REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yeyen Rostiyani, Redaktur Republika untuk Isu-Isu Internasional
Bendera kuning melambai-lambai di tengah massa. Massa juga mengusung poster beraneka ukuran yang menampilkan foto presiden Palestina Yasser Arafat. Tak lupa, mereka pun membawa kafiyeh khas Arafat.
Pada Sabtu (11/11) itu, puluhan ribu warga Palestina di Gaza berbondong-bondong turun ke jalan. Mereka memperingati 13 tahun wafatnya Arafat yang legendaris.
Disebut legendaris karena pada masa lalu Palestina disimbolkan sebagai Arafat dan Arafat adalah Palestina. Bahkan jika mau jujur, belum ada sosok yang memiliki makna simbolis sekuat Arafat. Terlepas dari goresan yang ditorehkannya --hitam maupun gemilang-- dalam sejarah Palestina, Arafat seolah tak tergantikan.
Namun, aksi turun ke jalan di Gaza demi Arafat pun bukan hal biasa. Itu adalah aksi pertama kalinya rakyat Gaza sejak kelompok Hamas berkuasa di Gaza 2007 silam.
Tunas rekonsiliasi Hamas dan Fatah baru saja disemai. Para pendukung fatah --partai yang didirikan Arafat-- berkumpul di lapangan al-Saraya di Gaza City. Mereka berasal dari kantung-kantung di pesisir Gaza yang sengaja datang untuk memperingati Arafat.
Arafat wafat pada 2004 di sebuah rumah sakit di Prancis setelah menjalani tahanan rumah selama dua tahun yang dijatuhkan Israel. Selama itu, ia tertahan di kantor pusat Fatah di Tepi Barat.
Warga Palestina merasa yakin bahwa Israel telah meracuni Arafat. Pemberitaan itu sempat diangkat media Barat selama periode tertentu. Namun, tidak ada bukti yang diajukan. Akhirnya, kepergian Arafat menyisakan misteri.
Sementara Hamas, setelah memenangi pemilihan umum 2006, setahun kemudian memerintah di Gaza dan menyingkirkan faksi Fatah. Maka tak heran jika peringatan Arafat ini menandai ada tunas perdamaian antara Fatah dan Hamas yang sebulan sebelumnya sepakat menandatangani rekonsiliasi di Mesir.
Tunas itu membuka jalan bagi berseminya persatuan dan berakhirnya perseteruan internal di tubuh Palestina. Berdasarkan kesepakatan itu, Hamas akan melepaskan kendali atas Gaza ke tangan Otoritas Palestina (PA) yang dipimpin Fatah.
"Penerapan akurat dari kesepakatan serta pemberdayaan pemerintahan sepenuhnya tentu saja akan meringankan penderitaan dan menumbuhkan harapan bagi masa depan yang lebih baik bagi kita semua," ujar Presiden PA Mahmoud Abbas, sang penerus Arafat, dalam pesan yang direkam sebelumnya.
Awal November, Hamas pun menyerahkan kendali sejumlah titik perlintasan yang menghubungkan Gaza dengan Israel dan Mesir kepada Fatah. Prosesi ini adalah penerapan dari bagian pertama dari kesepakan rekonsiliasi. Perundingan akan berlanjut di Kairo untuk membahas isu-isu yang lebih luas.
Salah satu isu yang paling alot dibahas adalah kepemilikan roket dan bahan peledak lain di tangan Hamas dan kelompok lain di Gaza. Dalam pidatonya, Abbas menegaskan bahwa dia ingin satu kewenangan, satu hukum, dan satu senjata yang sah di Gaza. Namun, Hamas masih enggan dilucuti persenjataannya.
Pada November 2007, beberapa bulan sejak Hamas memimpin Gaza, peringatan wafatnya Arafat berujung bentrok antara pendukung Fatah dan pasukan bersenjata di bawah Hamas. Namun, kini suasana terasa berbeda. Setelah dua jam diisi sejumlah pidato dan lagu patriotik diperdengarkan melalui pengeras suara, aksi massa pun berakhir damai.
Ternyata, tak semua yang ikut aksi adalah pendukung Fatah. Ada pula di antara mereka orang-orang yang tak sempat mencicipi rasa persatuan atau kepimpinan Arafat.
"Arafat untuk semua orang Palestina," ujar Ashraf Hamouda (34 tahun).
Namun, Arafat memang berbeda. Pria berjanggut dan berkafiyeh yang kerap mengenakan seragam militer ini seakan menjadi wajah Palestina.
Kini, 13 tahun setelah kepergiannya, semoga saja tunas perdamaian di tubuh Palestina terus tumbuh dan subur. Kelak tunas itu akan berbuah seperti yang dicita-citakan selama ini: Negara Palestina.