Sabtu 26 Aug 2017 18:58 WIB

Menanti Negara Mewujudkan Perpres Antiperundungan Anak

Sejumlah warga dari komunitas Sudah Dong membawa poster-poster ajakan tidak melakukan bullying saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (23/7).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah warga dari komunitas Sudah Dong membawa poster-poster ajakan tidak melakukan bullying saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (23/7).

Oleh: Indira Rezkisari

Redaktur Republika.co.id

Perilaku bullying masih menjadi area abu-abu di sekolah. Beberapa pihak belum menganggap perilaku bullying atau menindas orang lain itu sebagai hal serius.

Padahal, dari 2011 hingga agustus 2014, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25 persen dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar.

Dari tahun ke tahun, publik pun seakan tak berhenti dikejutkan dengan aksi bullying. Yang teranyar dan menghebohkan Indonesia terjadi beberapa bulan lalu ketika seorang mahasiswa berkebutuhan khusus menjadi korban bullying teman sekampusnya. Hingga video sejumlah anak SMP menarik dan menjambak temannya sampai memaksa korban mencium kaki pelaku di sebuah pusat perbelanjaan yang sepi di Jakarta.

Upaya untuk menghindari bullying juga tidak selalu mudah. Pola didik anak di Indonesia yang masih mengedepankan pentingnya pencapaian akademik membuat anak dibesarkan dengan terfokus pada pencapaian di bidang itu. Psikolog keluarga, Kassandra Putranto, mengatakan fenomena ini merupakan dampak dari terabaikannya prinsip inklusi dan indiskriminasi dalam sistem pendidikan Indonesia. Sistem pendidikan yang terlalu berorientasi akademik dan fokus pada kecerdasan intelektual kerap mengabaikan kecerdasan sosial dan emosional.

"Ketika individu tidak pernah belajar tentang nilai-nilai pekerti dan mereka tidak mendapatkan konsekuensi dari perilaku yang diskriminatif terhadap orang yang berbeda, bahkan mungkin memperoleh penguatan berupa tepuk tangan, dianggap hebat, dan didukung atau dibiarkan, perilaku tersebut akan semakin melekat menjadi bagian dari karakter," ujarnya kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Selain urusan pola didik, faktor kedekatan orang tua dengan anak juga bisa memicu menghindari kebiasaan buruk anak. Kasandra mengatakan dengan menjadi sahabat terbaik bagi anak sejak kecil, maka si anak memiliki kematangan pribadi, kecerdasan sosial emosional serta nilai-nilai budi pekerti. Tak lain tujuan dari semua itu adalah supaya anak dapat dengan nyaman mengkomunikasikan apa yang menjadi kebutuhan. Semisal, orang tua bisa menjadi sahabat anak hanya ketika anak bermain, atau dalam kegiatan yang menyenangkan lainnya. Atau ketika anak sedang bercerita atau berbagi dengan orang tua.

Sedangkan pada kondisi lain, orang tua harus tetap dalam memegang perannya sebagai pemberi informasi anak, tidak sejajar dengan anak. Selain itu, orang tua sebagai sahabat anak bukan berarti harus mengikuti semua kemauan anak. Ayah dan ibu tetap punya hak untuk membuat keputusan jika memang apa yang dimau anak kurang baik.

Peran orang tua memang sangat besar dalam kehidupan anak. Tak sedikit perilaku anak merupakan cerminan dari sikap orang tua.

Psikolog keluarga, Anna Surti Ariani mengatakan, inspirasi anak melakukan perundungan sangat beragam. Hal itu bisa berasal dari tontonan, cerita kakak kelas atau teman, lingkungan sekitar, dan juga orang tua. Bahkan, kata Anna, saat ini ada pula orang tua yang suka berbicara kasar.

"Jadi, inspirasinya bisa sangat beragam termasuk dari orang tua juga salah satunya," kata Anna. Ia mengimbau kepada orang tua untuk selalu menjaga sikap di depan anak-anak. Orang tua juga perlu membimbing anak untuk memahami perbedaan.

"Kalau ada yang tidak cocok jangan diserang, jangan diperlakukan tidak hormat," kata Anna.

Perilaku bullying kemudian perlu dipandang sebagai sesuatu yang serius. Ketika anak di sekolah diejek terus menerus, ketika anak terus dibuat tidak nyaman oleh teman-temannya, pihak sekolah dan orang tua perlu mengambil sikap. Tujuannya agar perilaku tersebut tidak mengarah ke aksi bullying yang lebih intens berupa pemukulan atau bahkan pengejekan yang sangat tidak pantas.

Lupakan pikiran bahwa anak-anak hanya bercanda. Atau anak-anak cuma menjadi anak-anak. Ketika ada tindakan yang sudah membuat tidak nyaman satu pihak, di sekolah, rumah, atau bahkan di media sosial, sikap perlu diambil.

Mungkin masyarakat perlu ditegaskan dengan instrumen hukum terkait perilaku bullying. Presiden Joko Widodo tahun lalu sempat mencetuskan keinginannya menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait perundungan atau bullying di sekolah.

Saat menggelar rapat terbatas dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jokowi meminta KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) untuk memperketat pengawasan media penyiaran dan melakukan filter terhadap isi siaran yang tidak ramah anak, terutama yang mengeksploitasi kekerasan. Jokowi juga mengatakan setuju dengan usulan penerbitan Perpres tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan dengan meminta Mendikbud, KPAI, dan Menko PMK untuk segera menyiapkan draftnya.

“Lingkup Perpres adalah pemastian lingkungan sekolah yang ramah anak dan memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah, madrasah dan pesantren,” kata Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh, ketika itu.

Sekolah ramah anak, lingkungan ramah anak, hingga negara yang ramah anak diharapkan bisa membantu kualitas hidup anak Indonesia. Sebab anak tak hanya butuh gizi yang paripurna, namun juga butuh hidup dalam kondisi yang sebaik mungkin bagi perkembangan psikologisnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement