Kamis 16 Nov 2017 15:07 WIB

Setya Novanto Jadi Musuh Bersama

Amri Amrullah, wartawan Republika
Foto: dokumentasi pribadi
Amri Amrullah, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah, wartawan Republika

Rabu malam (15/11) para penyidik KPK menyatroni rumah Ketua DPR, Setya Novanto yang juga pucuk pimpinan di Partai Golkar di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan. Kedatangan penyidik KPK ini untuk menjemput paksa Novanto setelah ditetapkan tersangka dan dua kali mangkir dari pemeriksaan.

Bagi pengguna media sosial (medsos), korupsi KTP-elektronik yang menyeret Novanto menjadi diskusi alternatif. Di kala masyarakat Indonesia dan Jakarta sudah muak dengan perdebatan antara ahokers dan anti ahokers. Novanto seolah memecah polarisasi yang begitu kuat tersebut.

Kini isu itu bisa sedikit teralihkan ketika sosok Novanto, dijadikan musuh bersama di linimasa. Diakui atau tidak, linimasa tempat paling mudah melihat persoalan arus utama di masyarakat. Bila sejak pilpres 2014 dan hingga usai pilkada DKI 2016 warganet terbelah, di isu korupsi kini mereka bisa 'bersatu'.

Isu yang sama adalah soal terseretnya nama Novanto di dalam kasus korupsi KTP-elektronik. Dan puncaknya ketika rentetan drama Novanto dengan KPK berujung jemput paksa pada Rabu malam. Fokus warganet tertuju pada gesitnya Novanto menghindar dari penyidik KPK.

Linimasa pun bukan lagi terjebak pada perdebatan tema pendukung Ahok (ahokers) atau anti-Ahokers. Perdebatan ini sementara bisa dialihkan lincahnya Novanto yang kini menjadi DPO (Daftar Pencarian Orang) utama KPK.

Beberapa akun buzzer ahokers dan anti-Ahokers di Twitter dan Facebook menyorot Novanto sebagai 'manusia licin' yang tak bisa disentuh KPK.

Bagaimana tidak, setelah drama sakit dan kemenangan Novanto melawan di praperadilan. KPK lantas kembali menetapkannya berstatus tersangka untuk kali kedua. Seperti tak ingin kalah, Novanto pun melawan. Pengacara Novanto melaporkan dua pimpinan KPK ke polisi atas tuduhan pemalsuan surat.

Sikap sesumbar melawan KPK pun diperlihatkan pengacara Novanto, Fredrich Yunadi. Pengacara Novanto ini bahkan dengan lantang mengingatkan Wakil presiden Jusuf Kalla untuk tidak berkomentar soal Novanto.

Tak berhenti sampai di situ, pengacara Novanto pun meminta presiden Jokowi, TNI dan polisi melindungi kliennya. Ia berkelit KPK tidak bisa memeriksa Novanto karena harus mendapat persetujuan presiden.

Padahal Komisioner KPK, La Ode M. Syarif menegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi merujuk Pasal 245 Ayat 1 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3), izin presiden itu tidak diperlukan. Kecuali bila pemeriksaan dilakukan oleh selain institusi KPK, maka perlu izin presiden.

Anehnya polisi dengan sigap memproses laporan pengacara Novanto tekait dua pimpinan KPK, dengan terbitnya surat penyidikan (SPDP) dua pimpinan KPK. Sebelum ini perlawanan Novanto bahkan diperlihatan dengan mangkir berkali-kali dari panggilan pemeriksaan.

KPK mencatat Novanto setidaknya telah delapan kali mangkir dari 11 panggilan pemeriksaan. Bisa jadi mangkirnya Novanto pada panggilan pemeriksaan Rabu (15/11) malam, menjadi akumulasi sehingga KPK harus menjemput paksa.

Banyak pihak memendam pertanyaan, sebegitu kuatkah Novanto sehingga selalu lolos dan bisa melawan balik KPK. Pertanyaan ini lantas  memantik kekecewaan publik di linimasa. Wajar apabila perdebatan ahokers vs anti ahokers sedikit beralih ke Novanto dan menjadikannya sebagai musuh bersama di medsos.

Di Twitter misalnya. Perdebatan ahokers dan anti-ahokers atau pendukung Anies-Sandi, sebelumnya diramaikan walkoutnya (WO) Ananda Sukarlan saat Gubernur Anies berpidato di Kanisius. Tanda pagar (tagar) #Kanisius sempat ramai sebagai dukungan pada Kanisius. Di pihak kubu Anies, muncul tagar #BoikotTraveloka, sebagai sikap  menolak walkout Ananda Sukarlan, karena dianggap pendiri Traveloka mendukung sikap WO ini.

