setengah abad membeku. Di bawah kepemimpinannya, AS juga mencapai kesepakatan penyelesaian isu nuklir dengan Iran.
Obama berani mengambil risiko karena kesepakatan dengan Teheran membuat Israel dan Arab Saudi meradang. Dua mitra dekat AS tersebut khawatir program nuklir Iran mengantarkan negara para mullah itu memiliki senjata nuklir yang membahayakan mereka.
Langkah lainnya adalah kunjungan Obama ke Vietnam, negara yang pernah menjadi musuh perang, sembari mencabut embargo penjualan senjata terhadap negara tersebut. Hal sama dilakukan kepada Myanmar yang selama ini dikuasai junta militer.
Meski demikian, AS bersama sekutunya telah ikut memicu terjadinya perang sipil di Suriah. Perang yang telah berlangsung selama lima tahun itu menyebabkan Suriah porak-poranda. Hal yang lebih memprihatinkan adalah terciptanya krisis pengungsi dunia.
Mereka juga membuat Libya kini bak tanah tak bertuan. Setelah pemimpin Libya, Muamar Qadafi tewas, pemerintahan baru ternyata lemah. Tak ada rencana keluar yang disiapkan negara-negara Barat setelah mereka menggulingkan pemerintahan Qadafi.
Kini para milisi yang ikut menggulingkan Qadafi malah saling berebut wilayah kekuasaan dan tak sudi masuk dalam pemerintahan. Mereka lebih memilih tetap menguasai wilayah yang sebelumnya mereka duduki karena secara ekonomi menguntungkan.
Pemerintahan Obama juga membidik Asia sebagai fokus perhatian. Di sisi lain, Cina tak mau kalah. Maka, kini Asia termasuk kawasan Asia Tenggara menjadi medan pertempuran bagi AS dan Cina untuk menancapkan pengaruh dan hegemoninya.
AS memang berusaha mendekati negara-negara ASEAN melalui sengketa Laut Cina Selatan. Mereka menekankan pentingnya kebebasan bergerak di kawasan itu. Namun, untuk sementara AS tampaknya kurang berhasil menguasai pertempuran di Asia.
Filipina yang selama ini bersekutu dengan AS dan mempunyai sengketa dengan Cina di Laut Cina Selatan, justru mendekat ke Cina. Dalam konteks ini, Cina telah membuka akses kepada nelayan Filipina ke Scarborough Shoal di Laut Cina Selatan yang selama ini mereka klaim.
Demikian pula Malaysia yang punya sengketa wilayah Laut Cina Selatan, membangun kedekatan dengan Cina. Malaysia menjalin kesepakatan pertahanan melalui rencana mereka membeli empat kapal AL buatan Cina.
Jejak Obama, soal sikap ramah terhadap dunia Islam, langkah rekonsiliasi, dan sikap kritis terhadap permukiman Yahudi, bisa saja dilanjutkan atau mungkin diperkuat bila penggantinya berasal dari partai yang segaris dengan kebijakannya.
Pendekatan terhadap Asia juga tergantung pada presiden baru nanti, apakah Clinton atau Trump yang duduk di Gedung Putih, akan mampu mengambil hati negara-negara di kawasan itu. Diharapkan, presiden AS baru pun kelak mampu ikut menyelesaikan krisis Suriah.
Sebab, hingga kini pembicaraan AS dan Rusia, yang merupakan pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad, belum membuahkan hasil. Mestinya ada peta jalan untuk menyelesaikan konflik di sana. Penyelesaian politik bisa ditempuh lewat pemilu.
Hadirkan pengawas independen termasuk dari PBB untuk mengawal pemilu tersebut. Perlu segera ada penyelesaian konflik Suriah apalagi warga negeri tersebut berharap penderitaan mereka akibat perang sipil secepatnya berakhir.
Saat ini, mereka menderita di tanah kelahirannya dan terlunta di tanah asing sebagai pengungsi.