REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Umi Nur Fadhilah dan Elba Damhuri
Ada dua isu penting yang sedang menjadi bahan perbincangan, perdebatan, hingga penyangkalan baik dalam skala nasional maupun global. Pertama, tumbuhnya satu ekosistem baru dalam perekonomian global yang kita kenal sebagai kebangkitan industri halal. Kedua, di Tanah Air, arus baru ekonomi menjadi ekosistem lain yang sedang tumbuh yang coba dibangun, dibesarkan, dan disinergikan dengan dimotori Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kedua isu ini memiliki kesamaan yang jelas, yakni sama-sama membangun ekonomi secara total football, dari lini paling bawah yang kita sebut ultramikro, mikro, kecil, menengah, hingga usaha kelas kakap alias konglomerat. Keduanya sama-sama berbasiskan prinsip ekonomi yang tumbuh plus merata di mana semua bisa menikmati kue yang diproduksi.
Baca Juga: Data Wisata Halal Global
Yang kecil diayomi, diberi akses keuangan, dibawa masuk ke pasar-pasar besar. Yang besar memberikan asistensi modal, teknis, sampai tenaga profesional. Keduanya berpijak pada nilai paling dasar dalam hidup manusia: keadilan dan kemaslahatan untuk umat manusia, tidak cuma kaum Muslim. Tak heran, jika dunia pun gegap gempita menyambut eksositem baru ekonomi ini. Bahkan, di negara-negara yang notabene bukan Muslim secara mayoritas.
Mari kita simak industri halal global. Belanja Muslim di sektor makanan, minuman, dan gaya hidup diperkirakan mencapai 2 triliun dolar Amerika Serikat (AS) pada 2016. Jumlah itu menyumbang 11,9 persen dari pengeluaran global.
Dilansir dari Arabian Business, kategori makanan dan minuman menempati urutan teratas belanja Muslim, senilai 1,24 triliun dolar AS. Kategori itu diikuti industri pakaian sebesar 254 miliar dolar AS, media dan hiburan 198 miliar dolar AS, pariwisata 169 miliar dolar AS, serta obat-obatan dan kosmetik masing-masing sebesar 83 miliar dolar AS dan 57,4 miliar dolar AS.
Angka tersebut diterangkan Pusat Pengembangan Ekonomi Islam Dubai (DIEDC) dalam Laporan Global Ekonomi Perdamaian 2017-2018 yang diterbitkan Thomson Reuters.
Laporan tersebut menunjukkan, makanan lalal menjadi sektor ekonomi Islam terbesar dan paling beragam. Pelaku usaha baru sektor makanan halal menawarkan banyak jenis, seperti permen, makanan siap saji, makanan ringan, dan makanan anak-anak.
Pelaku usaha makanan halal itu semakin berkembang, baik di dalam maupun luar negeri melalui waralaba. Pun perusahaan multinasional melakukan investasi besar di pasar mayoritas Muslim. Investor beralasan hal itu bertujuan mengantisipasi meningkatnya permintaan.
Forum Akreditasi Halal Internasional yang didirikan di UAE pada 2017 mengawasi 19 pemberi sertifikasi halal secara global. Forum itu dianggap menyokong perkembangan positif industri halal.
Belanja Muslim untuk makanan dan minuman tumbuh hampir dua kali lipat dari pertumbuhan global. Laporan itu memperkirakan pertumbuhan belanja Muslim mencapai 1,93 triliun dolar AS pada 2022.
Laporan itu menyebutkan sektor keuangan Islam dan industri sukuk terus berkembang. Hal itu berdasarkan sejumlah penerbitan sukuk selama setahun lalu dan lebih banyak lagi. Aset sukuk diperkirakan mencapai 2 triliun dolar AS pada 2016, diperkirakan melonjak menjadi 3,8 triliun dolar AS pada 2022.
Perjalanan Muslim berada pada titik tertinggi sepanjang masa. Dampaknya, banyak hotel halal bermunculan. Laporan itu mencatat, umat Muslim menghabiskan 169 miliar dolar AS untuk perjalanan pada 2016. Diperkirakan sektor pariwisata halal meraup keuntungan mencapai 283 miliar dolar AS pada 2022.
Industri fesyen, merek dan butik desainer mengembangkan koleksi baru dan koleksi Ramadhan. Belanja Muslim untuk pakaian sebesar 254 miliar dolar AS pada 2016. Sementara pada 2022, belanja pakaian Muslim mencapai 373 miliar dolar AS.
Laporan tersebut mengatakan film, tayangan TV, dan media arus utama merangkul konten Islami. Muslim menghabiskan untuk media dan hiburan sebesar 198 miliar dolar AS pada 2016. Laporan itu memperkirkan belanja sektor ini mencapai 281 miliar dolar AS pada 2022.