REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yeyen Rostiyani
Pria kelahiran 28 Oktober 1949 ini terlahir di Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan. Ia memiliki nama lengkap Surin Abdul Halim bin Ismail Pitsuwan. Senyum lebar kerap menghiasi wajahnya saat berbicara.
"I'm budak pondok," ujarnya saat bertemu Republika, pada Maret 2009. Dengan senyum, Surin sedang bertutur mengenai latar belakang keluarganya.
Surin kerap menyebut dirinya sebagai anak pondok dari provinsi di Thailand Selatan yang kumuh. Namun, ia sukses meniti tangga kekuasaan di arus utama politik Thailand, kawasan, bahkan mungkin internasional. Suaranya khas, dalam dan berat namun mengalir lancar. Gayanya yang terbuka mungkin agak berbeda dari sosok politikus Asia umumnya.
Sosok politikus unik ini diberitakan berpulang pada Kamis (30/11) malam dan dimakamkan pada Jumat (1/12) setelah dishalatkan di Masjid Tha It. Bangkok Post melaporkan, Surin terkena serangan jantung saat mempersiapkan pidato pada Kamis malam di Thailand Halal Assembly, Bangkok International Trade and Exhibition Centre. Surin sempat dilarikan ke Rumah Sakit Ramkhamhaeng, tapi kemudian diumumkan meninggal.
Surin putra Thailand Selatan yang mendapat pendidikan pesantren sebelum mendapat pendidikan tinggi. Kepada Republika, ia bertutur, tidak mudah bagi lingkungannya menerima keputusannya untuk melanjutkan sekolah bahkan hingga ke Harvard University, Amerika Serikat.
Surin memulai karier politiknya dengan menjadi anggota legislatif dari Provinsi Nakhon Si Thammarat pada 1986. Sejak saat itu, kariernya menanjak hingga menjadi wakil menteri luar negeri, lalu menjadi menteri luar negeri Thailand.
Pada 2004-2006, ia bahkan disebut-sebut berpeluang menjadi sekretaris jenderal PBB untuk menggantikan Kofi Annan. Namun, ia tak mendapat dukungan Pemerintah Thailand karena Surin berasal dari pihak oposisi.
Pada 18 Juni 2007, Surin mendapat dukungan penuh dari pemerintahannya untuk menjadi calon sekretaris jenderal (sekjen) ASEAN. Pertemuan menteri luar negeri ke-40 ASEAN di Manila pada Juli 2007 memutuskan Surin sebagai sekjen ASEAN untuk periode 2008-2012.
Republika mengajukan permintaan wawancara saat ia baru saja dilantik sebagai sekjen ASEAN. Permintaan itu baru terlaksana setahun kemudian, yaitu pada 2009.
Namun, momentumnya saat itu amatlah tepat. Alasannya, ASEAN saat itu memiliki wajah baru, berkat diberlakukannya Piagam ASEAN. Itulah saat pertama kalinya ASEAN dikukuhkan sebagai organisasi kawasan berlandaskan hukum.
Kritik terhadap ASEAN pun diajukan Republika saat wawancara tersebut. Surin lagi-lagi tersenyum. Setelah memberikan penjelasan panjang, ia pun memberi jawaban yang menyentil, "Jangan terlalu keras dan mengkritik diri sendiri terus. Hargai semua itu."
Di pengujung perbincangan yang berlangsung sekitar satu jam itu, pertanyaan terakhir pun diajukan. Apa makna menjadi seorang sekjen ASEAN bagi Surin?
"Menjadi ketua cheerleaders ASEAN, membangkitkan rasa solidaritas, menciptakan rasa percaya diri di antara kita dan dunia internasional, serta mendorong rakyat ASEAN memberi kontribusi untuk menyadari pentingnya ASEAN. Juga mendorong mereka menyumbangkan energi, pemikiran, dan emosi mereka pada langkah yang penting ini."
Tak sekadar untuk Thailand
Surin bukan sekadar politikus Thailand. Aktivitas dan jaringan koneksinya menunjukkan, ia seorang politikus tingkat Asia Tenggara. Ia tetap aktif di lingkungan diplomatik kawasan bahkan hingga ajal menjemputnya di usia 68 tahun.
Surin sempat berbicara dalam peringatan 50 tahun ASEAN di Manila beberapa waktu lalu. Dalam pidatonya, ia menyebut ASEAN sebagai alat untuk menciptakan ruang bagi kawasan untuk menunjukkan jati dirinya.
"Jadilah diri kita sendiri," ujarnya tentang ASEAN. "Berswasembadalah. Saling tolong-menolonglah satu sama lain sebelum kita menanti bantuan dari pihak luar."
Berbicara mengenai pencapaian Surin ternyata sempat dikeluhkan penulis the Nation, Cod Satrusayang, yang menuliskan obituari Surin. Menurut dia, sebagai wartawan ia tentu diharuskan menulis artikel yang netral dan tidak terlalu banyak menyanjung dan memuji tokoh yang ditulisnya. Namun, tugas itu ternyata tak selalu mudah.
"Untuk sebagian besar tokoh, itu mudah saja kecuali pada beberapa orang tertentu, setiap kalimat seakan menjadi pertarungan melawan kebesaran (nama). Surin Pitsuwan termasuk di antara mereka yang sedikit itu," kata Cod.
Saat Surin berpulang, puja-puji bertaburan. Ada yang menyebut keberhasilannya memimpin masyarakat dengan 640 juta jiwa yang terbaris dalam 10 negara.
Atau, kata Cod, ada juga yang menulis perjalanan Surin mulai dari seorang bocah Muslim dari Nakhon Si Thammarat yang kemudian namanya berkibar karena mengambil jalan melawan hal yang tak biasa bagi bocah di tempatnya lahir dan tumbuh, menuju Harvard.
Atau, tulis Cod lagi, orang mungkin akan menuliskan betapa banyak posisi dan jabatan yang seharusnya diraih Surin. Sebut saja posisi sekjen PBB, atau mengabdi pada negerinya sebagai perdana menteri. Saat menjadi pembicara di Konferensi Asia News Network awal 2017, ia bahkan diperkenalkan sebagai calon perdana menteri Thailand.
Tak heran, kepergian Surin amat sulit dicerna dan diterima. Cod menuliskan, Surin Pitsuwan adalah seorang negarawan, dalam arti yang sesungguhnya. Selamat jalan, 'budak pondok'.