REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Politik/Peliput Anies-Sandi
Saya teringat ketika Anies Baswedan menegur seseorang dalam kampanyenya. Peristiwa itu terjadi pada 15 Maret 2017, saat kampanye putaran dua di daerah Taman Sari, Jakarta Barat. Anies saat itu mengangkat isu penggusuran.
Ia mencoba mengajak dialog warga dengan santai. Isu penggusuran menjadi salah satu senjata Anies-Sandi di masa kampanye. Karakter Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang bengis dan tanpa kompromi dalam menggusur permukiman warga dimanfaatkan pasangan ini.
Ketika di panggung kampanye kala itu, Anies bertanya kepada warga. "Siapa yang suka menggusur," serunya. Nadanya mengayun. Senyumnya tetap terkembang. Kata 'menggusur' sedikit mendapat penekanan. Tiba-tiba muncul celetukan dari kerumunan peserta kampanye. "Cina!"
Mimik Anies tiba-tiba sangat serius. Dia bahkan beberapa langkah ke sisi kanan panggung berjalan mendekati sumber suara. "Woi.. jangan, jangan. Ini nggak ada urusan dengan itu (etnis seseorang). Kita tunjukkan bahwa orang bisa salah, tapi kita katakan kita tidak setuju dengan kebijakannya, jangan lihat identitasnya," sergah Anies.
Saya merasa petikan peristiwa itu perlu saya sertakan di awal tulisan terkait perdebatan akhir-akhir ini. Kata 'pribumi' seketika menjadi tema primadona diskusi di jagad maya. Selepas pidato politik Anies pascapelantikan, perdebatan seputar itu terus menggeliat. Sayang, lebih banyak yang tidak konstruktif. Dari kedua pihak.
Saya sempat menanyakan secara pribadi kepada Anies terkait pidato politik yang menuai polemik itu. Kesempatan itu saya dapat tak lebih dari 24 jam usai Sang Gubernur menggelorakannya di halaman kantor Balai Kota DKI. Ketika Anies selesai shalat Dhuhur di Masjid Fatahillah, Komplek Balai Kota, Selasa (17/20), pertanyaan pertama saya adalah apakah pidato itu 100 persen ditulisnya sendiri?
Pertanyaan ini menjadi penting karena adanya perbedaan teks yang disebarkan Tim Komunikasi Anies-Sandi dengan ucapan Anies di panggung orasi. Ada beberapa improvisasi di sana.
Baca Juga: Anies-Sandi, Reklamasi, dan Bandul yang Berbalik
Saya menyodorkan alat perekam sembari berjalan di samping kanannya. Anies merangkul pundak saya. "Iya dong," kata Anies. Jawaban itu tegas dan menekan. Intonasinya meyakinkan orang lain atas kemungkinan adanya keraguan. Dia menatap saya saat mengucapkannya.
Pertanyaan kedua saya adalah mengapa seorang Anies Baswedan memilih diksi 'pribumi' dalam sebuah pidato sakral? Meskipun konteksnya adalah merujuk zaman penjajahan atau era kolonial. Anies, sejauh yang saya kenal, adalah sosok yang meletakkan keberagaman, perbedaan dan kebinekaan sebagai sebuah fakta dan harus dijaga.
Pandangan itu saya sertakan di dalam pertanyaan. Anies pun mengangguk sebagai isyarat mengiyakan. Tetapi jawabannya hanya senyum simpul dan sekalimat pendek. "Pokoknya itu, baca (pidato) itu lah. Ntar lagi, cukup," katanya.
Sedari pagi, Anies diberondong pertanyaan para pewarta maksud kata 'pribumi' ini. Jawabnya pun lugas, "istilah itu digunakan untuk konteks pada saat era penjajahan," katanya mantab. Anies santai menjawabnya, benar-benar santai.
Selain sudah ramai diperdebatkan dari malam, Anies pasti sudah memperhitungkan segala konsekuensi dari pidatonya. Tentu sedari awal, dari sejak teks pidato itu ditulisnya. Menilainya blunder dalam pidato pertamanya adalah keblunderan itu sendiri. Dia sudah menimbang matang. Diksi yang digunakan pasti dipilih dengan kecermatan seorang Anies Baswedan.