REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ratna Puspita *
Lifter putra andalan Indonesia Eko Yuli Irawan mengusung optimisme tinggi untuk menyumbangkan medali emas pada Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta dan Palembang, 18 Agustus dan 2 September mendatang. Eko menargetkan mengangkat besi seberat 315 kilogram, dengan perincian: 140 kilogram angkatan snatch dan 175 kilogram clean and jerk.
Target tersebut sebenarnya bukan total angkatan terbaik Eko Yuli. Pada Olimpiade 2012 di London, Inggris, Eko Yuli mencatat angkatan 317 kilogram, yang mengantarkannya meraih perunggu. Kendati demikian, Eko menyimpan keyakinan angkatan seberat itu sudah cukup untuk meraih medali emas pada kategori 62 kilogram putra.
Optimisme Eko lantaran peraih medali emas Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan, Kim Un-guk asal Korea Utara, bakal absen karena masih terkena sanksi tampil. Kim tidak bisa berpartisipasi pada event angkat besi karena gagal tes doping pada Kejuaraan Dunia 2015 di Amerika Serikat.
Tidak hanya itu, cabang olahraga angkat besi Asian Games 2018 dipastikan pula tanpa kontingen dari Cina dan Kazakhstan. Sebab, pada 2017 mereka dilarang tampil di semua kejuaraan di bawah pengawasan Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) selama setahun. Alasannya sama, yakni pelanggaran doping.
Tanpa Kim Un-guk dan kontestan dari Cina, hanya Vietnam yang bisa mengganjal peluang Eko Yuli meraih medali emas di depan publik sendiri. Vietnam diperkuat oleh Trinh Van Vinh yang mengalahkan Eko Yuli pada SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Agustus tahun lalu, Trinh mengakhiri dominasi Eko Yuli pada kelas 62 kilogram putra SEA Games. Trinh, yang merupakan pendatang baru, berhasil mengangkat besi 307 kilogram, atau satu kilogram lebih berat dari total angkatan Eko Yuli.
Kekalahan dari Trinh diyakini tidak bakal terulang di Jakarta. Koordinator Satlak Prima untuk Cabang Terukur Hadi Wihardja ketika itu menyatakan Eko Yuli kalah dari lifter Vietnam karena belum kembali dalam performa terbaiknya. "Semua atlet setelah Olimpiade (2016) belum kembali ke performa terbaiknya. Begitu pula negara-negara lain,” kata dia.
Usai Turnamen Invitasi Asian Games 2018, beberapa waktu lalu, pelatih tim angkat besi M Rusli juga yakin Eko Yuli bisa mengalahkan Trinh. Lifter berusia 28 tahun itu punya peluang lebih besar karena memiliki kemampuan mumpuni dan pengalaman berlomba di ajang internasional.
Namun, larangan sejumlah atlet karena kasus doping yang seharusnya menjadi keuntungan bagi Indonesia dengan cepat berubah menjadi kemalangan. Optimisme Eko Yuli, pelatih di Pengurus Besar (PB) Persatuan Angkat Besi, Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI), dan Indonesia, harus dipaksa surut oleh Federasi Angkat Besi Asia (AWF).
AWF mencoret perlombaan kelas 62 kilogram pada Asian Games 2018. Wakil Ketua Umum PB PABBSI Joko Pramono di Jakarta Rabu (21/2) menyebutkan keputusan tersebut tertuang dalam surat pada 11 Februari dan ditandatangani oleh Presiden AWF Mohamed Yousef Almana.
Alasannya, skandal doping di cabang olahraga yang terjadi pada Olimpiade 2016. Skandal doping itu juga berbuntut pada pengurangan perlombaan pada Olimpiade 2020 yang digelar di Tokyo, Jepang.
Joko mengatakan, PB PABBSI akan meminta bantuan Ketua Olimpiade Indonesia yang juga Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games (Inasgoc) Erick Thohir untuk melobi Dewan Olimpiade Asian (OCA) agar kelas 62 kilogram cabang angkat besi tetap diperlombakan.
Joko beralasan pengurangan perlombaan seharusnya hanya dilakukan pada kelas berat bukan kelas ringan. Sebab, skandal doping kerap terjadi pada kelas berat.
Skandal doping internasional
Kasus doping Kim Un-guk pada 2015 sebenarnya menjadi catatan bahwa doping tidak hanya terjadi pada kelas berat. Kim Un-guk dan Eko Yuli sudah bersaing sejak keduanya masih berlaga pada kejuaraan junior.
Pada Asian Games delapan tahun lalu di Guangzhou, Cina, keduanya menempel lifter asal tuan rumah, Zhang Jie. Zhang meraih medali emas, Kim medali perak, dan Eko Yuli meraih medali perunggu.
Setelah itu, perkembangan Kim luar biasa pesat. Bahkan, Kim seperti tidak berhenti memecahkan rekor. Dia mematahkan rekor milik Zhang ketika mencatat total angkatan 327 kilogram pada Olimpiade 2012. Kala itu, Eko Yuli harus puas di posisi ketiga dengan total angkatan lebih ringan 10 kilogram dari milik Kim.
Dua tahun berselang pada Asian Games 2014, Kim mampu mengangkat besi seberat 332 kilogram atau lebih berat lima kilogram dari catatan rekornya. Kim juga memecahkan rekor angkatan snatch milik lifter Cina Shi Zhiyong dengan catatan 154 kilogram.
Namun, penampilan luar biasa Kim harus terhenti satu tahun kemudian. Di Houston, Amerika Serikat, Kim terbukti menggunakan zat terlarang, yakni letrozole, yang masuk golongan obat hormon untuk meningkatkan massa otot. Pada kejuaraan itu, lifter Azerbaijan yang turun di kelas 62 kilogram, Valentin Hristov, juga dinyatakan positif menggunakan doping.
Skandal doping di angkat besi tidak berhenti pada Kejuaraan Dunia 2014. Sebanyak 49 lifter positif menggunakan doping pada Olimpiade 2008 dan 2012. Angka itu hanya kalah dari atletik, yang memiliki lebih banyak nomor perlombaan.
Banyaknya atlet angkat besi yang menggunakan doping membuat sejumlah pemenang harus merelakan medalinya dicabut. Bahkan, pada beberapa turnamen, tiga peraih medali didiskualifikasi.
Kelas 94 kilogram menjadi sorotan karena banyaknya atlet yang menggunakan doping selama bertahun-tahun. Lebih dari seperlima tes positif doping pada cabang angkat besi berasal dari kelas 94 kilogram. Ilya Ilyin dari Kazakhstan pun harus kehilangan medali emas yang diraihnya di Olimpiade 2008 dan 2012.
Olimpiade 2012 menjadi ajang memalukan bagi angkat besi. Tidak hanya Ilyin yang didiskualifikasi, tetapi juga peraih medali perak dan perunggu karena positif doping, yakni Aleksandr Ivanov dari Rusia dan Anatoli Ciricu dari Moldova. Bahkan, peringkat keempat keenam, dan ketujuh juga gagal dalam tes.
Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) pun menghukum sejumlah negara, termasuk Cina, Rusia, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Moldova, Turki, dan Ukraina, tahun lalu. Cina dan Rusia sedang berada dalam investigasi Badan Antidoping Dunia (WADA) karena tuduhan keterlibatan pemerintah dalam penggunaan doping.
Dewan Olimpiade Internasional (IOC) pun berang dengan banyaknya kasus doping di angkat besi. IOC memberi peringatan kepada IWF untuk lebih keras melawan penggunaan doping. Jika tidak maka IOC akan membatalkan angkat besi pada Olimpiade 2024 di Paris, Prancis.
“Kami menerima bahwa pada masa lalu kejadian doping dalam angkat besi terlalu tinggi," kata Presiden IWF Tamas Ajan pada Desember 2017, dilansir dari Reuters, Kamis (22/2).
IWF juga merespons ancaman IOC dengan menyusun rencana untuk melawan doping. Ajan juga mengatakan IWF mengadopsi pendekatan garis keras untuk melawan doping.
Pendekatan garis keras ini akan menjadikan tidak kurang dari 12 negara berisiko tinggi menggunakan doping sebagai tergat. Negara-negara tersebut memiliki budaya doping yang mengakar.
Pada Desember lalu, IWF juga menyetujui aturan baru yang memaksa semua negara memenuhi tanggung jawab antidoping mereka. Jika tidak maka negara itu akan dilarang tampil pada ajang internasional selama empat tahun, yang akan membuat negara tersebut tampil pada Olimpiade.
Sistem kualifikasi Olimpiade yang baru juga akan mewajibkan atlet untuk bersaing lebih sering daripada yang dilakukan sekarang. Sistem ini dibuat lantaran Ilyin sempat absen dari kompetisi internasional antara Olimpiade 2008 di Beijing dan 2012 di London.
IWF juga akan melakukan lebih banyak uji sampel, termasuk tes di luar kompetisi. IWF juga akan memiliki rekaman lebih detail tentang staf pelatih dan pendukung atlet. IWF juga membentuk Komisi Independen untuk memastikan cabang olahraga ii bersih dari doping.
Dengan rekam jejak skandal doping dan upaya federasi membersihkan angkat besi dari doping, sanggupkah Indonesia lewat Ketua KOI Erick Thohir meyakinkan OCA dan AWF untuk tetap menggelar perlombaan kelas 62 kilogram? Semoga saja.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id