REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika
Saya sengaja tidak membahas masalah ini menjelang hari Natal. Pertimbangan saya, kalau itu dibahas menjelang Natal, bisa-bisa malah akan menambah suasana runyam dan kian memperuncing perbedaan yang ada. Dengan membahas soal ini setelah hari Natal, saya berharap semua pihak bisa mengkaji serta bersikap jernih dan tidak disertai amarah.
Dalam beberapa tahun ini, persoalan boleh-tidaknya umat Islam mengucapkan selamat Natal telah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Aneka dalil mereka keluarkan. Bahkan tak jarang pendapat yang pro maupun yang kontra disertai dengan cacian atau makian.
Malahan ada yang berlebihan denngan memutarbalikkan fakta. Setelah menyertakan dalil yang dianggap mendukung dalih mereka, pengirim pesan itu juga menambahkan, Buya Hamka sampai mengundurkan dari dari ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat gara-gara oleh pemerintah diminta mencabut fatwa larangan bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal.
Informasi tadi jelas salah. Buya Hamka (saat menjadi ketua umum MUI) sama sekali tak pernah melarang umat Islam untuk mengucapkan selamat Natal. Dia pun tak pernah mengeluarkan fatwa larangan tersebut. Buya Hamka, selaku ketua umum MUI Pusat, mengeluarkan fatwa yang berupa larangan umat Islam mengikuti perayaan Natal. Ini yang masyarakat sering salah paham.
Akibat fatwa larangan umat Islam untuk ikut perayaan Natal tersebut, menteri agama saat itu --Alamsyah Ratu Perwiranegara-- marah besar dan meminta Buya Hamka agar mencabut fatwa tersebut. Buya Hamka tetap kukuh dan pantang surut dalam menegakkan kebenaran. Dia pun lebih memilih mengundurkan diri sebagai ketua umum MUI Pusat ketimbang mencabut fatwa itu.
Informasi ini perlu disampaikan karena sangat sering fatwa MUI Pusat era Buya Hamka tersebut dibelokkan informasinya dan dijadikan dalih untuk melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Buya Hamka juga terbiasa mengucapkan selamat Natal. Ini diceritakan langsung oleh anak Buya Hamka bernama Irfan Hamka. Kepada tetangganya yang Nasrani dan keturunan Cina, Buya Hamka senantiasa mengucapkan selamat Natal.
Selain Buya Hamka, beberapa tokoh Islam juga membolehkan Muslim untuk mengucapkan Natal. Mereka antara lain Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Amien Rais, Said Agil Siradj, Slahuddin Wahid, dan Quraish Shihab.
Sebaliknya, sudah pasti pihak yang memilih pendapat untuk melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal. Dalihnya tentu bermacam-macam. Ada yang berpendapat, bahwa nabi pun tidak pernah memberi contoh seperti itu. Sampai ada pula yang beranggapan denngan mengucapkan selamat Natal, maka hal itu bisa mengganggu akidah orang yang bersangkutan.
Beberapa ulama beranggapan, umat Islam harus menghindari untuk mengucapkan selamat Natal. Termasuk golongan ini adalah: Ustaz Yusuf Mansur, Ustaz Felix Siauw, dan Ustaz Abdul Somad. Tentu masih ada ulama lain yang berpendapat sama.
Seruan yang disampaikan Ketua Umum MUI Pusat, KH Ma'ruf Amin, dan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, saya kira sangat bijak. Keduanya mempersilakan umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang mereka jadikan rujukan. Ini lantaran faktanya memang ada dua kubu yang berbeda pendapat dalam masalah ini. Untuk soal larangan bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal, rasa-rasanya semua ulama di Indonesia sudah sepakat dan memiliki pandangan yanng sama, yakni mengharamkan.
Aneka dalih yang disampaikan untuk melarang ucapan selamat Natal bagi umat Islam sepertinya memang masuk akal. Meski demikian, sejatinya memang tidak ada ayat Alquran maupun hadis Nabi yang secara tegas dan jelas melarang ucapan tersebut. Hal ini yang sering dijadikan salah satu pegangan bagi kalangan Islam lain guna memilih untuk mengucapkan selamat Natal.
Mereka berprinsip, dalam hal muamalah, semua diperbolehkan kecuali yang dilarang. Adapun dalam ibadah mahdoh, semua tidak diperbolehkan kecuali yang diperintahkan Alquran dan dicontohkan Nabi Muhammad.