Sabtu 02 Sep 2017 21:07 WIB

Stigmatisasi Pelaku Bunuh Diri

Ilustrasi Bunuh Diri
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Bunuh Diri

Oleh: Esthi Maharani

Redaktur Republika.co.id

Beberapa tahun belakangan, kita seringkali disuguhkan dengan berita bunuh diri. Celakanya aksi tersebut diunggah lewat media sosial. Misalnya pada 2011, seorang pria Inggris bunuh diri di Safdarjung Enclave, New Delhi, India, sementara sang kekasih menonton lewat Skype. Pada 2016, seorang gadis berusia 19 tahun di Prancis melompat ke depan kereta api yang melaju sambil mengabarkan kematiannya lewat aplikasi Periscope di ponsel.

Tak terbilang banyaknya kasus serupa di berbagai belahan dunia sehingga aksi bunuh diri itu seolah jadi tren mengenaskan. Di Indonesia, kasus yang cukup mencengangkan adalah video bunuh diri pria asal Ciganjur, Jakarta Selatan, pada Maret 2017. Bunuh diri diunggah secara live di Facebook dan menggegerkan warga net.

Bunuh diri menjadi kasus yang sangat kompleks dan jarang dikaitkan dengan satu faktor penyebab saja. Yang harus disadari, bunuh diri disebabkan faktor kejiwaan diantaranya gangguan jiwa seperti depresi, skizofrenia, atau bipolar yang meningkatkan peluang seseorang bunuh diri. Selain itu juga ada faktor pemicu, yakni kondisi yang mendukung seseorang bunuh diri. Misalnya gagal ujian, dipecat, atau putus cinta yang menyebabkan kepercayaan dirinya runtuh.

Ahli Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Carla Raymindalexas Marchira, mengatakan di tingkat global, lebih dari 800 ribu orang meninggal setiap tahun akibat bunuh diri. Bunuh diri juga menjadi penyebab utama kedua kematian pada usia 15 hingga 29 tahun. Kasus terbanyak bunuh diri pada laki-laki. Sekitar 75 persen kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Berbicara tentang bunuh diri di Indonesia, masalah klasik selalu muncul yakni tidak ada data valid yang bisa jadi pegangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan angka bunuh diri di Indonesia sebesar 2,9 kasus per 100.000 orang penduduk. Ini pun berdasarkan laporan WHO pada 2015.

Jika dilihat, jumlah tersebut masih rendah dibandingkan 16 kasus bunuh diri per 100.000 penduduk di Thailand. Tapi jangan bangga dulu, diperkirakan angkanya jauh lebih tinggi daripada yang tercatat.

Salah satu persoalan yang dihadapi adalah stigmatisasi pada pelaku (korban) bunuh diri serta keluarganya. Ada anggapan dari masyarakat bahwa orang yang bunuh diri atau mencoba bunuh diri sebagai orang yang lemah, putus asa, frustasi, dan tidak ingat Tuhan. Label pendosa seringkali disematkan pada mereka yang mengakhiri nyawa sendiri. Keluarga pun memilih untuk menutup rapat ‘aib’ daripada membuat laporan ke polisi atau Kementerian Kesehatan.

Padahal, bunuh diri perlu dilihat sebagai kondisi kejiwaan yang bermasalah. Alih-alih memberikan stigma, ada baiknya masyarakat lebih terbuka untuk membicarakan masalah kejiwaan seperti depresi, skizofrenia, atau bipolar dan kasus bunuh diri.

Pendiri komunitas yang aktif mengadvokasi masyarakat mencegah bunuh diri, Into The Light, Benny Prawira menegaskan ada beberapa pendekatan pencegahan bunuh diri diterapkan. Pencegahan primer yakni dengan menciptakan lingkungan yang aman untuk mencegah munculnya keinginan seseorang bunuh diri.

Selanjutnya adalah tahap intervensi krisis, yaitu pencegahan setelah munculnya keinginan bunuh diri melalui pendekatan personal dan konseling. Benny mengatakan orang yang sudah merasa ingin bunuh diri biasanya memang tidak melibatkan logika dalam berpikir. Mereka hanya larut dalam emosi negatif yang mendorongnya untuk mengakhiri hidup.

Ketika melihat ada seseorang yang sudah dirundung aura tersebut, tempatkan diri sebagai pendengar. Coba pahami masalah apa yang membuat mereka merasakan emosional, apakah kehilangan atau sebuah tekanan.

"Ketika mereka tidak bisa berpikir, maka kita harus tahu emosinya di mana, mereka ini ingin lari. Mereka bukan mau mati, tapi lari dari rasa sakitnya. Jangan menasehati atas alasan yang dilontarkan. Mereka dalam kondisi emosional yang justru akan kabur jika dinasehati," katanya.

Sebaiknya, menurut Benny, sebagai pendengar mendorong mereka pada hal-hal yang membuat orang itu bertahan menghadapi semua tekanan atau rasa kehilangan. Coba pula mengingatkan akan tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai.

Jika dengan cara tersebut terlihat masih ada keinginan bunuh diri, sebaiknya mencoba ikut turun langsung untuk mendorong berkonsultasi dengan psikologi. Penanganan ahli akan lebih berguna dan membantu proses penghilangan rasa ingin mengakhiri hidup seseorang.

"Kadang orang enggan ke psikolog atau psikiater sebab takut penilaian orang, dikira orang gila. Tapi, ini dibutuhkan untuk kasus-kasus tertentu," katanya.

Terakhir, tahap pasca-kematian bunuh diri yang ditujukan pada pihak kerabat dan keluarga yang ditinggalkan. Ia mengatakan kematian karena bunuh diri bisa menimbulkan rasa bersalah, marah, dan juga sedih pada orang yang ditinggalkan. Bahkan bisa memunculkan keinginan bunuh diri pada orang yang ditinggalkan.  

Sementara Kementerian Kesehatan berdalih tak banyak orang yang meminta bantuan pada pemerintah, meski layanan hotline untuk gangguan mental pernah didirikan. “Karena penelponnya tak terlalu banyak, maka layanan pengaduan ini sudah sentralisasi dengan nomor rumah sakit (RS) jiwa. Kini, nomor hotline untuk pengaduan kesehatan jiwa di 119 berguna untuk pencegahan,” kata Menteri Kesehatan (Menkes), Nila F Moeloek, pada Juli lalu.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement