REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono
Peperangan di dunia maya begitu marak dalam beberapa tahun belakangan ini. Hampir di semua penjuru dunia hal itu terjadi. Apalagi, kalau itu terkait dengan pemilihan umum atau pemilihan presiden/kepala daerah, suasana panas kian terasa.
Panasnya perang di dunia maya tak hanya terkait dengan upaya saling serang dan caci maki. Membolak-balik informasi atau bahkan menyebarkan berita bohong atau palsu pun sudah menjadi hal yang biasa. Tindakan tak patut ini yang amat disayangkan dan sesungguhnya tak boleh terjadi.
Gambaran seperti itu juga mewarnai pemilihan presiden di Amerika Serikat pada 2016 lalu. Perang dahsyat dan saling menjual berita bohong juga tak terhindarkan antara kubu Donald Trump yang kemudian memenangkan kontestasi dan kubu lawan, Hillary Clinton.
Sebuah media menceritakan, seorang remaja berusia 16 tahun di AS dan bernama Victor mendapat rezeki berlimpah dari peperangan di dunia maya itu. Ia mengelola situs yang dibuat secara dadakan dalam rangka kampanye pilpres di sana.
Situs itu hampir sepenuhnya berisi berita rekayasa atau bombastis. Istilah zaman sekarang, situs itu sengaja memproduksi berita-berita sampah dan bohong alias hoax. Anehnya, entah masyarakat di sana sengaja percaya atas isi situs tersebut atau hanya iseng membukanya, pengunjungnya membeludak. Tingginya tingkat kunjungan situs itu membawa rezeki berlimpah bagi remaja tersebut.
Selama setahun lebih sedikit, anak itu mendapat pemasukan sekitar Rp 2,6 miliar. Sungguh suatu jumlah yang menggiurkan bila semata hanya dinilai dari sisi nominal dan mengabaikan dampak negatif yang bisa muncul.
Apakah masyarakat di sana memang menyukai berita bohong? Saya tidak yakin jika itu yang menjadi jawabannya. Dalam kehidupan masyarakat rasional yang melek teknologi informasi dan rata-rata tingkat pendidikan warganya lebih tinggi dari Indonesia, tentu informasi bohong lebih dianggap sampah yang tak perlu ditengok. Kalaupun mereka mengunjungi situs-situs yang memproduksi berita hoax, mungkin ini lebih didasari oleh rasa permusuhan atau antipati pada lawannya dan suka melihat kelompok lain ternistakan, daripada ingin melihat kebenaran yang terjadi.
Berkobarnya rasa permusuhan di dunia maya itu juga terjadi di negara kita. Saat pilpres lalu, kabarnya ada seorang pegawai negeri sipil yang rela melepaskan baju kebesaran Korpri ‘hanya’ untuk menjadi pengelola situs bombastis atau sensasional. Dengan penghasilan sekitar Rp 600 juta hingga Rp 700 juta setahun, orang itu begitu bersemangat menampilkan berita yang diolah sedemikian rupa sehingga amat jauh dari fakta aslinya dan kemudian layak disebut hoax.
Penghasilan setinggi itu diperoleh dari honor yang dibayarkan oleh Google adsense. Tingginya pengunjung yang mengklik situs tersebut berbanding lurus dengan biaya yang diberikan oleh mesin pencari informasi Google sebagai bagian dari layanan iklan. Dengan asumsi, kian tinggi tingkat pengunjung situs tersebut, akan kian besar peluang untuk mendapatkan iklan.
Cara kerja yang diterapkan Google adsense dengan memberi honor pada situs yang tingkat pengunjungnya tinggi semata rasanya tidak tepat. Hal ini lantaran Google tidak mempertimbangkan aspek etika dan moral. Tingkat kunjungan yang tinggi pada suatu situs memang merupakan prestasi tersendiri. Akan tetapi kalau itu dicapai dengan cara-cara yang tidak pada tempatnya, semestinya Google tak layak memberikan apresiasi.
Situs-situs itu jelas menyebarkan berita bohong alias hoax. Mengapa Google masih tetap memberikan penghargaan? Ini jelas sikap yang mendua dan sudah selayaknya tidak diteruskan. Situs yang menyebarkan berita hoaxseharusnya diperangi, bukan malah mendapat insentif hanya karena tingkat kunjungannya tinggi.
Kebenaran sejati harus menjadi kriteria utama. Situs yang menghasilkan kebohongan sesungguhnya merupakan antitesis dari upaya dunia untuk menciptakan kejujuran dan masyarakat yang cerdas. Selain itu, berita bohong dan bernada permusuhan (termasuk fitnah) akan membawa dampak buruk bagi kehidupan masyarakat di masa depan.
Berita bohong pun akan menghasilkan kebohongan lain lagi. Begitu seterusnya sehingga upaya mencari kebenaran hanya bersifat semu belaka. Kebohongan yang terus diproduksi tiada henti akan menjadikan kebenaran di benak para pembaca. Ini merupakan antiklimaks dalam menciptakan tatanan kehidupan yang banyak diidam-idamkan orang.
Kita merasakan hal itu di Indonesia. Perseteruan di dunia maya antara kedua kubu yang bertikai -dalam persoalan apa pun- selama ini seolah kian terpelihara dengan munculnya berita hoax yang sengaja mereka suguhkan. Padahal, perbedaan pendapat dalam suatu proses pemilu mestinya berakhir seiring dengan selesainya hajatan tersebut. Akibat lebih lanjut, kedewasaan masyarakat menjadi tak ada lagi. Energi bangsa hanya dihabiskan untuk hal-hal yang remeh-temeh dan sarat kepalsuan.
Karena itu, gerakan untuk mencegah dan memerangi situs –juga akun di dunia maya- yang menghasilkan informasi hoax harus terus digelorakan. Pemerintah sebagai pemegang regulasi harus membuat aturan yang disepakati bersama untuk menjalankan misi suci ini.
Namun, harus diingat pula bahwa aturan untuk membasmi segala informasi hoax yang membahayakan kelangsungan hidup berbangsa itu harus dibuat secara transparan dan tidak sepihak. Dalam arti, komponen yang ada dalam masyarakat juga perlu dilibatkan untuk membuat rumusan tersebut.
Kalau boleh mengusulkan, mestinya tak hanya situs dan akun hoax dan penuh rasa permusuhan saja yang perlu ditertibkan. Situs-situs dengan muatan porno dan yang melewati batas adat ketimuran juga layak untuk ditertibkan. Dalam melakukan penertiban, pemerintah juga harus menerapkan prosedur baku yang menjadi pegangan dan tidak boleh memihak.
Jangan hanya situs dan akun yang berseberangan dengan pemerintah saja yang ditertibkan. Situs serupa yang selama ini menjadi balatentara pemerintah juga layak ditertibkan jika isinya hanya berupa kebohongan, caci maki, mengadu domba, dan menciptakan permusuhan.
Bila konsistensi dalam kebijakan ini bisa terjaga, program internet sehat dengan melakukan gerakan anti-hoax tentu akan memberi dampak positif di kemudian hari. Gegap gempita gerakan anti-hoax memang terasa menggelora di lini masa pada 4 Januari lalu. Karena itu, perlu ada pengingat untuk membawa arah dan langkah gerakan ini agar tidak hanya bersifat hangat-hangat tahi ayam dan lalu kendor di masa mendatang. Rasanya tepat bila kita tetapkan 4 Januari sebagai Hari Anti-hoax Nasional.