Oleh Ratna Puspita
Wartawan Republika
Keriuhan di Stadion Si Jalak Harupat pecah tatkala Kim (Kurniawan) melakukan pergerakan ciamik dari lapangan tengah. Pemain darah campuran Indonesia-Cina-Jerman itu melewati beberapa gelandang TNI dan kemudian melepaskan umpan terobosan kepada Febri Hariyadi yang berlari kencang dari sisi sayap kanan.
Febri yang tak terkawal usai meninggalkan bek kiri TNI Agil Munawar melepaskan umpan silang ke tengah kotak penalti menuju Raphael Maitimo. Maitimo yang berdiri bebas di mulut gawang tinggal menyentuh bola sedikit saja dengan lututnya untuk menjebol gawang TNI yang dijaga kiper Teguh Amiruddin.
Gol Maitimo pada menit ke-16 itu disambut meriah oleh sekitar 3.100 penonton yang mengisi tribun Stadion Si Jalak Harupat. Di babak kedua, Maitimo kembali membuat riuh Stadion Si Jalak Harupat pada menit ke 64.
Berawal dari aksi lari kencang Febri di sayap kanan usai mendapat umpan matang dari rekannya di lini tengah. Febri kemudian melepaskan umpan lambung ke kotak penalti yang sudah dinanti Maitimo dan Michael Essien. Maitimo memenangkan duel udara dan menyundul dengan tajam tanpa bisa dihentikan oleh Teguh. Skor 3-0 untuk Persib.
Begitu isi laporan wartawan Republika, Febrian Fachri, yang meliput laga Persib versus PS TNI di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, Sabtu (5/8). Persib yang --meminjam istilah yang digunakan Febrian-- 'mengamuk' dalam upaya untuk bangkit pada paruh kedua Liga 1 musim ini.
Sekilas tidak ada yang salah dengan pertandingan itu. Tapi, saya agak bingung membaca laporan stadion tetap riuh ketika pemain Persib beraksi. Bukankah PSSI sedang memberi sanksi Persib bermain tanpa pendukung? Atau, mereka yang bersorak tidak termasuk kategori: pendukung Persib?
Mohon maaf kalau saya mengenyampingkan fakta bahwa hanya ada 3.100 penonton di Stadion Si Jalak Harupat kemarin. Padahal, stadion yang diambil dari julukan salah seorang pahlawan nasional dari Bojongsoang, Bandung, yaitu Otto Iskandardinata, berkapasitas 45 ribu orang.
Artinya, hanya tujuh persen dari kapasitas stadion yang terisi penonton. “Di tribun utama memang ramai,” kata Febrian. Di bagian lain stadion tampak sepi.
Saya mengabaikan fakta itu lantaran sepi atau tidak sepi, kehadiran penonton yang meriuhkan stadion menunjukkan ada pendukung Maung Bandung di dalam stadion. Mau tidak mau, saya pun berkesimpulan sanksi PSSI tidak diterapkan dengan tegas.
Saya tidak hendak menyalahkan Panitia Penyelenggara laga Persib versus PS TNI. Panitia hanya memanfaatkan celah dari sanksi PSSI untuk tetap mendatangkan penonton ke dalam stadion. Bagaimanapun, penyelenggara butuh pemasukan dari penjualan tiket pertandingan.
Saya hendak menyoroti PSSI yang tidak terasa ketegasannya ketika memberikan sanksi. Saya pun membuka kembali berita-berita satu pekan terakhir, sejak PSSI menyatakan memberikan sanksi kepada Persib.
Satu pekan setelah laga yang diwarnai kerusuhan, atau pada 29 Juli 2017, PSSI tampak sangat tegas ketika menghukum Persib melakukan lima laga tanpa penonton, terdiri dari tiga laga tandang dan dua laga kandang. Dua laga kandang itu melawan PS TNI pada Sabtu kemarin dan Gresik United pada 20 Agustus mendatang.
Persib mengumumkan melalui lamannya bahwa Komisi Disiplin PSSI menjatuhi hukuman kepada suporter Persib dengan larangan hadir ke stadion untuk lima laga Maung Bandung. Hukuman ini diberikan oleh Komdis PSSI karena kejadian pelemparan botol dan flare atau suar saat Persib melawan Persija Jakarta di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pada 22 Juli lalu.
Lima laga larangan tersebut dimulai sejak laga Persib melawan Perseru Serui di Stadion Marora, Serui, Ahad (29/7). Empat sisanya adalah laga di putaran kedua yakni melawan PS TNI, Arema FC, Sriwinaya FC, dan Persegres Gresik United.
Tidak ada kontroversi pada penerapan sanksi pada laga pertama melawan Perseru karena Persib main di kandang lawan. Pro-kontra mencuat ketika Persib harus menggelar laga di kandangnya pekan ini.
Kembali melalui lamannya, Persib menyatakan, Bobotoh --julukan pendukung Persib-- boleh hadir di stadion. Syaratnya, Bobotoh tidak boleh menggunakan atribut klub seperti kaos, syal, dan bendera.
PSSI mencoba menunjukkan ketegasannya dengan menyatakan bahwa pernyataan Persib merupakan klaim sepihak klub yang berdiri sejak 1933 tersebut. PSSI melalui sekretaris jenderalnya yakni Ratu Tisha Destria menegaskan, keputusan Komisi Disiplin (Komdis) terang menyatakan Maung Bandung dihukum lima kali laga tanpa suporter.
"Itu (hukuman Persib) bukan tanpa atribut. Tidak bisa didampingi. Suporter (Persib) tidak boleh masuk stadion," kata Ratu saat dijumpai di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Jakarta, Selasa, pada 1 Agustus 2017.
Bahkan, PSSI mengancam akan memberikan sanksi yang lebih berat kalau Persib melanggar sanksi tersebut. Namun, ketegasan jadi terasa membingungkan ketika Persib mengunggah surat dari PSSI, yang ditandatangani oleh Ratu.
Surat itu memang tetap menyatakan pertandingan digelar dengan penonton namun suporter Persib tidak diperbolehkan untuk masuk stadion.
Dalam surat tersebut, Tisha menjelaskan, penonton laga Maung Bandung vs PS TNI dilarang mengenakan atribut Persib meliputi jersey, spanduk, bendera dan hal-hal lain berbau Persib. Penonton juga dilarang melakukan koreografi Persib.
Pengumuman itu seolah menunjukkan ‘cakar’ PSSI tidak terlalu dalam terkait pemberian sanksi. Bagaimana mungkin menggelar pertandingan Persib di Bandung dengan penonton tapi tidak mengizinkan bobotoh masuk ke stadion?
Apakah PSSI tidak tahu bahwa sebagian besar warga Bandung, bahkan daerah lain di Jawa Barat, adalah pendukung Persib alias bobotoh? Bahkan, Wali Kota Kota Bandung Ridwan Kamil, atau yang akrab disapa Emil, menyatakan dirinya adalah bobotoh.
Lalu, bagaimana cara panitia untuk memastikan tidak ada pelanggaran aturan kalau tetap mengizinkan penonton? Benarkah cukup hanya dengan ‘tidak boleh menggunakan jersey, spanduk, bendera, menyanyikan yel-yel, dan membuat koreografi?
Atau, apa sih yang dimaksud PSSI dengan suporter dalam konteks sanksi ini? Apakah suporter hanya mereka yang mengenakan jersey, spanduk, bendera, menyanyikan yel-yel, dan melakukan koreografi?
Karena ketidakjelasan sanksi tersebut, mau tidak mau saya sepakat dengan pernyataan Manajer Persib Bandung Umuh Muchtar bahwa ini sanksi gila. Sanksi gila yang menunjukkan belum saatnya memahami sepak bola Indonesia dengan logika.