REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Abdullah Sammy
Tindakan tidak bersahabat diterima Ustaz Abdul Somad saat hendak berdakwah ke Hong Kong. Ustaz Somad ditolak oleh otoritas Hong Kong untuk masuk dan berdakwah dengan alasan yang tidak jelas.
Melalui akun facebooknya, Ustaz Abdul Somad menceritakan bahwa dia sampai di Hong Kong pada Sabtu (23/12) sore. Baru turun dari pintu pesawat saat masih di bandara, sejumlah orang yang tidak berseragam menghadang dan menariknya secara terpisah untuk kemudian diperiksa.
Dalam pemeriksaan, Hong Kong mempertanyakan kartu nama ormas Rabithah Alawiyah yang dikantongi Ustaz Abdul Somad. “Mereka meminta saya buka dompet. Membuka semua kartu-kartu yang ada. Di antara yang lama mereka tanya adalah kartu nama Rabithah Alawiyah (Ikatan Habaib). Saya jelaskan. Di sana saya menduga mereka tertelan isu terorisme. Karena ada logo bintang dan tulisan Arab,” tulis Ustaz Abdul Somad di akun facebook-nya, Ahad (23/12) dini hari.
Lantas usai pemeriksaan itu, pemerintah Hong Kong memutuskan menolak kedatangan sang Ustaz yang sedang naik daun itu. Lantas apakah ormas Rabithah Alawiyah yang kartunya digeledah pemerintah Hong Kong?
Pemerintah Hong Kong sepertinya melakukan blunder besar jika mengaitkan Rabithah dengan organisasi ekstrem. Rabithah tak lain merupakan organisasi perkumpulan para Habaib di Indonesia.
Rabithah adalah organisasi pencatat nasab keturunan Rasulullah yang berada di berbagai belahan wilayah, utamanya di Indonesia. Rabithah Alawiyah sama sekali tidak bergerak di bidang politik, melainkan gerakan sosial, dakwah, dan pendidikan. Ormas ini berdiri sejak 1928.
Namun cikal bakal Rabithah sendiri sudah ada sejak 1901 lewat organisasi pendidikan Jamiat Khair. Jika pemerintah Hong Kong ingin tau lebih jauh sejarah Jamiat Khair dan cikal bakal Rabithah, bisa membaca buku berjudul Sejarah Perkumpulan Jamiat Khair (1901-1919) karya Idrous bin Mashoor.
Jamiat Khair adalah organisasi pendidikan tertua di Indonesia. Sejumlah tokoh bangsa tercatat menjadi anggota Jamiat Khair, di antaranya Ahmad Dahlan, Husein Jaya Diningrat, dan HOS Tjokroaminoto.
Sejak awal, organisasi Jamiat Khair mendapat perlawanan dari kolonial sehingga kegiatannya dibatasi. Jamiat Khair pun jadi dilarang untuk menyebar di Nusantara. Tapi, gerakan perlawanan dari pendidikan ini terlalu besar untuk dihadang. Untuk mengecoh kolonial, para tokoh Jamiat Khair di daerah hanya mengganti nama organisasinya tapi substansi perjuangannya sama.
Selain jasanya pada perjuangan merebut kemerdekaan, Rabithah Alawiyah pun menjadi salah satu motor dakwah yang mengedepankan kedamaian. Rabithah dalam konsepnya menolak sedikitpun kekerasan dan kukuh menjaga akhlaqul karimah terhadap sesama.
Dengan segala riwayat dan ideologinya, sangat mengherankan apabila pemerintah Hong Kong mencap Rabithah sebagai ormas berbahaya. Tapi, ketidaktahuan bisa berujung pada kecurigaan apalagi jika dibumbui oleh perasaan xenophobia. Dari asal katanya xenophobia berarti rasa takut pada sesuatu yang asing. Dalam seminar dunia bertajuk Melawan Rasisme, Diskriminasi Rasial, Intoleransi, dan Xenophobia yang digelar di Teheran pada 2001, xenophobia berarti perilaku penolakan pada orang lain atas prasangka identitas.
Kebetulan dalam kasus Somad, prasangka yang melekat adalah atribut Islam. Kejadian ini mirip dengan apa yang dialami Cat Stevens alias Yusuf Islam saat diusir kala baru mendarat di Amerika pada 2004.
Penyanyi Inggris yang juga menjadi juru dakwah itu diinterogasi FBI dan tanpa alasan jelas ditolak masuk Amerika untuk dipulangkan ke London. Karena atribut yang melekat pada Stevens erat dengan Islam, dia pun dicurigai.
Dalam sejarahnya, Hong Kong yang pekan ini mengusir Ustaz Abdul Somad pun pernah juga menjadi korban xenophobia dan pengusiran. Orang Hong Kong layaknya orang daratan Cina pada umumnya, mendapat penolakan ketika masuk wilayah Amerika dengan berlakunya Chinese Exclusion Act yang berlaku di Amerika pada 1882.
Banyak kemudian dari orang Cina yang baru datang ke wilayah Amerika dideportasi. Meski latar dan motifnya berbeda, kini muncul lagi praktik xenophobia. Masa boleh berganti ke zaman yang lebih modern, tapi pola pikir manusia masih sama seperti yang terjadi pada 1882.
Xenophobianya bukan lagi soal ekonomi tapi identitas kepercayaan. Islam dianggap erat sebagai teroris. Semua terjadi akibat prasangka tanpa diikuti pengetahuan lebih. Sehingga yang akhirnya muncul adalah generalisasi ketakutan pada sebuah simbol dan identitas kepercayaan.
Seperti yang terjadi dalam kasus Abdul Somad yang membawa atribut berbahasa Arab dan kemudian dicurigai. Padahal kartu nana berbahasa Arab yang dibawa Somad adalah kartu nama organisasi Islam yang toleran dan anti kekerasan, Rabithah Alawiyah.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah Indonesia untuk memberi penjelasan. Itikad baik dari pemerintah penting untuk menghentikan kesalahpahaman pihak Hong Kong atas figur si tokoh dan atribut yang dia bawa. Ini agar kedepannya kejadian yang sama tidak terulang.
Jika pemerintah bersikap pasif, maka terulangnya kejadian serupa menjadi sebuah keniscayaan. Apabila pemerintah tak bereaksi atas kasus Somad hal itu juga bisa menjadi sebuah pembenaran atas tindakan Hong Kong mengusir juru dakwah asal Indonesia itu.
Padahal, Inggris yang negara minoritas Islam saja begitu membela Yusuf Islam saat diusir pemerintah Amerika. Saat itu, bahkan Menlu Inggris, Jack Straw sampai melayangkan protes terbuka pada Menlu Amerika Colin Powell. Langkah ini sangat baik dilakukan negara untuk membela warganya sekaligus menghargai seorang yang punya atribut pendakwah.
Bagaimana dengan pemerintah Indonesia? Sudahkah ada itikad membela marwah sang pendakwah? Biar waktu yang akan menjawabnya.