REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Wartawan Republika, Maspril Aries
Kompetisi Liga 1 Indonesia sebagai kasta tertinggi sepakbola Indonesia telah berakhir. Dalam kompetisi yang bergulir sejak April 2017 tersebut, ada ada suka dan duka. Perasaan suka cita menjadi milik Bhayangkara FC yang berhasil menjadi juara Liga 1 Indonesia 2017. Rasa duka menjadi milik tiga klub yang terdegradasi ke Liga 2 Indonesia. Duka menyelimuti Persegres Gresik United, Persiba Balikpapan dan dan Semen Padang FC.
Terdegradasinya Semen Padang FC dari kasta tertinggi sepakbola Indonesia menjadi duka anak negeri di Ranah Minang. Hilang sudah kebanggaan anak negeri di bumi Minangkabau dan mereka yangdi rantau. Jauh sebelumnya PSP Padang sudah lama tidak lagi berkiprah di level nasional, kini giliran Semen Padang FC terjerembab ke kasta kedua sepakbola Indonesia. Semen Padang mulai merasakan atmosfer level tertinggi Indonesia pada 1983/1984 dengan berada di Divisi Utama Galatama.
Prestasi Semen Padang FC di kancah sepakbola nasional tidak dapat dipandang sebelah mata. Saat PSSI dilanda kisruh 2010 dan kompetisi terpecah menjadi dua yakni ISL (Indonesia Super League) dan IPL (Indonesia Primer League), Semen Padang memilih bergabung di IPL dan menjadi juara IPL. Sebagai juara IPL, Semen Padang berhak tampil di Piala AFC 2013.
Duka Semen Padang bukannya hanya duka masyarakat ranah Minang, tapi itu menjadi fakta terpuruknya sepakbola di Sumatera, sejak dari ujung utara di Aceh sampai ujung selatan di Lampung.
Sejarah mencatat, satu-persatu klub sepakbola di bumi Andalas terlempar dari kancahnya nasional. Klub-klub tersebut terdegradasi karena kompetisi, hilang dari muka bumi, bubar karena faktor manajemen, salah satunya karena tidak adanya sumber dana.
Pascakompetisi Liga 1 Indonesia 2017, dari Sumatera hanya satu klub yang masih bertahan di kasta tertinggi sepakbola Indonesia, yakni Sriwijaya FC dari Palembang yang sempat berkutat di papan bawah klasemen kompetisi. Pada akhir kompetisi tim berjuluk Laskar Wong Kito mampu mendongkrak posisinya ke papan tengah dengan berada di peringkat 11 klasemen.
Jika kompetisi Liga 1 Indonesia 2018 kembali bergulir, masih adakah laga yang disebut derby Sumatera atau derby Andalas? Jawabannya masih menunggu sampai berakhirnya kompetisi Liga 1 Indonesia 2017 karena masih ada dua klub asal Sumatera yang tengah berjuang masuk ke kasta tertinggi sepakbola Indonesia, yaitu PSPS Pekanbaru dan PSMS Medan.
PSPS dan PSMS adalah dua klub dari Sumatera yang pernah merasakan atmosfer dan aroma kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia. PSPS sebelum terdegradasi pernah berada di Divisi Utama Liga Indonesia dan Liga Super Indonesia (LSI). Sedangkan PSMS adalah tim yang punya sejarah panjang dalam sepakbola Indonesia sejak era perserikatan sampai era sepakbola profesional mulia bergulir di Indonesia.
Pada era perserikatan PSMS adalah tim atau bond dari Sumatera yang paling banyak menjadi juara. PSMS menjadi juara perserikatan pada 1966/1967, 1969, 1971, 1975 (juara bersama dengan Persija Jakarta), 1983 dan 1985.
Pada era sepakbola amatir tersebut sejak kejuaraan perserikatan digelar 1931 1994 hanya ada dua tim dari Sumatera yang bisa menjadi juara perserikatan, selain PSMS Medan adalah Persiraja Banda Aceh pada 1980.
Pada era perserikatan, ada beberapa klub di Sumatera berada di kasta sepakbola tertinggi Indonesia, selain PSMS, PSPS, Persiraja dan PSP juga pernah ada PS Bengkulu dan PSDS Deli Serdang yang bergabung di Divisi Utama Perserikatan 1987/ 1988, 1989/1990. Kemudian ada PS Bangka yang sempat berpartisipasi kada Kejurnas PSSI tahun 1975.
Pada 1994/1995 PSSI menggabungkan kompetisi perserikatan dengan Galatama (Liga Sepakbola Utama) maka lahirlah Liga Indonesia dengan Divisi Utama yang mulai berkompetisi pada 1994/1995. Pada kompetisi yang dibagi menjadi dua wilayah, wilayah Barat dan wilayah Timur, jumlah klub asal Sumatera cukup banyak, ada Persiraja, PSMS, PS Bengkulu, PSDS (asal tim perserikatan) serta Medan Jaya dan Semen Padang FC (asal klub Galatama).
Ketika PSSI menggelar kompetisi Galatama atau kompetisi pertama bagi klub profesional di Indonesia yang diikuti semi profesional pada 1979, dari 14 klub peserta kompetisi hanya ada dua klub asal Sumatera, yaitu Pardedetex (Medan) dan PS Jaka Utama (Tanjungkarang/ Bandarlampung).
Dalam perkembangannya dari kelanjutan kompetisi Galatama tersebut banyak klub yang hilang dan muncul atau klub yang berganti pemilik dan berganti home base-nya. Dari Sumatera selain PS Jaka Utama dan Pardedetex pada kompetisi 1980 1982 lalu muncul klub Mercu Buana (Medan) yang sebelumnya berlaga di Divisi 1 Galatama.
Pada kompetisi Galatama 1982/ 1983 klub Jaka Utama pindah home base ke Bogor berubah namanya menjadi Jaka Utama Bogor lalu dalam perjalanan waktu berubah lagi namanya menjadi Yanita Utama dengan tetap berkompetisi di kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
Lalu pada kompetisi Galatama 1983/1984 satu lagi klub asal Sumatera berlaga di Divisi Utama Galatama yakni Semen Padang FC. Pada kompetisi Galatama 1985, jumlah asal klub Sumatera bertambah dengan klub Krama Yudha Tiga Berlian (KTB) yang sebelumnya bernama Yanita Utama, karena ganti kepemilikan lalu berubah nama menjadi dan home base pindah ke Palembang.
Kemudian pada kompetisi Galatama 1987/1988 jumlah klub asal Sumatera bertambah, selain KTB dan Semen Padang ada PS Medan Jaya (Medan), PS Pusri (Palembang) dan PS Lampung Putra (Bandarlampung). Pada kompetisi 1988/1989 PS KTB hengkang dari Palembang pindah home base ke Bekasi. Pada musim yang sama klub Warna Agung yang sempat menjadi juara kompetisi Galatama pertama 1979 pindah home base ke Sumatera yakni ke Bengkulu.
Pada kompetisi Galatama 1990 1992, jumlah klub Galatama di Divisi Utama bertambah dengan masuknya PS Aceh Putra (Lhokseumawe). Pada saat bersamaan PS KTB kembali memindahkan kandangnya ke Palembang dan PS Warna Agung pindah ke Jakarta.
Pada musim kompetisi 1992/1993 klub-klub Galatama asal Sumatera bergelimpangan, tidak ada lagi PS Pusri dan PS Lampung Putra yang mundur dari Galatama. Yang tragis tentu adalah mundurnya Kramayudha Tiga Berlian (Palembang) pada putaran II kompetisi 1991/1992 akibat kecewa pada Piala Winners Asia I/1991.
Pada era Galatama, Kramayudha Tiga Berlian yang bermarkas di Palembang patut dicatat sebagai klub semi profesional asal Sumatera di kasta sepakbola tertinggi Indonesia yang sepmat menjadi juara Piala Liga Indonesia tiga kali berturut-turut (1987, 1988, dan 1989) dan dua kali menjadi juara Galatama 1985 dan 1986/1987.
Prestasi Kramayudha Tiga Berlian tidak jauh berbeda dengan Sriwijaya FC di kasta sepakbola tertinggi Indonesia. Klub berjuluk Laskar Wong Kito dengan home base di stadion Gelora Sriwijaya, Palembang meriah dua kali juara Liga Super Indonesia (2008 & 2012) kemudian tiga kali berturut juara Piala Indonesia (2008, 2009, dan 2010). Sriwijaya FC juga menjadi juara Inter Island Cup (2010 & 2012), juara Community Shield (2010), Runer up Piala Presiden (2015).
Sejak era perserikatan, era Galatama, era Liga Super Indonesia sampai era Liga Indonesia, tim dan klub asal berbagai daerah di Sumatera satu-satu berguguran terjerembab dari level tertinggi sepakbola Indonesia, menyisakan pertanyaan yang butuh jawaban, Ada apa dengan pembinaan sepakbola di pulau Sumatera yang kini tengah terpuruk?
Jika kompetisi Liga 1 Indonesia 2018 kembali berputar, jika tidak ada lagi klub asal Sumatera yang mendapat promosi ke Liga 1 Indonesia, maka Sriwijaya FC akan mencatatkan diri sebagai satu-satunya klub asal Sumatera atau Bumi Andalas atau pulau Swarnadwipa yang berlaga di kompetisi tertinggi Indonesia.