REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fuji Pratiwi
JAKARTA -- Karena mayoritas penduduk Indonesia Muslim, kebanyakan kita berasumsi makanan yang ada di masyarakat Indonesia sudah halal, kecuali yang jelas haram bahannya. Kita tak lagi merasa perlu bertanya dan memverifikasi kehalalan makanan dengan bertanya soal sertifikat halal.
Di sisi lain, tak semua pengusaha makanan dan restoran punya cukup kesadaran untuk melakukan sertifikasi halal. Menuntut produsen untuk melakukan sertifikasi dan mengedukasi agar konsumen kritis soal kehalalan jadi seperti ayam dan telur.
Tapi, bila fokus pada pengembangan pariwisata halal atau ramah Muslim, cara pandang perlu sedikit diubah. Menurut Ketua Indonesia Islamic Travel Communication Forum (ITCF) Priyadi Abadi, pilar utama wisata halal adalah makanan halal dan pemenuhan kewajiban shalat. Sehingga sertifikat halal memang jadi faktor penting.
''Dalam wisata halal, sertifikat halal penting karena sertifikatnya bukan untuk kita, tapi wisatawan,'' ungkap Priyadi dalam Rembuk Republika di Balairung Soesilo Soedarman Kementerian Pariwisata Jakarta, Kamis (4/5).
Sertifikasi halal bukan Arabisasi, tapi kebutuhan sebagai konsekuensi atas tuntutan konsumen atau wisatawan Muslim. Negara-negara minoritas Muslim yang menyasar wisatawan halal sudah melakukan itu.
Ia mencontohkan Taiwan. Meski belum seluruhnya halal, Taiwan sudah ramah wisatawan Muslim. Di mal atau tempat umum memang tidak ada mushala, tapi pengelola menyediakan area untuk shalat. Belum lagi Thailand, Korsel, dan Jepang yang melihat pasar Indonesia luar biasa. ''Lembaga sertifikasi halal Taiwan tidak main-main. Kalau melanggar, dendanya besar,'' kata Priyadi yang juga Chief Executive Officer (CEO) Adinda Azzahra Travel.
Hal serupa juga disampaikan Ketua Tim Pengembangan dan Percepatan Pariwisata Halal (TP3H) Kementerian Pariwisata, Riyanto Sofyan. Karena sudah yakin halal, tingkat kesadaran akan prospek wisata halal, kompetensi, dan pemahaman untuk memenuhi hal itu termasuk sertifikasi halal masih sangat rendah. Infrastruktur sertifikasi juga masih perlu ditingkatkan.
Riyanto menambahkan, untuk menumbuhkan kesadaran itu memang tak mudah. Butuh upaya bersama ke arah sana. Pertama, regulasi dan komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah. Sebagai salah satu destinasi wisata halal unggulan, Lombok berhasil karena komitmen gubernurnya.
Saat TP3H berusaha mempromosikan Lombok jadi destinasi halal pada 2015, banyak resistensi termasuk dari industri. Mereka khawatir bila Lombok dicitrakan sebagai destinasi wisata halal, wisman dari Australia dan Selandia Baru tidak mau datang.
''Kami bilang, kalau mau wisata konvensional, tidak akan menang melawan Bali. Harus ada yang beda. Setelah //branding// wisata halal, pariwisata Lombok tumbuh makin baik,'' ungkap Riyanto.
Dalam penilaian wisata halal di Global Muslim Travel Index (GMTI), lanjut Riyanto, jumlah sertifikat halal jadi salah satu yang krusial. Apalagi, target Indonesia adalah menjadi destinasi wisata utama di antara Negara-Negara Kerja Sama Islam (OIC), mengalahkan Malaysia yang selama ini berada di posisi teratas.
Data dari LPPOM MUI, restoran yang sertifikat halal di Indonesia baru 543 restoran, termasuk restoran jaringan waralaba. Bila dijumlahkan, keseluruhan restoran halal di Indonesia ada sekitar 2.000 restoran. Sementara kebutuhannya pada 2017 saja mencapai 757 restoran dengan 27.583 gerai.
Sedikit menengok Singapura, pada 2012 saja Singapura sudah memiliki sekitar 2.200 restoran bersertifikat halal. ''Indonesia sebesar ini baru 543 restoran yang bersertifikat halal. Amenitas ramah Muslim masih rendah,'' kata Riyanto.
Riyanto menyebutkan, target-target yang dibuat pemerintah sendiri cukup menantang tiap tahunnya. Selain restoran, target lain pada 2017 ini adalah 15 atraksi unggulan, 243 akomodasi ramah Muslim yang baru tercapai 101, biro perjalanan wisata 561 lembaga yang baru tercapai 31 lembaga, 227 spa halal dan baru tercapai 18 spa, dan 10 kegiatan untuk menarik wisatawan Muslim.
Sementara jumlah kunjungan wisatawan, pada 2017 ini pemerintah menargetkan 3,1 juta wisatawan Muslim mancanegara dan baru tercapai 2,7 juta wisatawan. “Sementara target wisatawan Muslim Nusantra sebanyak 231 juta orang tahun ini dan sudah tercapai 227 juta orang,” ujarnya.
Sertifikasi, kata Riyanto, juga diperlukan untuk SDM yang terlibat dalam industri pariwisata halal. Sebab ini terkait dengan pembangunan dan penguatan kapasitas.
Dari statistik sertifikasi halal Indonesia di laman resmi LPPOM MUI, sepanjang 2010 hingga 2015 LPPOM MUI sudah menerbitkan 35.962 sertifikat halal, 309.115 sertifikat halal untuk produk, dan 33.905 sertifikat halal untuk perusahaan.
Untuk produk, 51 persen atau 12.241 sertifikat halal untuk kelompok produk //flavour, seasoning, adn fragrance//, 12 persen atau 2.955 sertifikat halal untuk restoran, enam persen atau 1.558 sertifikat halal untuk //beverage and beverage ingredients//, dan sisanya untuk tujuh kelompok produk lain termasuk makanan ringan dan kosmetik.
"Kekuatan sekaligus kelemahan kita itu pada halal. Halal itu sensitif bagi orang Indonesia. Tanya ke pemilik warung makanannya halal atau tidak, kita malah dimarahi," ungkap Menteri Pariwisata Arief Yahya yang mengundang anggukan sebagian hadirin di forum Rembuk Republik.
Karena merasa halal sudah jadi hal keseharian, banyak pelaku usaha tidak mau sertifikasi. Ia sendiri merasa aneh memang bila di kantin ada logo halal. Tapi itulah daya tarik bagi konsumen, terlebih bagi Aceh, Sumbar, dan NTB.
Tentu, kata Arief, setelah sertifikasi halal dilakukan, harus ada ikhtiar untuk menarik wisatawan Muslim mancanegara dengan promosi dan penjualan paket wisata halal dan ramah Muslim. Karena itu, perlu pula pelaku industri wisata halal belajar cara pemasaran yang bagus.
Sebagai salah satu sektor ekonomi unggulan, pariwisata nasional sangat jadi tumpuan. Karena itu, Kementerian Pariwisata juga tak main-main mendorong pembenahan di sana-sini.
Pembenahan yang dilakukan juga tak sembarangan, tapi mengacu pada sejumlah acuran internasional yang kredibel seperti GMTI, Halal Travel Indicator, dan Travel and Tourism Competitiveness Index.
''Kita gunakan standar global untuk mengenali dunia dan diri. Kenali dirimu dan musuhmu. Kalau mau perang, kenali musuh dulu baru diri, begitu kata Sun Tzu,'' ungkap Arief.
Di wisata halal, Indonesia bersaing dengan Malaysia dan UEA. Indonesia bertekad berada di atas dua negara itu dengan memperbaiki komponen dalam penilaian GMTI. Kepada hadirin yang sebagiannya merupakan pelaku industri wisata, Arief menekankan semua perbaikan harus terukut, tidak boleh subjektif.
"Sertifikasi, sertifikasi, sertifikasi. Saya paham kalau Anda tidak mau. Tapi ini wajib. Halal Travel Index bahkan spesifik menuliskan sertifikasi halal dan esensinya," kata Arief.
Dalam laporan tahunan terbaru yang dibuat oleh CrescentRating bersama MasterCard ini, posisi Indonesia juga berhasil naik dari peringkat empat pada 2015 menjadi peringkat tiga pada 2016 di bawah EUA dan Malaysia yang masih berada di puncak. Ada empat komponen kunci yang dianalisis yakni aksesibilitas, komunikas, lingkungan, dan layanan. Dalam komponen layanan, pilihan restoran dan jaminan halal berada di poin pertama penilaian.
Ada 130 negara yang dinilai dan diperingkat dalam GMTI 2017, baik negara anggota OIC maupun non-OIC. Di antara 10 besar negara OIC, Indonesia berhasil melangkahi Turki dan naik ke posisi tiga dengan skor 72,6 pada 2016 dari skor 70,6 pada 2015.
Untuk komponen aksesibilitas, Indonesia berada di peringkat ketujuh dengan skor 141,7 pada 2016. Di komponen komunikasi, Indonesia berada di urutan ke dua di bawah Malaysia dengan skor 142 pada 2016.
Pada komponen lingkungan, Indonesia ada di peringkat kedelapan dengan skor 163 pada 2016. Sementara komponen layanan yang mencakup jaminana halal, pada 2016 Indonesia berada di peringkat lima dengan skor 333,4.
GMTI memprediksi ada 121 juta wisatawan Muslim yang berwisata pada 2016. Jumlahnya akan meningkat menjadi 156 juta orang pada 2020.
Dari sisi bisnis, wisata halal masih menyuguhkan peluang. State of Global Islamic Economy Report 2016-2017 mencatat, belanja Muslim dunia untuk wisata mencapai 151 miliar dolar AS dan akan meningkat menjadi 243 miliar dolar AS pada 2021. Dari angka itu, negara-negara Kawasan Teluk (GCC) yang populasinya hanya tiga persen dari total Muslim dunia merupakan komunitas Muslim dengan belanja terbesar untuk wisata yakni 54,39 miliar dolar pada 2015 atau setara 36 persen dari total belanja komunitas Muslim dunia untuk wisata.