REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Wartawan Republika
Saya masih ingat betul tulisan berjudul Revolusi Mental yang ditulis oleh Presiden Jokowi semasa dia masih 'berkampanye' 2014 lalu. Tulisan itu dimuat di kolom opini salah satu media nasional pada Sabtu 10 Mei 2014.
Banyak hal menarik yang disampaikan Jokowi dalam memotret persoalan bangsa. Jokowi saat itu memotret bahwa bangsa ini tumbuh pesat dari segi politik dan ekonomi. Indonesia bahkan menjadi contoh negara lain dan mendapat pujian internasional. Tapi di dalam negeri, rakyat Indonesia malah resah dengan kondisi negara.
Aura negatif justru beredar di tengah masyarakat dalam memandang kondisi bangsa dan negaranya saat itu. Jokowi memandang semua fenomena ini terjadi karena perubahan yang terjadi paca-reformasi hanya bersifat institusional semata. Padahal, yang dibutuhkan adalah perubahan pola pikir. Yang diubah bukan sekadar institusi dan fisik secara umum, melainkan juga manusianya.
"Sehebat apapun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tidak akan membawa kesejahteraan." Begitu ide besar Jokowi tentang Revolusi Mental.
Ide tentang Revolusi Mental itu yang kemudian ditawarkan kepada rakyat dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014. Berkat ide dan janji soal Revolusi Mental pula Jokowi akhirnya mengubah statusnya dari Gubernur DKI nonaktif menjadi Presiden Indonesia masa bakti 2014 hingga 2019 nanti.
Kini sudah hampir tahun keempat Jokowi memangku amanat sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam tulisan ini, saya ingin kita menguji kembali ide dan janji Revolusi Mental yang dahulu ditulisnya itu.
Apakah memang pembangunan manusia menjadi semangat utama Jokowi saat dia memimpin Indonesia kini? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin mengutip sebuah artikel yang diunggah oleh laman Sekretariat Kabinet pada 27 Desember 2017. Artikel itu berjudul "Infrastruktur Mulai Selesai, Presiden: Pemerintah Segera Masuk Pembangunan SDM."
Dari tulisan itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa titik berat prioritas pemerintahan Jokowi sejauh ini masih membangun infrastruktur fisik. Memang tak bisa dipungkiri bahwa di era Jokowi pembagunan infrastruktur strategis seperti jalan tol, bandara, hingga fasilitas umum lain begitu masif.
Segala statistik menunjukkan pembangunan infrastruktur fisik Indonesia naik. Per 2017 lalu, pemerintahan Jokowi diklaim telah menyelesaikan 568 kilometer proyek jalan tol baru. Jika dibandingkan dengan pemerintahan terdahulu, Jokowi yang baru tiga tahun menjabat jauh lebih mentereng. SBY yang menjabat 10 tahun, menyelesaikan 212 kilometer proyek jalan tol baru, Megawati (34 kilometer ), Gus Dur (5,5 km), BJ Habibie (7,5 km), dan Soeharto (490 km).
Ini belum ditambah pembangunan jalan layang LRT, dan MRT yang mulai dilakukan di beberapa wilayah. Tapi bagaimana dengan pembangunan manusia? Ya, berbeda dengan pembagunan infrastruktur yang mudah diukur, soal pembangunan manusia tolok ukurnya begitu kompleks. Kita bisa berkaca pada statistik maupun empirik.
Dalam hal statistik kita bisa merujuk dari indeks pembangunan manusia (IPM). Jika mengacu IPM, memang normalnya setiap negara mengalami kenaikan. Tapi kadarnya ada yang naik tajam hingga mampu melewati negara lain. Ada yang naik tipis sehingga peringkatnya disalip negara lain. Sayangnya, per 2015 Indonesia termasuk negara yang peringkat pembangunan manusianya turun. Indonesia hanya duduk 113 dari 188 negara. Padahal pada 2014, atau saat Jokowi menulis Revolusi Mental, peringkat Indonesia ada di kisaran 110.
Cara mengukur pembangunan manusia bisa tergambar dari indeks demokrasi Indonesia. Pada kenyataanya, indeks demokrasi turun. Menurut catatan BPS, Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pada 2016 mengalami penurunan 2,73 poin dibandingkan dengan indeks pada 2015.
