Senin 26 Feb 2018 07:37 WIB

Menghitung Petarung di Pilpres 2019

Kemungkinan besar hanya akan ada dua pasangan yang bertarung di Pilpres 2019

Bayu Hermawan
Foto: dok. Pribadi
Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bayu Hermawan*

Jumat, 23 Februari 2018, mungkin akan menjadi hari keramat yang tidak akan dilupakan Joko Widodo (Jokowi). Pada hari ini, Jokowi bisa bernapas lega karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendeklarasikan dukungan untuknya maju kembali sebagai calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang.

Bagi saya, keputusan PDIP tidaklah mengejutkan. Justru akan aneh jika PDIP tidak memberikan restu, dikala Parpol-Parpol lain 'mengalap' berkah untuk meningkatkan elektabilitas jelang pemilu, dengan menggadang-gadang sebagai pendukung utama Jokowi.

Deklarasi PDIP menjadi sinyal kepada Parpol-Parpol yang belum atau tidak pro Jokowi untuk bersiap menghadapi pertarungan Pilpres. Di sisi lain, dukungan PDIP kepada Jokowi seolah menutup pintu peluang bagi munculnya wajah-wajah capres baru yang akan meramaikan pertarungan Pilpres 2019.

Bagaimana tidak, dengan merapatnya PDIP dalam barisan pendukung Jokowi di Pilpres, maka secara persyaratan ambang batas pengajuan calon presiden atau presidential threshold, sangat tidak mungkin ada lebih dari dua pasangan calon yang akan berlaga. Hal tersebut tidak lepas dari disahkannya Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Dalam pasal tersebut disyaratkan jika gabungan parpol yang akan mengajukan capres dan cawapres harus mengantongi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR Pemilu sebelumnya. Artinya, secara matematika, dengan dukungan dari PDIP, Golkar, PPP, PKB, Hanura dan Nasdem, saat ini Jokowi sudah mengantongi dukungan sebesar kurang lebih 61 persen suara sah nasional, jika mengacu berdasarkan hasil Pemilu 2014.

Hanya tersisa Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat, yang mempunyai modal suara sebagai nilai tawar di Pilpres 2019. Sementara dua Parpol veteran Pemilu 2014 yakni PBB dan PKPI dipastikan kehilangan peluang untuk mengusung Pilpres karena tidak lolos tahap verifikasi Parpol Pemilu 2019. Secara hitung-hitungan, jika Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat sepakat berkoalisi maka gabungan parpol itu mempunyai sekitar 36 persen suara, cukup untuk mengajukan calon.

Andaikata salah satu dari empat parpol itu tidak sepakat berkoalisi, maka jumlah suara sudah sangat pas untuk mengusung Paslon Capres, sehingga tidak mungkin ada poros koalisi ketiga atau tiga Capres yang akan bertarung. Bagaimana dengan parpol-Parpol newbie yang akan ikut Pemilu 2019, dapat dipastikan perolehan suara mereka tidak bisa digunakan, sebab pada tahun 2019 pemilu legislatif akan digelar bersamaan dengan pemilu presiden.

Meski politik bukan soal hitung-hitungan angka dan matematika, dan segala kemungkinan bisa terjadi di waktu mendatang, namun untuk saat ini setidaknya saya dapat memprediksi yang kemungkinan akan terjadi. Pertama, kemungkinan adalah bakal menarik dan alotnya tawar menawar untuk posisi cawapres pendamping Jokowi di antara parpol koalisi.

Sudah barang tentu PDIP akan mengklaim Jokowi sebagai kader mereka. Sehingga posisi cawapres akan diperebutkan antara Golkar, PPP, PKB, Nasdem dan Hanura. Melihat pemberitaan beberapa waktu belakangan, parpol-parpol tersebut sudah mulai ramai memasang kader internal mereka sebagai sosok yang tepat sebagai pendamping Jokowi. Hal ini kemungkinan akan terus menghiasi pemberitaan media massa untuk beberapa waktu kedepan. Namun, jangan lupa bukan tidak mungkin cawapres Jokowi dipilih di luar parpol koalisi pendukung. Hal tersebut sudah pernah dilakukan SBY dalam Pilpres 2009.

Pemilihan cawapres di luar lingkaran koalisi sebenarnya mempunyai sisi positif untuk menjaga soliditas parpol koalisi. Sehingga tidak ada saling klaim. Lalu kira-kira sosok seperti apa yang cocok untuk mendampingi Jokowi di 2019?. Saat ini Jokowi ditampilkan sebagai sosok dari kelompok nasionalis. Sehingga untuk cawapres, sebaiknya Jokowi atau Parpol koalisi mencari sosok yang merepresentasikan kelompok religius, atau minimal seperti Jusuf Kalla.

Mengapa? karena terbukti di Pilpres 2014, kehadiran Jusuf Kalla mampu mem-//backup Jokowi jika diserang lewat isu-isu yang memainkan atribusi keagamaan. Ada beberapa nama yang bisa digandeng Jokowi untuk Cawapres. Salah satunya adalah Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang. Dalam beberapa survei, TGB mempunyai elektabilitas yang cukup baik. Selain itu, bukan tidak mungkin jika Jokowi memilih TGB sebagai Cawapres, maka Jokowi juga akan mendapatkan dukungan tambahan dari Partai Demokrat. Kemungkinan 'terekstrem' adalah mengandeng salah satu kader yang masuk dalam bursa capres PKS.

Kedua, adalah soal penantang Jokowi. Seperti yang saya jelaskan diatas, dengan PT 20 persen, maka kemungkinan munculnya penantang baru bagi Jokowi akan tertutup. Pada akhirnya, besar kemungkinan hanya Prabowo Subianto yang akan kembali naik ring untuk bertanding dengan Jokowi. Terlebih, Waketum Gerindra Fadli Zon sudah bersuara jika seluruh kader partainya mendukung Prabowo maju kembali di Pilpres 2019.

Jika skenario ini terjadi, bisa dipastikan jagat dunia maya akan kembali panas oleh pendukung Jokowi dan Prabowo. Jika skenario ini yang terjadi, maka kemenangan Jokowi dan Prabowo kemungkinan akan ditentukan oleh beberapa hal. Pertama siapa calon wakil presiden yang digandeng keduanya. Sebab, visi misi apapun yang akan disampaikan Jokowi dan Prabowo, dukungan loyalis keduanya tidak akan terpengaruh.

Kedua, bagaimana mereka menarik suara-suara yang kini mulai kembali apatis dengan politik dan suara yang mengambang pascapilpres 2014. Lalu apakah Pilpres 2019 pasti akan diisi calon 'lo lagi lo lagi'?. Seperti yang saya bilang sebelumnya, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Semua bisa saja terjadi.

Kunci munculnya calon baru saat ini ada di tangan Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN. Beberapa nama yang bisa menjadi alternatif adalah Mulhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang, yang punya modal baik selama menjadi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain bisa menjaring suara kelompok religius, TGB juga bisa menjaring suara pemilih di luar Jawa.

Kemudian ada juga Gatot Nurmantyo. Meski belum mendekati Jokowi dan Prabowo, namun elektabilitas Gatot cukup jadi modal untuk dilirik sebagai Capres. Sebagai mantan panglima TNI, Gatot punya modal untuk menarik suara kelompok nasional hingga religius.

Sosok lain adalah Anies Baswedan. Meski baru menjabat sebagai gubernur DKI, Anies Baswedan tidak bisa langsung dicoret dari bursa capres. Terlebih jika melihat apa yang terjadi pada Jokowi di 2014. Dukungan yang diperoleh di Pilkada Jakarta, bisa digunakan sebagai modal bagi Anies untuk melangkah menuju istana negara. Selain menjadi sosok capres alternatif, tiga nama ini juga berpeluang menjadi cawapres.

Segala kemungkinan bisa terjadi dalam politik. Satu yang pasti, kita harus bersiap kembali bertemu dengan panasnya persaingan Pilpres. Tapi juga kita harus ingat, politik juga adalah seni, semoga kali ini kita semua bisa menikmati seni politik sambil ngopi santai bersama teman-teman, tanpa harus gontok-gontokan dan umbar emosi di media sosial. Selamat datang di tahun politik.

*)Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement