REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Wartawan Republika Nurul S Hamami
Selain dituntut mampu membenahi sektor tunggal putri, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI, Susy Susanty, juga dihadapkan dengan pembinaan dan peningkatan prestasi di sektor ganda putri. Saat ini, Indonesia hanya memiliki satu pasangan yang sudah sejajar di elite bulu tangkis dunia yakni pasangan Nitya Khrishinda Maheswari/Greysia Polii. Sedangkan pasangan yang lain masih belum menunjukkan performa memuaskan.
Dalam peringkat dunia per 2 Februari 2017, Nitya/Greysia bercokol di peringkat ke-5. Posisinya terpaut agak jauh dengan pasangan pelatnas yang lain: Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri Sari di peringkat ke-15, Anggia Shitta Awanda/Mahadewi Istirani Ni Ketut peringkat ke-16, dan Tiara Rosalia Nuraidah/Rizki Amelia Pradipta di tempat ke-18. Bandingkan dengan Jepang yang menempatkan tiga pasangan di sepuluh besar dunia, Korsel dua pasangan, dan Cina dua pasangan.
Sepanjang tahun lalu, prestasi Nitya/Greysia memang paling menonjol di antara rekan-rekannya sesama pelatnas ganda putri. Mereka juara di Singapura Terbuka World Superseries (WS), runner-up Australia Terbuka WS, serta semifinalis di Jerman Terbuka Grand Prix Gold (GPG), India Terbuka WS, Malaysia Terbuka WS, Denmark Terbuka WS Premier, dan Kejuaraan Asia.
Capaian prestasi antara Nitya/Greysia dan pelapis di bawahnya dapat dikatakan lumayan jauh. Della/Rosyita tahun 2016 hanya mampu mencapai semifinal Indonesia Master GPG dan Cina Master GPG. Anggia/Mahadewi bahkan hanya mampu sebagai runner-up di Makau Terbuka GPG.
Tiara/Rizki hanya menorehkan prestasi hingga semifinal Indonesia Master GPG dan Jerman Terbuka GPG. Melihat catatan prestasi tersebut, tampaknya ketiga pasangan di bawah Nitya/Greysia ini harus lebih sering dikirim ke turnamen-turnamen GPG sambil diselingi dengan turnamen superseries. Kalau dianggap perlu merombak pasangan tersebut untuk mendapat formula yang terbaik, tak perlu ragu untuk melakukannya.
Dibandingkan empat sektor yang lain, ganda putri Indonesia memang belum bisa berbicara lebih banyak lagi di pentas elite dunia. Sejak Kejuaraan Dunia Perseorangan dihelat di Malmoe, Swedia, pada 1977, belum satu pun ganda putri Indonesia tercatat dalam deretan perebut gelar juara.
Prestasi tertinggi baru berhasil dicatat oleh pasangan Verawaty Fajrin/Imelda Wiguno yang menjadi finalis pada 1980 di Jakarta, Lili Tampi/Finarsih finalis di Lausanne, Swiss, 1995, Eliza Nathanael/Zelin Resiana semifinalis di Glasgow, Skotlandia, 1997, serta Nitya/Greysia semifinalis di Jakarta 2015. Pada partai final Vera/Imelda harus mengakui keunggulan Nora Perry/Jane Webster dari Inggris, sementara Lili/Finarsih takluk di tangan Jang Hye Ock/Gil Young Ah (Korsel).
Di ajang olimpiade, yang dipertandingkan secara resmi sejak Olimpiade Barcelona 1992, sektor ganda putri menjadi satu-satunya nomor yang belum pernah menyumbang sekeping medali pun bagi Indonesia. Pada pergelaran terakhir olimpiade di Rio De Janeiro, Brasil, tahun lalu, pasangan Nitya/Greysia sudah harus tersingkir di perempat final. Mereka menyerah kepada Tang Yuanting/Yu Yang (Cina) 11-21 dan 14-21.
Di turnamen tertua dan paling bergengsi, All England, Indonesia juga masih puasa panjang dari gelar di ganda putri. Setelah Retno Koestijah/Minarni Soedarjanto mengukir sejarah sebagai pasangan Indonesia yang pertama merebut gelar ganda putri All England pada 1968, lalu dilanjutkan oleh Verawaty/Imelda pada 1979, belum ada lagi ganda putri Indonesia yang juara di sana.