Kamis 10 Nov 2016 07:31 WIB

Benarkah Ada Penistaan Alquran?

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono

Kasus dugaan penistaan Alquran oleh Basuki Tjahaya Purnama masih menjadi pembicaraan hangat. Demo besar umat Islam yang kabarnya mencapai angka dua juta orang --juga diikuti sebagian kecil umat non-Islam-- pada 4 November lalu tak juga menyurutkan pemberitaan kasus ini.

Pro-kontra atas kasus tersebut tak bisa terhindarkan dan terus menggelinding. Pangkal persoalannya adalah ucapan Basuki (Ahok) yang saat itu masih menjabat gubernur Jakarta di hadapan masyarakat Kepulauan Seribu. Meski belum waktunya kampanye dan memakai baju dinas, Ahok membahas soal pilih-memilih pada awal Oktober lalu.

Berikut ini kutipan pernyataan Ahok yang kemudian meledak menjadi masalah besar. “Jadi, jangan percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak-ibu enggak bisa pilih saya karena dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem gitu lho. Itu hak bapak-ibu, ya”.

Untuk menilai ada-tidaknya penistaan agama, sangat perlu kita mengkaji secara utuh kalimat dan suasana yang terjadi. Dengan begitu, kesimpulan yang diperoleh akan lebih lengkap dan tak ada yang terlewati.

Hal pertama yang perlu dikaji adalah siapa dan apa posisi orang yang menyampaikan dugaan penistaan itu. Keberadaan orang yang membuat pernyataan akan ikut menentukan tendensi dari isi omongan itu, apakah menistakan atau tidak. Orang yang tak memiliki posisi kuat (kuasa) atau pengetahuan luas akan cenderung tidak berani mengatakan hal yang sensitif.

Poin pertama itu terkait dengan hal kedua, yakni situasi yang ada pada saat itu. Di hadapan banyak orang, hanya orang-orang tertentu yang mampu dan berani bicara lugas dan tanpa ada rasa khawatir apalagi itu menyinggung keyakinan beragama orang lain. Bisa jadi, karena karakternya, seseorang bisa bicara keras tanpa merasa hal itu menyinggung atau mengenai pihak lain.

Namun, lantaran berada di hadapan khalayak, seseorang dalam menyampaikan ucapan akan lebih berhat-hati. Dengan demikian, kecenderungan untuk melecehkan atau menistakan keyakinan orang lain akan lebih ditekan, kecuali ada kepentingan besar yang ingin digapai. Hasrat besar inilah yang terkadang membuat seseorang kian berani melawan tengganng rasa/kelaziman/tata karma.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement