REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilham Tirta, wartawan Republika.co.id
Di tepi pergumulan hebat antara hidup dan mati, lelaki tua menerjang dengan tombak keramatnya. Ia murka, dan siap merobek jantung lawan yang baru saja memotong leher anak rajanya. Namun tombaknya jatuh, dan ia berlutut di tanah becek.
Dalam lakon Bahubhali (2015), Katappa hidup dengan cara menghamba pada tanah dan airnya, Kerajaan Maheshmati. Ketika seorang bangsawan tetangga menawarinya kejayaan, ia menawarkan pedang di lehernya sendiri. Karena itu pula, ia harus menjadi herder bagi kekuasaan raja yang zalim.
Raja tahu betul si tua akan membela, sejahat apa pun perbuatannya. Dan Katappa menutup mata, meski getir. Hidup seperti Katappa mungkin sangat mencekam. Tapi dalam kata 'negara', selalu ada orang seperti dia. Dalam cerita Mahabharata misalnya, Bhisma Dewabrata harus membela Kurawa yang jahat atas kendali dendam Sangkuni. Itu bukan soal benar dan salah, nilai dan moral, tapi soal Hastina Pura yang harus dibela, siapapun yang duduk di atas tahta.
Dalam banyak kisah, kekuasaan yang diambil dengan angkara dan muslihat selalu menyisakan patriot 'buta' seperti mereka. Bedanya, di zaman sekarang, apa yang diperjuangkan Katappa dan Bhisma terdegradasi dalam nilai dan angka. Patriotisme seorang abdi negara jarang sekali bisa dibanggakan, untuk tidak menyebutnya memalukan.
Ya, kekuasaan tidak lagi direbut dengan pedang dan darah. Monarki berganti demokrasi ala siapa saja. “Athenian democratic” ala Kleisthenes dan Pericles terus bertransformasi hingga ke apa yang disebut Abraham Lincoln (1936) sebagai 'pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat'. Di Indonesia, Sukarno menyebutnya demokrasi yang sosialis dengan penambahan embel 'sosialisme yang dikurangi dengan pengertian materialistiknya yang ekstrem'.
Demokrasi Indonesia lahir di atas bangsa yang disebut Sukarno sebagai 'yang terutama takut dan cinta kepada tuhan'. Apa pun itu, demokrasi menjanjikan rakyat sebagai penguasa dalam mekanisme perwakilan suara terbanyak. Tujuannya adalah keadilan.
Seiring waktu berlalu, pemilihan umum yang diikuti banyak partai menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sebenarnya. Ya, kekuasaan adalah bola di tengah lapangan, diburu dengan segala daya upaya. Muslihat muncul dalam ruang-ruang gelap lobi politik hingga melahirkan politik transaksional yang mengalihkan kata 'cinta dan takut kepada Tuhan'. Bahkan, kita terkejut dengan munculnya politikus yang hendak memisahkan agama dengan negara pada awal tahun lalu.
Politik yang tidak lagi bersandar pada etik akan melahirkan cara-cara yang culas, jahat, penuh intrik dan tipuan. Donald Trump misalnya, ia sukses menjual branding anti-Islam di negara yang katanya terancam Islamisasi dan terorisme. Trump merekayasa ketakutan orang banyak menjadi kekuatan dahsyat. Dan itu tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia, calon presiden biasanya berpura-pura menjadi bagian dari pihak tertentu.
Proses demokrasi akhirnya menjadi ajang mempermainkan orang banyak. Itu tidak ubahnya merampok dengan cara yang disepakati bersama oleh 'yang mewakili'. Dan demokrasi yang gagal itu tidak hanya melahirkan penguasa yang salah, ia juga melahirkan seorang 'Katappa'. Tentu saja dengan wajah globalisasi, yang patriotismenya menciut dalam penampakan herder yang sebenarnya.
Di Mahishmati, Katappa adalah seorang komando militer yang disegani. Sementara raja, dalam monarki, adalah perpanjangan tangan tuhan. Dia adalah hukum, yang di tangannya tersimpan cawan nyawa rakyatnya. Baik dan buruk nasib seseorang bergantung sungguh pada titahnya, dan Katappa adalah pedangnya.
Keadilan raib tanpa jejak di Maheshmati. Keadaan semakin memburuk ketika raja yang serakah dihantui oleh pemberontakan, pengambilalihan kekuasaan, dan makar. Raja sangat tahu, ia telah memenangkan legitimasi, namun ia gagal meraih hati sebagian besar rakyatnya. Itu sebabnya, ia tak membiarkan seorang penentang pun lolos dari hukumnya.
Kenyataannya, penguasa tak boleh takut. Ketika penguasa takut, saat itulah simbol-simbol itu dibutuhkan. Harus ada yang 'digebuk' sehingga ketakutan bisa massif dan menyeluruh. Maka aturan dibuat dan penentang dihabisi. Tak ada tempat bagi mereka yang dianggap mengancam jalannya kekuasaan. Di pelataran istana, raja merantai simbol pemberontakan; wanita tua yang penuh debu dengan luka bekas siksaan di sekujur tubuhnya.
Namun, ketakutan itu seperti air yang terbendung. Sekuat apa pun kau menekannya, pada waktunya ia akan menerjang dengan ganas, dan Katappa tidak sepenuhnya herder. Ia kembali pada kebenaran, keadilan, dan patriotismenya yang murni. Katappa siap membumihanguskan raja dan pengikutnya yang zalim. Amuk massa.
Patriotisme itu mungkin juga sempat bersandar pada hati Edward Snowden ketika ia pertama kali melamar menjadi anggota National Security Agency (NSA) AS, setelah gagal menjadi tentara. Namun, apa yang dilakukan negaranya di luar dugaan.
"Kau tak perlu setuju pada politisi untuk menjadi seorang patriot," kata Corbin O'Brian, guru Snowden, ketika keduanya berburu. Dan ia minggat.