Jumat 06 Oct 2017 07:22 WIB

Agar Bank Syariah tidak Seperti Metromini

 Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan sambutan saat pembukaan seminar Perbankan Syariah bertajuk Rembuk Republik, Jakarta, Kamis (5/10).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memberikan sambutan saat pembukaan seminar Perbankan Syariah bertajuk Rembuk Republik, Jakarta, Kamis (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi dan Binti Solikhah

Perubahan pola pikir menuju ekonomi syariah tidak bisa berlangsung mendadak. Dibutuhkan proses yang tampak pelan, tapi pasti disertai kesabaran.

Hal ini disampaikan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso saat memberikan keynote speech dalam acara Rembuk Republik bertajuk "Industri Syariah dan Pemerataan Perekonomian" di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Kamis (5/10).

Selain Wimboh, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekaligus Wakil Ketua Komite Nasional Keuangan Syariah KH Ma'ruf Amin dijadwalkan hadir. Namun, karena ada agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan, Kiai Ma'ruf urung hadir.

Sementara sebagai panelis adalah Pelaksana Tugas Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank 2 OJK Moch Ichsanuddin, Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia Adiwarman Karim, dan Plt Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo. Tampil sebagai moderator Kepala Republika.co.id Elba Damhuri.

Wimboh menjelaskan, perubahan pola pikir menuju ekonomi syariah membutuhkan peran serta seluruh komponen masyarakat. Hal ini pun bisa dimulai dari tingkat terkecil, seperti anak-anak ataupun perdesaan. Wimboh membandingkan masyarakat negeri jiran Malaysia yang sudah berpola pikir ekonomi syariah.

"Kalau ekspektasi kita syariah akan tahan banting dan berkelanjutan, dengan perubahan pola pikir, kita harap itu akan tercapai," kata Wimboh.

Menurut dia, ekonomi syariah, terutama keuangan syariah, dapat memiliki target desa. Akan tetapi, yang harus ditelaah adalah kebermanfaatan bagi masyarakat.

Kalau ekonomi syariah diibaratkan bus metromini, bukan bus kelas satu, karena penumpangnya sedikit. Itu pun sebagian besarnya adalah penumpang konvensional yang dicap syariah.

Faktor lain yang penting adalah edukasi. OJK memiliki program literasi keuangan. Namun, Wimboh menyebut OJK tidak bisa sendiri mengupayakannya.

"Harus bersama daerah. Diskusi masyarakat yang punya perhatian terhadap ekonomi syariah juga bagus sehingga tantangan edukasi bisa terjawab," ujarnya.

Wimboh menambahkan, OJK juga sedang memformulasi agar keuangan syariah bisa lebih fleksibel. Sehingga produk keuangan syariah sinkron dan menarik.

Produk syariah memang lebih rumit, tapi harus dipikirkan bagaimana agar kompetitif. "Maka tantangan kita bersama lainnya bagaimana keuangan syariah jadi tulang punggung ekonomi, syariah," katanya.

Khusus untuk pangsa perbankan syariah, Wimboh menilai, kenaikan pangsa mudah untuk dicapai. Pernyataan Wimboh menanggapi 'sindiran', yang selalu disuarakan terhadap industri keuangan syariah, khususnya sektor perbankan, yang sulit meningkatkan level pangsa pasar dari lima persen terhadap pasar perbankan nasional.

Baru pada 2016, pangsa pasar perbankan syariah dapat mencapai lima persen, setelah dalam beberapa tahun sebelumnya selalu berada di bawah lima persen. Saat ini pangsa perbankan syariah berada di 5,32 persen. "Target pangsa pasar lima persen itu mudah. Mau 20 persen juga bisa," ujarnya.

Lebih lanjut, Wimboh mengatakan, lebih baik industri keuangan syariah memikirikan upaya untuk meningkatkan kontribusinya terhadap pemerataan perekonomian. Beberapa upayanya adalah dengan meningkatkan pembiayaan untuk segmen mikro.

Saat ini, dengan pangsa pasar 5,32 persen, aset perbankan syariah sebesar Rp 380 triliun. OJK mencatat terdapat tiga bank umum syariah, 21 unit usaha syariah di bank, dan 167 bank pembiayaan rakyat syariah.

Pelaksana Tugas Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank 2 OJK Moch Ichsanuddin menjelaskan, berdasarkan survei OJK pada tahun lalu, literasi keuangan syariah baru 8,11 persen dibandingkan konvensional 29,66 persen. Begitu juga, inklusi keuangan syariah 11,06 persen sementara konvensional 67,82 persen.

OJK memahami, upaya membangun kesadaran menggunakan jasa keuangan syariah tidak mudah. Meski bertujuan jangka pandang dan nilai agama, tidak sedikit nasabah Muslim yang tetap berhitung untung dan rugi menggunakan jasa keuangan syariah.

Edukasi, menurut Ichsanuddin, akan memengaruhi sisi permintaan. Berbagai media sosialisasi edukasi bisa dipakai, termasuk forum-forum informal seperti kopi darat.

Di sisi pasokan, OJK juga mendorong agar produk keuangan syariah lebih variatif dengan fitur lebih lengkap. Teknologi juga perlu disesuaikan untuk memudahkan akses ke seluruh masyarakat.

Sila kelima

Pemerataan menjadi isu besar yang menjadi perhatian Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tidak terkecuali Republika.

Menurut Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaidi, pemerataan bukan hanya dari sisi ekonomi semata melainkan sisi sosial seperti pendidikan. "Jangan sampai ada pihak yang lebih diutamakan, sementara ada pihak lain yang dipinggirkan. Ini jadi bom waktu," katanya.

Oleh karena itu,Republika merangkai pemerataan dengan ekonomi syariah dalam Rembuk Republik. Republika tidak bosan mendorong agar ekonomi syariah jadi penggerak perekonomian nasional. Sehingga pemerataan yang menjadi manifestasi sila kelima dalam Pancasila dapat terwujud.

Hubungan Republika dengan ekonomi syariah sangat erat. Tercatat sudah 20 tahun rubrik ekonomi syariah ada hadir di Republika sejak pertengahan 1990-an.

(diolah oleh Muhammad Iqbal)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement