REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Intan Pratiwi, Jurnalis Republika Desk Energi, Sumber Daya Mineral, dan Kelautan
Niat pemerintah dalam melakukan nasionalisasi tambang Grasberg sempat menuai euforia masyarakat pada 20 Agustus 2017 lalu. Angin segar tampak terlihat saat Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson duduk berdampingan membicaran masa depan tambang emas di Papua.
Kabar gembira yang ditunggu-tunggu terutama oleh pemilik tanah ulayat di papua sempat ditabuh dan gembar gembor di medai sosial. Presiden Joko Widodo juga sesumbar bahwa melalui negoisasi yang panjang dan tidak mudah akhirnya Freeport takluk. Freeport dikatakan harus melakukan divestasi saham, membangun smelter, dan akan patuh atas semua peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
Kesepakatan trilogi itu pun dijadikan slogan Presiden Jokowi, bunyinya: kungkungan asing di Tanah Grabsberg akhirnya usai --setelah 32 tahun lebih dikelola oleh perusahaan multinasional asal Amerika tersebut.
Entah ada angin apa, pagi itu, tanggal 28 September 2017, saya mendapat pesan singkat berantai yang berisi dua data yang tertulis surat dari Freeport. Surat tertanggal 25 September 2017 itu berisi poin-poin penolakan Freeport atas keberhasilan perundingan yang sempat digaungkan pada 20 Agustus sebelumnya.
Pada surat yang disebut 'bocor' ke publik tersebut Freeport menuliskan penolakan atas skema divestasi saham yang ditawarkan pemerintah. Tak hanya divestasi, poin Freeport meminta kepastian investasi seakan menjadi antitesis dari pernyataan pemerintah bahwa Freeport sepakat dengan skema perpajakan yang sudah ditetapkan pemerintah.
Tak ayal, publik kembali gempar pascasurat yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan tersebut bocor. Sebab, surat itu malah mengindikasikan ada yang tak tuntas dari perundingan kemarin.
Layaknya orang yang sedang harap-harap cemas atas pernyataan cinta, tiga menteri yaitu Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Menteri ESDM saling saut menyahut membantah isi dan maksud surat yang bocor ke publik tersebut.
Namun, lambat laun semakin isu mengalir, ternyata benar adanya bahwa ada yang tak tuntas dalam pembicaraan hari itu. Detail divestasi yang terkait kapan akan dilakukan dan berapa besaran uang yang harus pemerintah persiapkan ternyata belum selesai dibahas.
Belum lagi, perusahaan asal Paman Sam itu memainkan posisinya sebagai perusahaan yang cukup berpengaruh di dunia untuk bisa mempertahankan posisinya di tambang Grasberg dengan kontrak karya. Skema kontrak karya padahal merupakan peninggalan rezim-rezim sebelumnya.
Di tengah persoalan yang belum selesai, tiga menteri yang tadinya satu suara bahwa Freeport dan Indonesia baik-baik saja malah saling tuding dan lempar kewenangan. "Tugas kami soal perundingan bangun smelter sudah selesai. Sisanya silahkan ke Bu Menkeu dan Bu Menteri BUMN," kata Jonan.
"Soal pajak dan divestasi ada di Bu Menkeu. Kita sedang tunggu formulanya. Kita siapkan holding tambangnya untuk bisa serap saham Freeport," ujar Menteri BUMN yang sampai saat ini masih ditolak kehadirannya di DPR akibat kasus RJ Lino tahun lalu.
Sedangkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih diam dan enggan membahas persoalan Freeport. Hanya saja, waktu itu di sebuah acara, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo menyebutkan ada tim yang urus itu.
Juru Bicara Freeport, Riza Pratama saat beberapa kali dihubungi oleh Republika juga menunjukkan sikap sebenarnya belum ada kesepakatan yang benar-benar jadi konklusi. Riza berulang kali mengatakan masing-masing kesepakatan saling berhubungan dan jika salah satunya tak sepakat, maka artinya batal!
Entah sudah berapa lama, Suku Amungme pemilik tanah Grasberg harus menunggu perundingan yang tak kunjung selesai. Janji dari satu rezim ke rezim selalu sama bahwa kelak Suku Amungme tak lagi harus merasa terbelenggu.
Janji yang sama dari satu rezim ke rezim yang lainnya juga sempat membuat masyarakat Indonesia berada dalam ujung kebahagiaan namun harus kembali dihempaskan karena gagal lagi. Tanah Grasberg, kembali masih jadi milik cukong Amerika itu.
Tapi kemudian saya teringat, tahun depan adalah tahun politik. Seperti yang sudah-sudah, pada tahun politik siap-siap saja media sosial digempur pencitraan. Digempur oleh tudingan yang memuakkan.
Satu satunya hal dan doa yang selalu dilakukan suku Amungme kiranya layak untuk kita resapi. Kita juga bisa ikut berdoa agar hak suku Amungme yang sudah puluhan tahun terbelenggu tersebut tidak dijadikan ajang hore-hore politik yang hanya dinikmati segelintir orang di Jakarta.
Freeport, oh Freeport...