Rabu 23 Aug 2017 08:03 WIB

Mendewasakan Pasar Lewat Tarif Data

Setyanavidita Livikacansera, wartawan Republika
Foto: dokumen pribadi
Setyanavidita Livikacansera, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Setyanavidita Livikacansera, wartawan Republika.co.id

Sepanjang 2007 hingga 2011, industri telekomunikasi Indonesia menghadapi masa perang tarif yang panjang. Saat itu, tarif bicara dan tarif short message service (SMS) menjadi objek layanan yang diharapkan operator dapat mengakuisisi pelanggan dari operator lawan.

Pada Oktober 2006 PT Bakrie Telecom (Esia) menerapkan harga murah Rp 50 per menit antar pelanggan on-net-operator yang sama dan Rp 800 per menit untuk panggilan ke pelanggan off-net atau beda operator. Sedangkan PT Mobile-8 (Fren) menerapkan tarif Rp 275 untuk menit pertama dan Rp 14 untuk tiap menit berikutnya untuk on-net dan Rp 800 per menit untuk panggilan off-net.

Penerapan tarif promosi juga dilakukan oleh PT Excelcomindo Pratama yang menurunkan tarifnya menjadi Rp 149 per 30 detik, sementara Simpati dari Telkomsel memberlakukan tarif Rp 300 per menit untuk pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 23.00 hingga 07.00. Tak mau kalah, Indosat melalui Mentari bahkan memberikan tarif gratis kepada pelanggan yang melakukan panggilan antara pukul 00.00 hingga 05.00.

Dengan masa peperangan yang panjang, begitu banyak dampak yang terjadi setelah para operator memutuskan menyudahi persaingan ini. Jumlah operator yang saat itu berjumlah tujuh, yaitu Telkomsel, XL, Indosat, Smart, Fren, Axis, dan Esia, menyusut hingga menjadi lima karena Smart dan Fren akhirnya bergabung. Begitu pula dengan Axis yang akhirnya kini menjadi satu dengan XL.

Lebih dari lima tahun berselang, wajah industri telekomunikasi terus mengalami evolusi. Teknologi 3G yang menjadi fase awal perkenalan pasar dengan layanan data, berkembang pesat dan menghadirkan teknologi 4G. Layanan suara dan SMS pun kini sudah menjadi legacy dan data menjadi jualan baru para operator.

Pertengahan tahun lalu, pemberlakuan tarif Rp 1 oleh salah satu operator telekomunikasi seakan menandai kembali dimulainya perang tarif data. Beberapa kekhawatiran pun mencuat. Operator ditakutkan akan kembali jatuh dalam situasi perang berkepanjangan, padahal mereka juga masih dalam tahap pemulihan dari perang tarif lima tahun lalu.

Satu tahun berlalu, meski situasi panas perang tarif tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan, tapi yield data para operator ternyata terus mengalami penurunan. Yield data adalah total pendapatan data dibagi dengan total trafik data.

Indosat mencatat, yield data mereka di kuartal pertama 2017 adalah sebesar Rp Rp 14 ribu per gigabyte (GB), sementara di kuartal pertama 2016 tercatat lebih tinggi sebesar Rp 32 ribu per GB dan di kuartal ketiga 2016 turun jadi Rp 17 ribu per GB.

Bukan cuma Indosat yang mengalami hal demikian. Telkomsel mencatat, yield data mereka di kuartal pertama 2016 adalah Rp 34 ribu per GB, lalu di kuartal ketiga 2016 turun jadi Rp 26 ribu per GB dan terus turun di kuartal pertama 2017 menjadi Rp 19 ribu per GB.

Permintaan agar pemerintah segera menetapkan tarif bawah pun segera ditolak mentah-mentah oleh Menkominfo, Rudiantara. Menurutnya, makin turunnya pendapatan para operator dari data, tak lepas dari perilaku mereka sendiri yang hobi saling mengakuisisi dengan jalan menawarkan tarif murah.

Dengan makin tumbuhnya masyarakat digital, tarif data memang tidak perlu menjadi objek akuisisi operator dan ditawarkan di tingkat harga yang murah. Mungkin, sebagian masyarakat akan senang karena biaya telekomunikasi bisa ditekan.

Tapi, hal ini jauh lebih berbahaya di masa depan. Bukan hanya para operator terancam bubar karena pendapatan terus menurun, kualitas layanan sudah pasti akan menjadi taruhan. Ketimpangan layanan telekomunikasi antara kota dengan daerah juga dalam jangka panjang juga sudah pasti akan semakin tak terkejar. Karena, membangun daerah jelas membutuhkan biaya investasi yang besar.

Sudah saatnya para operator dan pasar sama-sama lebih dewasa dalam menawarkan dan menikmati layanan telekomunikasi. Dengan tarif yang menyertakan komponen pembangunan berkelanjutan di dalam komponen harganya, industri ini dapat terus bertahan hingga bertahun-tahun yang akan datang. Konsumen pun bukan tidak mungkin akan lebih bijaksana ketika mengonsumsi kuota datanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement