REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Setyanavidita Livikacansera, wartawan Republika
Di era digital ini, sudah berkali-kali terdengar istilah goes digital, berubah atau mati, dan transformasi digital. Berbagai bisnnis dari beragam industri pun mulai beramai-ramai mendigitalkan layanannya. Mulai dari, perbankan, media, asuransi, retail, hingga transportasi.
Kisah-kisah sukses para usaha rintisan, ikut pula menambah indah cerita tentang dunia digial dan berbagai peluang yang dibawanya. Pada Mei lalu, guyuran dana 1,2 miliar dolar AS dari Tencent, Cina membuat Gojek ditaksir memiliki valuasi sebesar Rp 38 triliun.
Belum lagi, dua raksasa niaga elektronik saat ini, Tokopedia dan Bukalapak. Hingga Januari 2016, Elang Mahkota Teknologi (Emtek) lewat anak usahanya, Kreatif Media Karya (KMK) telah menginvestasikan sekitar Rp 432 milliar ke Bukalapak yang digawangi Achmad Zaky tersebut.
Pada tahun yang sama, Tokopedia yang dibesut William Tanuwijaya juga mendapatkan nilai investasi luar biasa. Dari dua tahap pendanaan yang didapat Tokopedia, tepatnya pada 2014 dan 2016, e-commerce yang satu ini diperkirakan mendapatkan total investasi hingga 247 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,2 triliun.
Bisnis digital memang menawarkan peluang tanpa batas. Para pihak yang tak segera mengadopsinya, kemudian dibayangi-bayangi ancaman bahwa senjakala sudah di depan mata.
Bisnis digital memang pada hakikatnya bersifat disruptif. Ia siap menggusur siapa saja yang tak gesit mengikuti perubahan zaman. Tapi, bukan berarti adopsi teknologi digital menjanjikan keberhasilan pada siapapun yang menjalaninya.
Meski saat ini, ada beberapa raksasa baru yang berawal dari usaha rintisan tapi sebenarnya tingkat keberhasilan startup sangat rendah. Data yang umum digunakan sebagai patokan adalah sembilan dari 10 startup bisa dipastikan akan menemui kegagalan.
Sulitnya menaklukkan dunia digital tak hanya harus dihadapi para perintis. Para perusahaan petahana yang memiliki kekuatan modal besar pun ternyata bisa saja menyerah pada bisnis yang satu.
Ramadhan lalu, CEO Indosat Alexander Rusli secara terus terang mengungkapkan, perusahaannya tak mampu lagi mengemangkan berbagai layanan digital. Alasannya, bisnis digital ini ternyata sulit sekali dimonetisasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, selama Indosat berupaya mendapatkan revenue stream dari bisnis digital, bukan untung yang didapat. Melainkan, bocornya beberapa anggaran yang selama ini ditujukan untuk bisnis-bisnis konvensionalnya.
Ternyata, selama ini untuk mengembangkan bisnis digital, Indosat harus mengorbankan bujet dari pos marketing, event, atau promosi. Tunggu punya tunggu, bisnis konvensional yang dikembangkan menjadi korban, tapi bisnis digital belum ada kemajuan signifikan.
Hal senada juga diungkapkan Dian Siswarini, pimpinan XL Axiata Tbk. Menurutnya, saat ini perusahaannya tengah melakukan evaluasi terhadap berbagai bisnis digital yang selama ini dikembangkan. Kesulitan memonetisasi bisnis ini, menjadi alasan utama XL menempuh langkah ini.
Dian berencana, setelah menyudahi bisnis-bisnis digital yang dirasa kurang menguntungkan, dana yang tersisa akan digunakan untuk kembali fokus pada bisnis jaringan yang merupakan core utama XL. Menurutnya, di industri digital saat ini, XL toh akan selalu punya tempat, yaitu sebagai pemegang lisensi jaringan.
Dengan tak adanya jaminan sukses ketika sudah goes digital, para perusahaan konvensional sebaiknya perlu berhitung benar apabila memutuskan memutus revenue stream-nya yang lama. Seperti yang disampaikan Direktur Utama IBM Indonesia Gunawan Susanto, beberapa waktu lalu. “Banyak orang yang mengira bisnis digital itu berarti hadir dengan aplikasi mobile,” ujarnya.
Tapi, sebenarnya hal itu sangatlah tidak tepat. Perjalanan memulai keputusan beralih ke digital, seharusnya dilakukan dengan memetakan seperti apa perjalanan dari para kustomer selama ini. Apa-apa saja yang perlu diperbaiki dan bagaimana mengubah user experience menjadi lebih menyenangkan, kemudian mulailah melangkah dari sana.