Tapi tagar #Kanisius, #AnandaSukarlan dan #BoikotTraveloka sekejap langsung kalah di trending pencarian Twitter dengan tagar #TangkapNovanto dan Rumah Setya Novanto. Dalam perdebatan dan twittwar dua kelompok ini, sosok Novanto pun tidak dibela dan dipuji sebagaimana dipujinya Ahok dan Jokowi oleh ahokers dan dibelanya Anies-Sandi oleh kubu anti ahok.

Bagi kelompok ahokers dan anti-Ahok, Novanto ternyata bukanlah bagian dari mereka. Kelompok Ahokers yang berikrar sumpah setia pada presiden, menilai Novanto tak merepresentasikan cita-cita Jokowi. Novanto tidak pro pemberantasan korupsi dan tidak sejalan dengan keinginan presiden memberantas korupsi.

Lagi pula Golkar pernah menjadi bagian dari rival Jokowi, mendukung Prabowo saat pilpres 2014. Walaupun demi jatah politik, Golkar akhirnya tunduk dan bergabung dengan koalisi pemerintah.

Sedangkan bagi kubu anti Ahokers, Novanto dan Golkar juga bukan juga bagian dari mereka. Alasan paling kuat adalah karena Novanto dan Golkar adalah pendukung Ahok. Bagi pendukung Anies-Sandi dan gubernur muslim di Pilkada DKI, 'dosa' Golkar di kepemimpinan Novanto ini bukan sekedar politik. Tapi sudah sampai ke ranah agama. Karena mendukung Ahok dinilai sama dengan mendukung penghina agama Islam.

Di Pilkada DKI Golkar menjadi partai yang ikut'dikafirkan'. Sedangkan di kelompok pro Jokowi dianggap bukan bagian dari pemerintah, karena jadi bulan-bulanan KPK. Dan bagi warganet yang tidak menjadi bagian ahokers dan anti-ahokers, tentu muak dengan perilaku korupsi pejabat di negara ini.

Apalagi kasus korupsi KTP-elektronik yang katanya menjadi megaskandal itu, telah merugikan negara Rp 2,5 triliun. Maka dukungan kepada KPK membongkar otak dibalik korupsi KTP-elektronik semakin deras. Termasuk juga dukungan ke KPK yang menjeput paksa Novanto.

Kekesalan publik ini bertambah ketika upaya KPK menjemput paksa Novanto Rabu malam, tidak membuahkan hasil. Novanto seperti hilang tidak diketahui keberadaannya. Kini Novanto bukan hanya tersangka, ia dikabarkan akan berstatus buron dan mungkin menjadi DPO kepolisian. Wajar apabila aksi 'licin' Novanto ini menjadi arus bersama, pelawanan terhadap korupsi. Bahkan berbagai meme dan pergunjingan Novanto di linimasa semakin ramai sejak hilangnya Novanto Rabu malam.

Hilangnya Novanto ini bukan hanya jadi berita di dalam negeri. Media asing pun ikut memberitakan hilangnya sosok Ketua DPR Republik Indonesia itu dari kejaran lembaga antirasuah, KPK. Tentu hilangnya Novanto ini menjadi berita yang sangat memalukan bagi Indonesia.

Mengutip pernyataan seorang Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor. Bagi Golkar saat ini, berada dalam posisi paling dilematis. Karena Golkar di bawah kepemimpinan Novanto saat ini, ibarat makan buah Simalakama.

Menurutnya Golkar diposisi serba salah, karena terseretnya nama Novanto di korupsi KTP-elektronik. Semua tak lepas dari sosok yang dianggap 'licin' dan 'kuat' Novanto.

Sementara isu besar di medsos teralihkan. Mulai dari soal ancaman ideologi pancasila oleh HTI, tak becusnya kerja Anies-Sandi, aksi 'walkout' Ananda Sukarlan di Kanisius hingga intoleransi.

Kini menjadi Buronnya Novanto hingga denah rumah Novanto yang dianggap memiliki tempat pelarian. Novanto pun dibully habis-habisan di medsos. Jadi musuh bersama kelompok yang dituduh Ahokers atau anti Ahokers, Pro Jokowi atau anti-Jokowi, Pancasila atau anti kebinekaan, Pro Islam atau bahkan yang dicap anti-Islam sekalipun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement