REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teguh Firmansyah*
Aksi penembakan di Stoneman Douglas High School di Parkland, Florida, menambah daftar panjang serangan teror bersenjata di Paman Sam. Korban bukan satu atau dua orang, tapi sudah belasan atau puluhan yang meregang nyawa akibat teror bersenjata.
Pada awal Oktober 2010, Steve Paddock (64 tahun), melepaskan tembakan dari lantai 32 Hotel Mandala Bay, Las Vegas, yang menewaskan 59 orang. Serangan itu menjadi salah satu yang paling mematikan dalam sejarah modern AS.
Namun pemerintahan di Washington, sepertinya tak bisa berbuat banyak untuk mencegah tindakan tersebut. Upaya pembatasan senjata selalu gagal, karena lobi asosiasi perusahan senjata, The National Rifle Association of America sangat kuat di kongres.
Mereka membiayai para politisi yang ingin maju di dewan atau pemerintahan. Dalam dokumen yang dikeluarkan OpenSecrets, NRA menghabiskan 984.152 dolar AS untuk kampanye 2014. Mereka juga menghabiskan lebih dari 3 juta dolar AS untuk biaya lobi pada 2013 dan 2014.
Upaya Barack Obama yang saat itu menjabat presiden untuk membatasi peredaran senjata pascaserangan mematikan di sebuah sekolah di Connecticut pada 2013 gagal di Senat.
Kegagalan itu pun sontak dirayakan oleh NRA. Bagi NRA, larangan terhadap penggunaan senjata hanya akan mengkriminalisasikan warga negara yang baik untuk melindungi diri mereka dan mendapatkan hak dasar.
NRA dan para pendukungnya selalu menyalahkan sisi personal pemegang senjata, terutama dari kesehatan mental. Karena memang mereka yang memiliki gangguan jiwa berbahaya untuk mengakses ini. Namun persoalannya bagaimana cara mengawasi seseorang gangguan kejiwaan agar tak bisa mengakses senjata?
Pengawasan tersebut pada kenyataannya gagal. Karena fakta di lapangan, para penjahat, orang sakit jiwa, bahkan pelajar di bawah umur dapat mudah mendapatkannya.
Upaya pembatasan atau pelarangan senjata, sepertinya juga tak akan berhasil dalam waktu dekat. Mengingat pemerintahan Donald Trump yang berasal dari Partai Republik sepertinya tidak ada niatan untuk melakukan pembatasan tersebut.
Dalam sebuah sebuah kicauan di Twitter, Trump menyampaikan rasa duka cita dan memberikan doa kepada korban. Ia tak menyinggung soal pembatasan senjata.
Begitu pula saat pidato di Gedung Putih. Pengusaha properti itu hanya fokus soal keselamatan sekolah dan kesehatan mental. Pernyataan Trump itu tidaklah mengagetkan, mengingat kedekatannya dengan NRA. Pada 2017, Trump pernah mengatakan kepada NRA, "Anda memiliki teman dekat dan pembela di Gedung Putih."
Trump juga dinilai telah memperlonggar upaya pembatasan senjata yang dilakukan oleh Obama. Pemerintahan Obama pada 2016 sempat memfinalisasi sebuah aturan pembatasan.
Mereka yang mendapatkan dana jaminan sosial karena sakit jiwa dan dianggap tak layak untuk mengatur keuangan mereka sendiri akan masuk dalam National Instant Criminal Background Check System (NICS) Biro Federal AS (FBI).
NRA telah menentang aturan ini karena dianggap bertentang dengan Amandemen Kedua. Kongres lantas menggagalkan kembali atuaran ini dan Presiden Trump menandatangani kegagalan itu pada Februari 2017.
Sejak saat itu trump selalu mengatakan, masalah aksi penembakan massal adalah persoalan kesehatan mental, bukan masalah senjata. Itulah mengapa upaya untuk membatasi peredaran senjata di AS tak mendapatkan angin segar di era Trump.
Para korban dan mereka yang anti terhadap senjata hanya berharap, berharap dan berharap. Seperti yang disampaikan David Hoog, korban selamat dalam serangan di Florida.
"Pesan saya kepada anggota kongres adalah mohon beraksi, Ide itu bagus, ide itu menarik dan itu menolong Anda untuk kembali terpilih, tapi yang lebih penting adalah aksi," pesannya penuh harap.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id