Sabtu 12 Nov 2016 20:00 WIB

Siapa Lagi Penerus Woodhull?

Kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, memberikan pidato atas kekalahannya dalam pemilu di New York, Rabu (9/11).
Foto: REUTERS/Carlos Barria
Kandidat Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, memberikan pidato atas kekalahannya dalam pemilu di New York, Rabu (9/11).

Oleh: Ferry Kisihandi

Wartawan Republika

Diliputi suasana kesedihan, Hillary Clinton berdiri di hadapan pendukung dan tim kampanyenya pada Rabu (9/11). Ia meminta maaf. Sebab kenyataan tak sesuai impian dan cita-cita yang mereka harapkan selama kampanye hingga hari pemilihan presiden pada Selasa (8/11).

Clinton  gagal mendapatkan tiket ke Gedung Putih untuk menggantikan posisi Presiden Barack Hussein Obama. Donald Trump, rivalnya dari Partai Republik, lebih dipilih warga AS untuk menjadi presiden berikutnya.

Padahal, dalam kampanye terakhir di Philadelpia, Senin (7/11), Clinton beserta para pendukungnya meyakini sebuah sejarah baru akan terwujud di hari pemilihan. Clinton menjadi presiden pertama perempuan yang memimpin negara adi daya itu.

Namun, Clinton realistis. Ia mengaku kalah dari rivalnya dan menyampaikan selamat kepada Trump. Ia menegaskan, Trump akan menjadi presiden bagi seluruh warga AS, maka berilah Trump kesempatan.

Ia melanjutkan, saat ini, dirinya, sebagai kandidat presiden perempuan, belum berhasil meraih posisi tertinggi di pemerintahan. Namun, suatu hari nanti seseorang yang lain bakal mampu mewujudkannya. Ia pun menyampaikan pesan kepada perempuan AS.

Mereka mesti yakin memiliki kekuatan untuk menggapai semua kesempatan dan menjadikan mimpi-mimpi mereka menjadi kenyataan. Pascakekalahan Clinton, Presiden Barack Obama yang dikutip Washington Post juga menyampaikan pidatonya.

Ada bagian khusus yang Obama sampaikan terkait peran perempuan dalam politik. Meski kalah dalam pertarungan pilpres, Obama menyatakan bangga terhadap Clinton. Dalam pandangan dia, pencalonan Clinton sebagai presiden merupakan sebuah sejarah.

Tak hanya itu, hal lebih penting, menurut Obama, Clinton telah menyampaikan sebuah pesan kepada anak-anak perempuan di seluruh penjuru AS. Tak mustahil bagi mereka berada di puncak tertinggi dalam ranah politik AS.

Mungkin saja, ke depannya kandidat perempuan kembali muncul dalam perebutan posisi presiden. Bahkan, sejumlah kalangan telah mendorong ibu negara, Michelle Obama, untuk bertarung dalam pilpres  empat tahun mendatang.

Langkah Clinton dan mungkin kelak Michelle, seakan merupakan sebuah kesinambungan jalan yang ditempuh Victoria Woodhull berabad lalu. Woodhull yang dicalonkan di New York, Mei 1872 diusung Equal Rights Party.

Partai ini mendukung persamaan hak bagi perempuan termasuk dalam memberikan suara dalam pemilu. Woodhull bertarung melawan calon dari Partai Republik, Ulysses S Grant dan calon yang diusung Demokrat, Horace Greeley.

Pada hari pemungutan suara, 5 November 1872, Woodhull tak bisa memberikan suaranya di bilik suara. Karena memang saat itu perempuan tak memiliki hak suara. Baru pada 1920, AS meratifikasi Amendemen ke-19 yang memberi hak suara kepada perempuan.

Saat itu, Woodhull tahu, ia tak bisa memberikan suaranya. Namun, pencalonan dirinya sebagai presiden merupakan bagian perjuangan persamaan hak bagi perempuan termasuk dalam politik. Juga kesempatan bagi perempuan menjabat sebagai presiden.

Berbeda dengan Eropa yang saat ini paling tidak memiliki tiga sosok perempuan yang memegang wewenang besar. Mereka adalah Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris Theresa May, dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini.

Merkel yang berasal dari Partai Kristen Demokrat (CDU), memimpin sejak 2005. Kini ia menjalani periode ketiganya. Merkel merupakan perempuan tangguh. Ia membawa Jerman sebagai salah satu negara pilar di Eropa.

Pada 2015, majalah Forbes menempatkan Merkel di urutan kedua orang yang paling berkuasa. Ini pertama kalinya perempuan menyentuh level tersebut. Setahun kemudian, giliran majalah Time memilih Merkel sebagai ‘Person of the Year’. Alasannya, Jerman di bawah kepemimpinan Merkel memainkan peran penting dalam krisis pengungsi yang melanda Eropa. Ia membuka pintu bagi para pengungsi.

Lalu, ada Theresa May merupakan perdana menteri perempuan kedua setelah Margareth Tatcher. Ia menggantikan David Cameron setelah referendum 23 Juni 2016 yang menyatakan Inggris keluar dari Uni Eropa. Kini, mantan menteri dalam negeri itu harus membenahi urusan dalam negeri dan luar negeri pascareferendum.

Di sisi lain, ada Federica Mogherini. Ia menggantikan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa sebelumnya yang juga perempuan, Catherine Ashton pada 2014. Tugas Mogherini juga tak bisa dianggap enteng. Ia mewakili Uni Eropa dalam berbagai penyelesaian persoalan dunia. Salah satunya, Mogherini menjadi bagian dari suksesnya perundingan terkait program nuklir Iran.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement