Sabtu 17 Feb 2018 14:38 WIB

Pengawasan Peredaran Senjata Api Masih Jadi Pekerjaan Rumah

Jaringan peredaran senjata api mirip jaringan peredaran narkoba.

Ani Nursalikah
Foto: dok. Pribadi
Ani Nursalikah

Oleh: Ani Nursalikah

Redaktur Republika.co.id

Penembakan terjadi di Majority Stoneman Douglas High School di Amerika Serikat (AS) pada Rabu (14/2) menyebabkan 17 orang tewas. Sementara itu 14 orang terluka, tiga di antaranya berada dalam kondisi kritis.

Penembakan di tempat umum di AS bukan hal baru dan tampaknya menjadi hal yang lazim. Lantas bagaimana dengan di Indonesia? Penembakan terakhir yang cukup menghebohkan terjadi November lalu.

Dokter Letty Sultri ditembak beberapa kali di Azzahra Medical Centre, Jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur tempatnya membuka praktik. Usut punya usut, pelakunya ternyata suaminya sendiri yang juga berprofesi sebagai dokter, Helmi.

Pengacaranya mengatakan Helmi mengalami gangguan jiwa sejak 1999. Ia juga mengonsumsi obat penenang hampir setiap hari karena depresi yang dialami.

Helmi mengaku memiliki dua senjata api yang ia beli seharga Rp 45 juta. Setelah menelusuri, polisi akhirnya menangkap penjual senjata kepada Helmi. Kedua penjual ternyata juga berprofesi sebagai dokter. Mereka dipastikan tidak memiliki izin jual beli senpi.

Kasus penembakan lain yang cukup menarik perhatian adalah aksi koboi yang juga dilakukan seorang dokter bernama Anwari. Polres Metro Jakarta Selatan sempat menangkap Anwari lantaran menganiaya seorang juru parkir di Mal Gandaria City Zuansyah pada Oktober 2017. Selain menganiaya, Anwari melepaskan tembakan senjata api ke atas hingga Zuansyah ketakutan bahkan bersujud di kakinya

Dia tidak terima saat diminta biaya parkir Rp 5.000 karena menurutnya mobil dinas seharusnya tidak dikenai biaya parkir. Masih di bulan yang sama, Anwari kembali terlibat penganiayaan dengan mengancam senjata angin terhadap seorang warga di daerah Pesanggrahan Jakarta Selatan. Kejadian berawal ketika Anwari terlibat perselisihan dengan seseorang di bengkel kawasan Pesanggrahan Bintaro Jakarta Selatan.

Penyidik Polres Metro Jakarta Selatan berencana memeriksa kejiwaan Anwari karena aksinya yang dilakukan berulang. Polisi juga telah menerima empat laporan dugaan penganiayaan dilakukan Anwari. Berdasarkan informasi, senjata tersebut dimiliki Anwari atas pemberian temannya pada 2000.

Belum lagi peredaran senjata rakitan yang masih luas di masyarakat. Kebanyakan penjahat menggunakan senjata api saat melakukan aksinya. Polisi mengatakan senjata tersebut sebagian besar berasal dari Lampung dan Sulawesi Selatan.

Anda tentu masih ingat perampokan sadis di Pulomas, Jakarta Timur yang menelan enam korban jiwa pada 2016. Pelakunya menggunakan senjata api rakitan.

Pada 2017, enam perampok yang khusus mengincar motor ber-cc besar ditangkap polisi di Kabupaten Bekasi. Mereka mengancam korbannya dengan pistol rakitan. Kita juga pernah mendengar pengendara mobil yang membiarkan pistolnya menyalak lantaran kesal mobilnya disalip kendaraan di jalan.

Gatot Brajamusti alias Aa Gatot yang tertangkap karena narkoba juga terungkap mempunyai senjata api. Padahal ia adalah warga sipil. Gatot pun menjadi tersangka atas kepemilikan senjata api ilegal.

Polda Metro Jaya tidak menampik jaringan peredaran senjata api mirip dengan jaringan peredaran narkoba. Sulit menembus hingga ke lapisan atas karena sistem penjualannya dengan sistem putus atau pembeli tidak berhubungan langsung dengan bandar.

Polisi sudah tidak lagi mengeluarkan izin untuk memiliki senjata api sejak 2006 sehingga seluruh senjata yang kini ada di tengah masyarakat dianggap sebagai barang ilegal. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan masyarakat sipil tidak bisa leluasa menggunakan senjata api tanpa izin. Senjata tersebut hanya bisa digunakan warga sipil yang berpotensi mendapat ancaman karena pekerjaannya.

Ketentuan yang mengizinkan warga sipil memiliki senjata untuk kepentingan membela diri diatur dalam Surat Keputusan Kapolri nomor 82/II/2004. Dalam surat tersebut disebutkan lima kategori perorangan atau pejabat yang diperbolehkan memiliki senjata api, yakni pejabat pemerintah, pejabat swasta, pejabat TNI/Polri, purnawirawan TNI/Polri dan profesi.

Tidak sembarang orang bisa memiliki senjata. Kondisi psikis harus stabil. Jangan sampai orang yang gampang tersulut emosi bisa memegang senjata.

Pemilik senjata harus melakukan psikotes, kemudian memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), cek kesehatan dan kemampuan dasar menembak. Jumlah senjata yang boleh dimiliki warga sipil pun dibatasi. Begitu pula dengan jenis senjata. Tidak main-main, penyalahgunaan senjata api bisa diganjar dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, seperti tertuang dalam UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.

Pengawasan peredaran senjata api masih menjadi pekerjaan rumah. Bukan hanya warga sipil, penembakan antara polisi maupun bunuh diri anggota polisi harus menjadi evaluasi. Pemeriksaan rutin wajib dilakukan secara berkala terhadap anggota yang memegang senjata. Kondisi kejiwaan pada saat awal perekrutan tentunya berbeda setelah seorang menjalani tugas sebagai polisi. Yang tidak kalah penting harus terbangun kedekatan personal antara anak buah dan pimpinan sehingga meminimalisasi kasus penyalahgunaan senjata.

Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengatakan enam bulan sekali atau setahun sekali pemilik senjata api harus diperiksa kesehatan emosionalnya. Hal itu berlaku bagi pemilik dari kalangan militer, polisi dan sipil.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement