REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, Jurnalis/Redaktur Republika untuk Isu-Isu Politik dan Nasional.
Ada cerita begini. Satu kali waktu, ada seorang pria hendak membawa babi hasil ternaknya ke pasar untuk dijual. Persoalannya, itu hewan tak sembarang angkutan umum mau mengangkut.
Tak habis akal, empunya membungkus hidup-hidup binatang tersebut dengan kertas koran berlapis-lapis, memberhentikan angkutan umum dan mengatakan bahwa yang ia bawa buah nangka. Kondektur tak menaruh curiga dan menyilakan beliau naik.
Separuh perjalanan, aman-aman saja. Namun, belum sampai pasar, “oink…oink…,” babi mengeluarkan suara. Kondektur terkejut, mendesak empunya binatang berkata jujur sembari mengancam bawa-bawa nama polisi dan tentara. Terdesak dan ketakutan, dengan gemetar ia menjawab. “Ah tidak, saya tidak tipu Kaka. Ini memang babi tapi saya kasih nama dia Nangka”.
Persoalan nama pada kisah bualan alias mop di atas hanya candaan yang mula-mula saya dengar saat tinggal di Papua belasan tahun silam. Tapi, kebetulan belakangan ada persoalan yang lebih serius soal penamaan ini. Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) merasa jengah terus-menerus dipanggil Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) oleh aparat keamanan Indonesia.
Persoalan akronim yang digunakan kepolisian tersebut dianggap mencerabut akar politis dari penembakan-penembakan di sekitar wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia di Tembagapura, pegunungan Papua. Baik yang terjadi pada Sabtu (22/10), kemudian Ahad (23/10), dan yang teranyar pada Ahad (29/10).
Pada Sabtu (28/10) lalu, Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom menghubungi berbagai media, termasuk //Republika// guna menegaskan keberatan tersebut. Mendaku tengah berada di Vanuatu, ia juga menjanjikan serangan TPNPB akan meningkat di Tembagapura.
Pemerintah tentu saja bergeming. Kepolisian berkeras bahwa TPNPB akan terus dipanggil KKB, dicap sebagai kelompok kriminal dan diburu berdasarkan anggapan tersebut. Tak ada kompromi.
Tapi, apalah arti sebuah nama? Apa arti sebuah pengakuan? Dalam kasus ini, ia jadi penting karena penyebutan oleh pemerintah di Jakarta menggambarkan keengganan menempelkan semacam legitimasi untuk perjuangan mereka.
Yang perlu diketahui, TPNPB ini bukan sendirian. Kelompok yang dikatakan dikomandoi Goliath Tabuni itu hanya satu dari tiga ujung tombak upaya sekelompok orang mendorong kemerdekaan Papua sejak beberapa tahun belakangan. Ia pengejawantahan paling baru dari tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang beroperasi sejak akhir 1960-an sebab tak terima dengan hasil Pepera yang mengamanatkan Irian Barat ikut republik.
Di luar negeri, ada United Liberation Movement for West Papua (UMLWP) yang diwakili Benny Wenda, seorang buronan politik yang hidup dengan suaka di Inggris. Kelompok yang mengklaim sebagai payung seluruh gerakan kemerdekaan Papua tersebut gencar melobi parlemen-parlemen di Eropa dan negara-negara Pasifik guna mendukung kemerdekaan Papua.
Buah kerja organisasi yang dibentuk pada 2014 di Vanuatu itu adalah seruan dari sejumlah negara-negara Pasifik di forum PBB soal kondisi Papua yang disebut pepak dengan pelangaran HAM oleh aparat Indonesia. UMLWP juga didukung mendapat status sebagai pengamat pada kelompok negara-negara Melanesia (MSG). Benny Wenda pada awal bulan ini mengklaim telah menyerahkan petisi tuntutan referendum warga Papua ke PBB meski kemudian disangkal pihak-pihak terkait.
Sementara di kalangan aktivis muda Papua, ada Kongres Nasional Papua Barat (KNPB) yang berdiri pada 2008 di Jayapura. Kelompok yang saat ini dipimpin Victor Yeimo tersebut melakukan kampanye menuntut referendum dengan aksi-aksi damai di kota-kota utama Papua dan Papua Barat. Mahasiswa-mahasiswa Papua di Jawa, Bali, dan Sulawesi juga kerap melakukan aksi serupa.
Ironisnya, jalan “damai” yang mereka ambil justru paling kerap berujung penangkapan. Rerupa pemenjaraan terhadap aktivis dan simpatisan KNPB, menurut catatan berbagai lembaga pegiat HAM Tanah Air membuat pemerintahan Presiden Joko Widodo jauh melampaui administrasi sebelumnya soal jumlah aktivis Papua yang ditangkap.