Senin 15 May 2017 21:25 WIB

Wisata Halal, Tumpuan Pariwisata Indonesia

 (dari kiri) Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal Kemenpar Riyanto Sofyan, Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisat Mancanegara Kemenpar I Gde Pitana, Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi , Menteri Pariwisata Arief Yahya, Wakil Ketua DPRD NTB Mori Hanafi dan Dirut Republika Media Mandiri Agoosh Yoosran berbincang pada acara Rembuk Republik sekaligus Launcing pesona Khazanah Ramadhan Bumi Seribu Masjid di Kemenpar, Jakarta, Kamis (4/5).
Foto: Republika/Prayogi
(dari kiri) Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal Kemenpar Riyanto Sofyan, Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisat Mancanegara Kemenpar I Gde Pitana, Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi , Menteri Pariwisata Arief Yahya, Wakil Ketua DPRD NTB Mori Hanafi dan Dirut Republika Media Mandiri Agoosh Yoosran berbincang pada acara Rembuk Republik sekaligus Launcing pesona Khazanah Ramadhan Bumi Seribu Masjid di Kemenpar, Jakarta, Kamis (4/5).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Irwan Kelana

JAKARTA -- Indonesia berhasil meraih kemenangan dalam tiga kategori di ajang World Halal Tourism Award (WHTA) yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab tahun 2015.  Pada tahun 2016, Indonesia kembali mengikuti WHTA. Dalam WHTA 2016 itu Indonesia  mengikuti 12 dari 16 kategori yang dilombakan.

Hasilnya, luar biasa! Indonesia berhasil menyapu bersih ke-12 kategori tersebut, tanpa menyisakan satu kategori pun untuk negara-negara lain, khususnya Malaysia dan Turki yang selama ini merupakan favorit peraih penghargaan Wisata Halal Dunia.

Keberhasilan Indonesia meraih kemenangan dalam World Halal Tourism Award dua tahun berturut-turut menunjukkan, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam industri wisata halal. Wisata halal bisa menjadi tumpuan pariwisata Indonesia.

Berdasarkan studi Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, total jumlah wisatawan Muslim dunia mencapai 117 juta pada 2015. Jumlah itu diperkirakan terus bertambah hingga mencapai 168 juta wisatawan pada 2020 dengan pengeluaran di atas 200 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.600 triliun.

Namun perolehan Indonesia dari industri wisata halal masih relatif  belum terlalu besar.  Jika dibandingkan dengan negara-negara yang ada di Asia Tenggara dalam konteks wisata halal, Indonesia baru bisa mendatangkan devisa negara dari pariwisata halal sebesar 11,9 miliar dolar AS. Hal ini berdasarkan data World Travel Tourism Council (WTTC).

Itulah yang mendorong Republika menggelar  Rembuk Republik bertema “Memaksimalkan Industri Wisata Halal Indonesia”. Acara yang diadakan di Kantor Kemenpar Jakarta, Kamis (4/5) itu  dibuka dengan keynote speech Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH Zainul Majdi   dan Menteri Pariwisata Arief  Yahya.

Acara yang didukung sepenuhnya oleh Kemenpar dan Pemda NTB serta Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) NTB itu lalu dilanjutkan dengan  diskusi panel yang menamplkan tiga nara sumber sangat berkompeten di bidangnya.Mereka adalah Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Halal Riyanto Sofyan (mewakili regulator), Ketua Indonesian Islamic Travel Communiation Forum (IITCF) dan Ketua Asosiasi Tour Leader Muslim Indonesia (ATLMI) Priyadi Abadi (mewakili praktisi), dan Managing Director Propanda Alien Kafi Kurnia (pakar marketing).

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Indonesia telah berhasil naik satu peringkat dalam Global Muslim Travel Index (GMTI) 2017, dari posisi ke tiga dari posisi empat. Ke depannya ia meyakini Indonesia bisa melampaui Malaysia dan UEA yang kini di peringkat dua teratas.

Tapi, kata Menpar, Indonesia masih punya pekerjaan rumah. ''Kekuatan yang jadi kelemahan kita adalah halal. Kita yakin halal tapi tidak mau sertifikasi, padahal itu daya tarik konsumen,'' kata Arief.

Menurut Menpar, untuk benar-benar bisa meraih potongan besar pasar wisata halal, Indonesia harus benar-benar menyiapkan wisata halal. Panduan industri wisata halal dunia seperti GMTI bisa jadi acuan Indonesia untuk membenahi wisata halal. “Semua PR wisata halal Indonesia termasuk infrastruktur, kebersihan dan higienitas, harus bisa dikuantifikasi sehingga arah perbaikannya jelas,” ujar Arief.

Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Halal Riyanto Sofyan menyebutkan, untuk menggaet pangsa pasar tersebut pihaknya telah menyiapkan empat pilar pengembangan wisata halal. Pilar pertama yakni terkait kebijakan dan regulasi. Berbicara kedua hal tersebut tentu sangat berkaitan dengam pemerintah pusat dan daerah.

Pilar kedua yaitu pemasaran. Menurut Riyanto,  destinasi wisata harus melihat kebutuhan pasar.

Adapun pilar ketiga dan keempat terkait dengan pengembangan aneka atraksi dan akses transportasi. “Hal itu bertujuan supaya wisatawan merasa nyaman dan sesuai dengan tujuan wisata halal,” tutur Riyanto. “Peningkatan kapasitas untuk jaminan kontrol supaya wisman bisa kembali lagi. Kita harus cocokan atraksi yang sesuai dengan wisata halal,” tambahnya.

Menurut Ketua Indonesia Islamic Travel Communication Forum (ITCF) Priyadi Abadi, pilar utama wisata halal adalah makanan halal dan pemenuhan kewajiban shalat. Sehingga sertifikat halal memang jadi faktor penting. ''Dalam wisata halal, sertifikat halal penting karena sertifikatnya bukan untuk kita, tapi wisatawan,'' ungkap Priyadi.

Priyadi menambahkan, sertifikasi halal bukan Arabisasi, tapi kebutuhan sebagai konsekuensi atas tuntutan konsumen atau wisatawan Muslim. Negara-negara minoritas Muslim yang menyasar wisatawan halal sudah melakukan itu.

Ia mencontohkan Taiwan. Meski belum seluruhnya halal, Taiwan sudah ramah wisatawan Muslim. Di mal  atau tempat umum memang tidak ada mushala, tapi pengelola menyediakan area untuk shalat. Belum lagi Thailand, Korsel, dan Jepang yang melihat pasar Indonesia luar biasa. ''Lembaga sertifikasi halal Taiwan tidak main-main. Kalau melanggar, dendanya besar,'' kata Priyadi.

Pakar marketing Kafi Kurnia menilai promosi pariwisata Indonesia masih kurang.  Menurut Kafi, Wonderful Indonesia tidak tepat diterjemahkan menjadi “Pesona Indonesia”, seharusnya “Takjub Indonesia”.

Kafi menilai banyak tempat di seluruh dunia yang memiliki tempat bagus dan mempesona. Tapi tidak semuanya yang menakjubkan, sehingga hal itulah yang harus dijadikan promosi wisata Indonesia. "Apa yang salah? Pariwisata Indonesia promosinya kurang tepat. Branding Indonesia hanya dicipratkan, harusnya dicelupkan," kata Kafi.

Maksud dari dicelupkan adalah promosi yang dilakukan seharusnya bersifat demografis per negara. “Wonderful Indonesia seharusnya tidak berisi mengenai keindahan alam saja, namun ada kuliner, budaya, religi dan lainnya,” tutur Kafi Kurnia.

Acara Rembuk Republik itu bersamaan dengan diluncurkannya program Pesona  Khazanah Ramadhan.  Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi menjelaskan, melalui Pesona Khazanah Ramadhan, NTB ingin mengingatkan dan mengajak semua pihak  untuk menghidupkan Ramadhan.

Selain mengisi Ramadhan dengan tarawih, tadarus, dan tahajud di Masjid Hubbul Wathan, Lombok, akan ada puluhan kegiatan lain sepanjang Ramadhan. “Kami akan mengundang empat iman besar dari Suriah, Libanon, Maroko, dan Mesir. Tiap imam akan mengimami shalat selama satu minggu. Kami harap ini bisa menghadirkan suasana yang beda. Sehingga Ramadhan betul-betul kita rasakan mengembalikan kesucian jiwa,'' tutur Zainul Majdi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement