REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syahruddin El-Fikri
Islamic Book Fair (IBF) kembali digelar oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) DKI Jakarta pada 3-7 Mei 2017 di Jakarta Convention Center (JCC). IBF 2017 ini merupakan pameran yang ke-16 diselenggarakan oleh Ikapi DKI Jakarta. Sekitar 300 stan peserta yang disediakan panitia penyelenggara, baik untuk peserta penerbit buku, maupun non-penerbit seperti halal food, busana muslim, travel haji, poperti, peralatan permainan anak, dan lain sebagainya.
Pada IBF 2017 ini, panitia mengangkat tema tentang ‘Membangun Peradaban Melalui Literasi Islam’. Tema ini diangkat sebagai upaya dari Ikapi DKI Jakarta dalam mendorong minta baca masyarakat agar semakin meningkat.
Sebagaimana dimaklumi bersama, bila merujuk pada data the United Nations Education, Social, and Culture Organization (Unesco), minta baca masyarakat Indonesia tergolong masih rendah, yakni 1:1.000. Artinya, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca tinggi dari setiap 1.000 orang penduduk. Angka ini terbilang cukup rendah.
Sementara itu, bila merujuk pada studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Berbagai upaya telah dilakukan banyak pihak untuk mendorong minat baca ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggalakkan ‘Gerakan Literasi Sekolah’ (GLS). Salah satunya adalah dengan mewajibkan para siswa untuk membaca buku selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Hal serupa juga dilakukan oleh pihak lainnya untuk mendorong gerakan literasi ini, seperti yang dilakukan Harian Republika dan Dompet Dhuafa dan gerakan literasi umat, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dengan literacy award, dan lainnya.
Ketua Ikapi DKI Jakarta, Hikmat Kurnia menjelaskan, tema yang diusung panitia penyelenggara Islamic Book Fair (IBF) 2017, yakni ‘Membangun Peradaban Melalui Literasi Islam’ sebagai upaya lembaga tersebut untuk menciptakan manusia cerdas dan unggul. “Peradaban ada karena manusia. Dan manusia yang bisa menciptakan peradaban itu adalah yang benar-benar cerdas dan unggul,” ujarnya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (24/4).
Untuk menciptakan manusia yang unggul dan cerdas tersebut, kata Hikmat, maka manusia itu harus membaca dan menulis. “Tidak mungkin ada kecerdasan dan keunggulan manusia tanpa gerakan membaca dan menulis,” ujarnya menegaskan.
Ia mencontohkan kejayaan dunia Islam yang dibangun melalui gerakan kepenulisan dan buku-buku berkualitas. Dinasti Abbasiyah unggul karena adanya gerakan menulis yang dilakukan para ulama serta ketersediaan buku-buku perpustakaan. Dinasti Abbasiyah, ungkap Hikmat, juga mendirikan perpustakaan yang sampai kini sangat terkenal di dunia, yakni Baitul Hikmah. Dari sini banyak lahir tokoh-tokoh hebat seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Bukhari, dan berbagai filosof Muslim lainnya.
Demikian juga, kata Hikmat, dengan kemajuan Dinasti Turki Utsmani (Ottoman) yang sukses melahirkan manusia unggul seperti Muhammad al-Fatih. Pendek kata, kata dia, kesuksesan sebuah peradaban sangat ditentukan dengan kemajuan dunia ilmu pengetahuan. “Dan kemunduran sebuah peradaban juga berbanding lurus dengan kemunduran dalam dunia ilmu pengetahuan,” terang Hikmat yang juga ketua Ikatan Alumni Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini.
Ia menambahkan, dunia Islam pun sangat mengedepankan pentingnya ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah Saw, yakni iqra’ (membaca). “Dalam agama lain juga demikian, semuanya mendorong tumbuhnya gerakan literasi ini,” ujarnya.
Untuk menciptakan manusia yang cerdas dan unggul itu, kata Hikmat, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, menekankan kepada setiap anggota masyarakat akan pentingnya dunia membaca. Pada masa Dinasti Abbasiyah, kata Hikmat, kehidupan peradaban Islam mencapai puncak keemasan (the Golden Age). Umat Islam dalam segala hal, kemuliaan, kekayaan, kekuasaan, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.
Kedua, kata Hikmat, membiasakan budaya menulis. “Dalam berbagai bidang, kita disuruh untuk menulis. Jual beli, bisnis, utang-piutang, membuat bangunan, tak lepas dari dunia tulis menulis. Maka alangkah naifnya, bila budaya menulis mulai memudar di kalangan masyarakat,” ujarnya.
Sedangkan hal yang ketiga, kata CEO Agromedia ini, adalah budaya diskusi. “Dengan berdiskusi maka akan muncul berbagai macam ide dan gagasan kreatif, sehingga banyak hal dan permasalahan bisa diungkap dan diselesaikan,” jelas Hikmat.
Hal senada disampaikan Arys Hilman Nugraha, direktur PT Pustaka Abdi Bangsa, brand dari Republika Penerbit. Arys mengakui, membangun sebuah peradaban tidak mungkin meniscayakan keberadaan membaca dan menulis. Dan untuk membangun peradaban yang berkualitas dan baik (cerdas dan unggul), maka gerakan literasi (membaca dan menulis) harus terus digalakkan. “Salah satunya dengan menghadirkan karya atau tulisan yang berkualitas dan jauh dari kebohongan (dusta/hoax),” ujarnya.
Arys mengutip pernyataan Buya Hamka dalam buku Falsafah Hidup. “Tiap-tiap tulisan yang dusta, yang menipu, yang tidak berdasarkan kebenaran, walaupun mula-mula ditelan orang, namun zaman kelak akan memuntahkan ‘kebenaran celupan’ itu dari perut orang-orang yang telanjur menelannya.”
Maksud dari pernyataan Buya Hamka tersebut, kata Arys, setiap orang tidak diperbolehkan menulis secara sembarangan atau menyebarkan hoax. “Jelaslah mengapa kita harus menghindari “kebenaran celupan”, termasuk dalam dakwah. Aneka hoax yang berkaitan dengan Islam, kendatipun memicu kegairahan beragama, pada waktunya niscaya akan termuntahkan dan menjadi serangan balik bagi umat,” ungkapnya.
“Hoax secara hakikat adalah dusta. Dusta tak mungkin senapas dengan Islam. Jadi, tak perlu mengada-ada tentang “hoax islami” dengan kilah untuk menyuburkan ghirah,” ujar Arys, CEO Republika Penerbit.
Momentum IBF
Karena itu, kata Arys, Islamic Book Fair (IBF) menjadi kesempatan bagi umat untuk bersama-sama mendorong semangat untuk membangun peradaban Islam melalui gerakan literasi. “Belasan tahun berlangsung tanpa jeda satu kali pun, acara ini telah menjadi titik rendezvous umat Islam Indonesia, destinasi wisata keluarga-keluarga Muslim, agenda kegiatan majelis-majelis taklim, serta tujuan belajar anak-anak sekolah dan pesantren,” jelasnya.
Ia menyebutkan, banyak pameran buku lainnya, namun IBF memiliki posisi istimewa karena buku-buku yang hadir—lagi-lagi merujuk pada Buya Hamka—melampaui batas pengetahuan ala Barat yang materialistis. Pengetahuan berselimut religiositas dalam pameran ini bukanlah tipe kualitas yang puas pada benda belaka, bukan “mereka yang hakikatnya pernah bertemu perbatasan yang pikiran mereka tak sanggup menyeberang, itulah ma wara’ath-thabi’ah atau metafisika”.
Pameran buku ini menjadi bermakna justru karena mencerminkan bahasa dan jiwa bangsa. Bangsa yang berani menembus tabir tentang awal yang tidak bepermulaan dan akhir yang tidak berkesudahan. “Yang pikiran tak dapat mengetahui Apa-nya tapi dapat mempercayai Ada-nya,’’ kata Hamka, sebagaimana dikutip Arys.
Ketua Dewan Pertimbangan Ikapi DKI Jakarta Afrizal Sinaro mengatakan, literasi adalah kemampuan dalam menangkap makna yang tersimpan dalam berbagai pesan yang dibaca, lalu direspons makna itu secara tepat sebagai dasar untuk memutuskan sesuatu sebelum bertindak. Wujud literasi adalah terjadinya konsistensi antara yang dibaca, dipikirkan, diucapkan dan dilakukan, sesuai dengan makna apa yang dibaca.
“Dengan adanya event IBF Ikapi DKI yang diadakan sekali satu tahun ini, dengan menghadirkan ribuan buku ilmu pengetahuan dan buku Agama Islam tentunya bisa menjadi satu gerakan umat Islam yang cerdas ber-ilmu dan cerdas ber-iman. Keberadaan IBF sangat penting untuk mendukung kebangkitan literasi Islam,” kata Afrizal Sinaro.