REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi, Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Ekonomi Syariah
Apa yang terbayang bila mendengar ada makhluk tanpa kepala? Setan? Demit?
Apapun itu, makhluk tanpa kepala pastilah terdengar seram. Atau setidaknya buat saya yang dalam beberapa praktikum struktur otak hewan harus memisahkan kepala hewan dari badannya. Makhluk tanpa kepala tampak mengenaskan.
Itu pula yang saya pikir terjadi pada zakat Indonesia. Bila potensi zakat yang diukur pada 2010 sebesar 1,7 persen hingga 3,4 persen dari PDB bangsa ini, nilai potensinya mencapai Rp 107 triliun hingga Rp 217 triliun per tahun. Bila itu acuannya 3,4 persen PDB, maka zakat terkumpul sebesar Rp 4,4 triliun di akhir 2016 baru sekitar satu persen saja dari potensinya.
Menurut BPS, pada September 2016 warga miskin Indonesia sekitar 27,76 juta orang atau sekitar 10,70 persen dari total populasi. Bila zakat yang terhimpun dibagi habis, tiap warga miskin akan mendapat Rp 158.501 ribu per tahun. Angka itu mungkin sekadar buat dua tiga kali ngopi warga kelas menengah perkotaan zaman sekarang.
Gelora zakat yang dikelola lebih akuntabel dan terprogram kemudian mengemuka di era 1990-an. Meskipun zakat oleh publik sendiri sudah dimulai sejak awal abad 20 oleh Muhammadiyah.
Sejak itu, umat berhitung harta sebab bisa jadi penghasilannya sebenarnya sudah wajib zakat. Semangat berzakat, infak, sedekah, dan berwakaf itu terus meningkat. Edukasi dan sosalisasi membangun kesadaran zakat lewat rupa-rupa sisi juga berjalan dari sanak keluarga, kerabat, hingga kolega.
Harusnya, berzakat tidaklah berat buat kita, umat Islam. Buat saya, ini seperti makan semangka atau jeruk, kita hanya makan yang bisa dimakan. Kulit dan biji biarkan terurai dan tumbuh kembali di alam.
Kesadaran yang tergugah membuat angka pengumpulan zakat terus meningkat tiap tahunnya. Sayang, angka kemiskinan Indonesia masih di kisaran dua digit yang kemudian dinilai wajar oleh sebagian pihak. Semoga ini bukan yang dimaksud dalam frasa orang miskin dipelihara negara, sehingga jumlahnya stabil terjaga.
Zakat naik, mengapa kemiskinan masih sulit ditumpas atau setidaknya dipangkas ke kisaran angka tunggal? Karena buat urusan kemiskinan, bangsa ini masih seperti makhluk tanpa kepala. Urusan mengentaskan kemiskinan masih seperti ekor cicak yang bergerak-gerak setelah berpisah dari badannya. Tak akan sampai tujuan bila cuma ada ekor, sementara kepala dan badan entah bergerak ke mana.
Baca Juga: Infografis: Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi
Meski cuma 'bagian belakang', ekor tetap berfaedah bila masih tersambung dengan badan dan kepala. Apalagi, kalau kepala, badan, dan ekor bergerak ke tujuan yang sama. Terlepas dari itu semua, kita tentu amat mengapresiasi apa yang sudah lakukan lembaga pengelola zakat sampai hari ini dan sejauh ini. Zakat digunakan untuk mencukupi pendidikan, kesehatan, dan memberdayakan ekonomi kawula jelata.
Dalam bukunya, "Mengelola Zakat Indonesia", Yusuf Wibisono menulis, zakat hanya akan jadi kisah sukses parsial jika riba tidak dihentikan. Kemiskinan akan selalu ada dan zakat hanya akan jadi obat menghilang nyeri sementara bila sebab utamanya masih dilestarikan.
Mengentaskan kemiskinan adalah bagian integral ekonomi syariah, bila migrasi ke sana memang benar mau dilakukan. Semua perpindahan selalu punya konsenkuensi baik yang enak maupun yang enek. Setelah zakat, kita bisa mulai dengan perlahan migrasi kekayaan menggunakan jasa keuangan syariah, dari tabungan misalnya. Terlepas dari kontroversi yang ada soal bank syariah, menarik mencemati perkataan Pak Adiwarman Karim: mau pilih mana, yang sudah 60 persen halal atau yang 100 persen haram?
Hijrah dari sistem keuangan 100 nonhalal ke yang sudah relatif halal–meskipun kadar halal tentu harus 100 persen–tampaknya jadi opsi yang agak mendingan untuk saat ini. Dalam Islam ada kaidah, bila kita belum mampu melakukan semua kebaikan, jangan kita meninggalkan semua kebaikan itu.
Tentu, kita semua ingin Indonesia punya ekonomi yang benar-benar berkualitas, yang merata dan adil. Perlu ikhtiar sama-sama untuk sampai ke sana. Perlu menanggung bahagia dan susah sama-sama. Bila tatanan yang besar belum bisa diubah, langkah-langkah kecil bersama dan tertata mungkin perlu berawal dari kita.