Catatan statistik memang tak bisa menjadi tolok ukur utama untuk menyimpulkan kondisi pembangunan manusia Indonesia. Hal yang paling sahih untuk membuktikannya justru menengok kondisi di sekitar kita. Apakah memang kondisi manusia Indonesia lebih baik? Apakah sudut pandang masyarakat Indonesia secara umum semakin positif atau negatif dalam berkegiatan?
Nah terkait hal ini, kita semua tentu punya penjelasan yang beragam. Tapi, saya ingin menjadikan laga final Piala Presiden 2018 antara Persija vs Bali United lalu sebagai rujukan. Laga di Stadion GBK yang baru selesai dibangun itu juga bisa menjadi bahan kita untuk merenungi perbandingan antara pembangunan infrastruktur vs pembangunan manusia.
Menjelang laga berakhir, sejumlah oknum masyarakat yang menyaksikan laga itu menjebol pagar stadion. Mereka kemudian merangsek masuk ke sisi lapangan. Tak hanya itu, sejumlah fasilitas stadion seperti bangku dan fasilitas lain rusak. Ini masih ditambah sampah yang berserakan di dalam dan luar stadion.
Padahal Stadion GBK zaman now itu merupakan proyek infrastruktur megah dan berstandar internasional. Stadion yang baru diresmikan Januari lalu menelan biaya Rp 2 triliun. Tapi hanya kurang dari sebulan, proyek infrastruktur mahal itu rusak oleh ulah manusia yang mental dan pikirannya belum siap untuk menjejakkan kaki di stadion modern.
Rusaknya infrastruktur modern di GBK oleh ulah masyarakat sepatutnya membuat pemerintah merenung. Infrastruktur kelas dunia sekalipun yang dibangun tak akan ada artinya jika manusia penggunanya masih tertinggal. Bagaimana mau bertahan jika infrastrukturnya zaman now, tapi manusianya masih zaman old?
Kalau kita melihat dari sisi infrastruktur semata, kita tak ubahnya dengan rezim VOC. Sebab di era VOC yang boleh jadi lebih hebat dalam membangun jalan dan berbagai fasilitas transportasi modern di eranya. Mereka mampu menyelesaikan jalan sejauh hampir seribu kilometer hanya dalam tempo sekitar setahun.
Tapi pembangunan infrastruktur di era VOC itu tak dilengkapi dengan pembangunan manusia yang mumpuni. Hingga dengan infrastruktur maju itu rakyat jelata tak merasakan apa-apa dan tetap terjajah hingga seabad berlalu.
Sudah sepatutnya pemerintah menyadari pengalaman di era penjajahan itu. Mendahulukan infrastruktur tanpa diimbangi pembangunan manusia malah akan menghasilkan kesia-siaan. Semodern apapun itu, infrastruktur fisik bisa rusak dalam sekejap jika mental manusia pemakainya belum siap.
Sepanjang dan semulus apapun jalan tol yang dibangun, jika mental pengendaranya tidak siap malah akan jadi jalan mulus menuju akhirat. Sebab faktanya angka kecelakaan akibat ketidakdisiplinan pengendara masih sangat tinggi. Pun halnya MRT dan yang bisa bertrasformasi jadi 'KRL Ekonomi 2.0' apabila manusianya masih tak siap secara mental.
Khusus soal GBK, kita tentu tak ingin sarana olahraga megah ini kembali mengikuti jejak stadion megah lain di Indonesia. Sebab banyak stadion yang dibangun spektakuler dan bertahan hanya hingga acara penutupan PON atau SEA Games. Namun setelah itu, kondisinya ibarat Cinderella yang telah melewati jam 12 malam. Stadion megah kembali jadi rusak, banyak sampah, dan berbau pesing.
Kejadian di GBK pada akhirnya jadi kesempatan untuk bercermin, apakah memang Revolusi Mental telah berjalan di tengah revolusi infrastruktur?
Sebagai bagian akhir tulisan ini izinkan saya mengutip kembali janji pemerintah bahwa pembangunan manusia akan mulai digalakkan tahun ini. Dan memang, kampanye sudah mulai dekat waktunya. Sama seperti 2014 lalu saat tulisan Revolusi Mental pertama kali muncul.