REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, Wartawan Republika
Tahun 2016 baru saja terlewati. Jejak langkah dan coretan tinta yang kita gores sepanjang perjalanan tahun lalu rasanya belum hilang dari benak. Beraneka warnanya. Susah-senang, baik-buruk, serta sukses-gagal bak panorama yang menghiasi perjalanan hidup kita.
Bentang harapan kini sudah mengadang di sepanjang tahun depan. Lazimnya sebagai insan sejati, keinginan menggapai kehidupan yang lebih baik sudah barang tentu menjadi dambaan setiap orang. Bahasa gampangnya, kita ingin sepanjang tahun ini lebih sukses dari tahun lalu. Bagi yang berorientasi untuk mengetuk pintu langit, kebaikan harus lebih banyak lagi tertanam di setiap tingkah serta ucapan sembari mengurangi perilaku tak terpuji selama ini.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita sudah pasti menginginkan keadaan yang lebih baik lagi, dalam arti kualitas kehidupan kita lebih meningkat: baik jasmani maupun rohani. Jika setiap individu memiliki harapan seperti itu, yakinlah bahwa kondisi lingkungan dan negara akan berpeluang menjadi lebih baik pula.
Sepanjang tahun lalu, keprihatinan banyak pihak menggumpal karena maraknya caci maki dan saling fitnah yang begitu kasar memenuhi jagat maya. Situasi ini tentu tak bisa dibiarkan terus-menerus. Meski itu terjadi di dunia maya, dampaknya bisa sangat luas di alam nyata lantaran kehidupan manusia saat ini begitu dominan diwarnai oleh kicauan di dunia maya.
Kata-kata begitu kasar yang tertera di jagat maya terlalu sering kita temui. Aneka fitnah dan upaya memutarbalikan fakta seperti tak pernah sepi dalam keseharian. Banyak teman-teman yang sering harus memendam geram begitu membuka akun di media sosialnya. Sumpah serapah bertebaran menghiasi dinding media sosial. Tak ada rasa segan ataupun malu mengeluarkan umpatan kasar.
Informasi fitnah berupa rekayasa gambar dan berita sudah menjadi hal biasa. Anehnya, informasi 'sampah' itu juga mendapat tanggapan --baik yang mendukung maupun yang menolak-- dari kedua belah pihak dengan sama banyaknya. Etika dan moral seakan sudah tak lagi menjadi pegangan meraka. Usai mencaci, seolah hanya kepuasan yang memenuhi hati dan pikiran mereka.
Keramahtamahan sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran nyaris tak tergambar lagi. Nafsu amarah lebih mewarnai setiap kalimat yang terkirim di laman mereka. Ini belum termasuk munculnya gambar-gambar dan ujaran bernada porno yang tak juga disensor oleh pemegang regulasi dunia maya.
Menghapus gambar dan ungkapan porno di dunia maya sebenarnya jauh lebih mudah dilakukan pemerintah. Nyatanya ini juga tak mendapat perhatian. Pemerintah kini lebih terfokus kepada penutupan situs-situs yang bernada provokatif atau yang dianggap punya potensi memecah-belah bangsa, meski makna memecah-belah ini bersifat sepihak dan karena itu juga masih layak diperdebatkan.
Imbauan kepada seluruh netizen (pengguna internet) untuk berkomentar lebih santun di ruang publik mungkin perlu terus digelorakan oleh para pemangku kekuasaan. Pemerintah tak boleh lelah untuk senantiasa mengingatkannya. Tentu ini tidak mudah. Namun, menutup akun mereka di media sosial akibat penggunaan kata-kata kasar juga belum menjadi suatu kelaziman lantaran tak dianggap sebagai hal yang membahayakan untuk kelangsungan hidup bernegara. Karena itu, persoalan ini lebih mungkin untuk dibiarkan saja oleh pemilik kewenangan atau pihak regulator.
Ucapan-ucapan bernada kasar, menebar kebencian, memfitnah, memutarbalikan fakta, dan sejenisnya semestinya tak perlu ditanggapi. Masyarakat harus membiasakan diri untuk tak memberi dukungan komentar atau ‘tepuk tangan’ atas kiriman tulisan seperti itu.
Sekalipun ada fakta aneh atau ucapan tak masuk akal yang disampaikan oleh orang lain atau bahkan seorang tokoh, seharusnya itu tak harus ditampilkan dengan bumbu ucapan kasar atau cacian. Masyarakat sudah pintar untuk menilai benar-tidaknya fakta atau peristiwa yang terjadi.
Sebaliknya pula bagi pemerintah, situs yang membuat informasi menyesatkan --sekalipun itu mendukung sikap penguasa-- mestinya juga ditertibkan. Membiarkan situs semacam ini tetap beroperasi, sama saja dengan memelihara serta menyuburkan kebencian berkembang di masyarakat. Pemerintah harus adil dalam bersikap dan bertindak karena mereka dipilih untuk menaungi semua kelompok masyarakat, bukan hanya menjadi pemimpin untuk kaum yang mendukungnya.