Sabtu 04 Feb 2017 09:58 WIB

Ahok dan Sikap Antikebinekaan

Arif Supriyono
Foto: doc pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono

Empat bulan sudah berlalu. Sejak ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 tentang surah al-Maidah ayat 51 -yang kemudian dinyatakan sebagai penistaan agama Islam oleh Majelis Ulama Indonesia- hingga kini kegaduhan itu tak jua surut.

Desakan umat melalui beberapa kali demonstrasi agar Ahok dijadikan tersangka akhirnya terpenuhi. Tepat 51 hari setelah Ahok membahas al-Maidah 51 dan mengaitkannya dengan pilih-memilih dalam Pilkada DKI Jakarta, sang gubernur pengganti itu ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka penistaan agama.

Ya, kegaduhan itu memang bermula dari acara di Kepulauan Seribu. Saat itu sedang ada acara kerja sama Pemprov DKI dengan Sekolah Tinggi Perikanan dan sekaligus penyerahan bantuan 4.000 benih ikan kerapu. Meski kala itu belum masa kampanye dan sang gubernur pun memakai seragam dinas, dengan enteng dia membahas soal pilih-memilih. Walau itu bukan acara keagamaan dan dia pun bukan pemeluk Islam, tanpa ragu Ahok membahas al-Maidah 51 di hadapan massa yang mayoritas Muslim.

Masyarakat kemudian bergolak. Atas saran berbagai pihak, Ahok sempat menyampaikan permintaan maaf. Lalu lebih 500 ribu massa melakukan unjuk rasa pada 4 November 2016. Ahok bukannya mencoba mendinginkan suasana akan tetapi justru kembali menyulut bara api permusuhan.

Seolah tak ingat lagi dengan pemintaan maafnya, Ahok menuding itu sebagai demonstrasi bayaran. Masing-masing peserta unjuk rasa dia tuduh menerima Rp 500 ribu. Tuduhan yang sama sekali tak menggunakan nalar. Rasanya tidak mungkin membuang Rp 250 miliar hanya untuk sekali demo.

Desakan masyarakat kian menguat. Demo lebih besar yang damai dan indah dengan melibatkan lebih 2,5 juta manusia pun digelar pada 2 Desember 2016 (aksi damai 212) dan dipusatkan di Monas, Jakarta. Tak sedikit peserta unjuk rasa yang berasal dari luar Jawa: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat.

Entah karena desakan massa tersebut atau karena hal lain, polisi kemudian menyerahkan berkas pemeriksaan Ahok ke kejaksaan. Persidangan pertama terhadap politikus yang telah empat kali pindah partai politik ini pun dilaksanakan pada 13 Desember 2016. Di sela-sela persidangan, ada drama yang seolah menyentuh rasa kemanusiaan. Di sebuah ruang, Ahok dipeluk seorang wanita yang disebut-sebut sebagai kakak angkatnya (yang selama ini memang mendukung Ahok sebagai cagub) dengan mimik memelas yang disertai tangisan. Ahok pun ikut menangis.

Mungkin adegan yang disebar di lini masa itu dimaksudkan agar masyarakat bersimpati kepada Ahok. Dalam banyak kesempatan Ahok juga mengungkapkan niatnya untuk mengubah sikap dengan bertutur kata lebih santun dan beradab. Terlihat beberapa kali nada bicara dan cara bersikap Ahok memang sedikit berubah.

Namun, itu tak bertahan lama. Karakter aslinya kembali muncul dan itu akan sulit berubah. Dalam persidangan kedelapan, Ahok menghardik saksi KH Ma’ruf Amin yang juga ketua umum MUI Pusat. Ahok menuding Ma’ruf Amin berbohong. Ini karena KH Ma’ruf Amin menjawab tidak tahu saat ditanya pengacara Ahok, apakah SBY pernah menelepon dan minta dibuatkan fatwa/pandangan MUI soal ucapan Ahok.

Sang penista itu lalu mengancam akan menuntut KH Maruf Amin -yang juga rais aam (ketua umum) PB Nahdlatul Ulama- karena telah berbohong. Sehari kemudian, SBY mengaku pernah bicara lewat telepon dengan KH Ma’ruf Amin namun tak minta dibuatkan fatwa tersebut, akan tetapi sekadar mohon restu atas pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai gubernur.

Saya tak membahas soal kemarahan umat Islam dan warga Nahdliyin atas kekasaran Ahok kepada ulama yang jadi panutan umat tersebut. Justru saya ingin menyoroti sikap dan karakter buruk Ahok.

Menurut pandangan saya, kegaduhan belakangan ini adalah murni karena sikap Ahok. Andai Ahok yang nonmuslim itu tak latah dan ceroboh mengungkit-ungkit ayat dalam kitab suci umat Islam, energi bangsa tak akan terkuras selama berbulan-bulan hanya untuk menyelesaikan kasusnya. Sadar atau tidak, penilaian Ahok atas surah al-Maidah 51 itu berpotensi memecah belah umat.

Dengan merendahkan dan menyerang kehormatan KH Ma’ruf Amin, Ahok secara demonstratif telah menjadi pelopor untuk  menurunkan wibawa ulama di mata masyarakat. Tentu secara pribadi, Ahok juga tak menghargai ulama sepuh NU tersebut. Kalau ini dibiarkan dan dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya, ulama tak akan lagi punya harga diri di mata khalayak. Pada gilirannya, masyarakat akan bisa kian dijauhkan dari kehidupan dan nilai-nilai keberagamaan.

Ahok pun sempat mengatakan pada KH Ma’ruf Amin, ”Kalau Anda menzalimi saya, Anda lawan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa dan akan saya buktikan satu per satu, dipermalukan nanti”. Itu ucapan yang sangat arogan. Bahkan dalam penilaian saya, itu jelas-jelas bentuk kepongahan yang melebihi kuasa Tuhan.

Bagaimana tidak pongah? Pada ulama sepuh yang sarat ilmu pun dia berceramah dan berujar bahwa tindakan sang kiai itu sebagai melawan Tuhan. Dia juga yakin, bahwa sang sesepuh NU itu akan dipermalukan.

Bukti lain adanya upaya Ahok untuk memecah belah umat bisa dilihat dari permintaan maafnya kepada KH Ma’ruf Amin. Ahok sempat mengucapkan, ”Bagaimana mungkin saya bisa berseberangan dengan NU yang jelas-jelas menjaga kebinekaan dan nasionalis seperti ini”.

Pernyataan itu sangat tendensius dan amat membahayakan. Itu merupakan bentuk provokasi dan upaya dia untuk memisahkan (bahkan mengadu domba) antara warga Nahdliyin dan umat Islam dari kalangan lain. Ini tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin. Sebagai umat Islam, saya berhak untuk marah atas ucapan provokatif Ahok ini.

Peran dan tugas pemimpin adalah menjaga persatuan dan kebersamaan. Keberagaman tak mungkin bisa diseragamkan. Namun, keberagaman bisa dijaga untuk menuju persatuan dan kebersamaan. Nilai persatuan dan kebersamaan itu jauh lebih mahal daripada sekadar hasil fisik pembangunan. Seorang pemimpin yang punya tendensi memecah belah umat dan antikeberagaman, sejatinya sudah tak lagi pantas menduduki kursi pemimpin.

Itu juga berarti, jiwa kepemimpinannya sudah hilang dan yang tersisa cuma arogansi serta ambisi untuk senantiasa berkuasa, tanpa pernah memandang dan memiliki rasa hormat kepada sesama. Dia hanya mencitrakan diri bersih, akan tetapi menggunakan segala cara untuk terus berkuasa.

Lihat kasus RS Sumber Waras, pembelian lahan Rp 634 miliar yang ternyata milik Pemprov DKI sendiri, soal reklamasi, dan penggusuran yang mengabaikan rasa keadilan. Ahok tidak menghapus kemiskinan akan tetapi sekadar mengusir masyarakat miskin.

Masyarakat tentu tak butuh pemimpin model demikian. Justru pemimpin seperti inilah yang sangat mungkin akan membahayakan masa depan bangsa yang berbineka. Keberagaman dan kebersamaan akan berpotensi robek, tercabik-cabik, dan terpecah belah karena sikap pemimpin yang sengaja memainkan kendali kuasa dengan mengadu domba. Antaragama dan sesama agama pun diadu domba.

Jauh lebih berharga memelihara dan merawat kebinekaan dan kebersamaan daripada mempertahankan Ahok. Kelangsungan harmoni kehidupan sosial akan berbahaya bila ia terus duduk di singgasana kuasa. Namun, semua kembali dan terserah pada nurani serta akal sehat masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement