Rabu 28 Feb 2018 12:27 WIB

Tantangan Gubernur BI 'Zaman Now'

Perry akan dihadapkan pada dua peristiwa penting yang bisa mengubah sejarah Indonesia

Elba Damhuri, Jurnalis Republika/Kepala Republika.co.id
Foto: Republika
Elba Damhuri, Jurnalis Republika/Kepala Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elba Damhuri*

Teka-teki siapa Gubernur Bank Indonesia (BI) pengganti Agus Martowardojo terungkap sudah. Presiden Joko Widodo mengirim surat kepada DPR untuk mengajukan Perry Warjiyo sebagai calon tunggal Gubernur BI yang baru. Saat ini, Perry menjabat sebagai Deputi Gubernur BI.

Perry dinilai Presiden Jokowi sangat layak menjadi BI-1 mengingat pengetahuan, pengalaman, dan keilmuannya yang tinggi soal moneter dan keuangan. Perry dianggap memenuhi semua syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang gubernur bank sentral.

Secara teori, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut sejumlah syarat untuk menjadi seorang gubernur bank sentral. Tentu saja, dia harus memiliki kemampuan mumpuni soal moneter, pembayaran, fiskal, keuangan, hingga ekonomi secara umum.

Gubernur bank sentral harus mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah. Dia harus memahami reformasi struktural, ekonomi global, perubahan sosial, isu-isu politik, hingga persoalan lingkungan hidup. Ekonomi hijau kini menjadi salah satu tema penting yang juga masuk ke ranah bank sentral di seluruh dunia.

Perry Warjiyo --jika disetujui DPR-- akan menjadi Gubernur BI yang baru yang berada di pusaran gelombang perubahan yang ditandai dengan inovasi-inovasi tanpa batas, disrupsi ekonomi secara masif, musim gugur bisnis tradisional, lanskap perekonomian global yang berubah, hingga revolusi digital yang mengubah banyak hal.

Sejumlah tantangan sosial ekonomi politik sudah terlihat jelas di depan mata, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. Apalagi, dua tahun pertama menjadi gubernur, Perry dihadapkan pada dua peristiwa penting yang bisa jadi akan mengubah sejarah Indonesia: pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.

Ibarat berlayar, Perry tidak sedang berada di lautan biru nan luas tanpa gelombang tinggi dan angin kencang. Perry berada di dalamnya dan harus menakhodai perahunya agar tetap stabil, tidak terombang-ambing gelombang, dan kembali sampai ke pelabuhan dengan kegembiraan.

Perry menghadapi tantangan serius, baik yang bersifat old school (moneter dan segala teknisnya) maupun new school (revolusi digital).

Tantangan pertama, terkait dengan digitalisasi ekonomi: mata uang virtual atau cryptocurrency. Fenomena Bitcoin dan 1.490-an mata uang virtual lainnya telah menghabiskan energi hampir semua menteri keuangan, gubernur bank sentral, dan otoritas keuangan lainnya di banyak negara, termasuk Indonesia.

Pro kontra atas beroperasinya crytocurrency ini terus menggema dan menimbulkan kebingungan hebat di masyarakat. Bagi masyarakat digital, mata uang virtual ini merupakan peluang untuk memudahkan kehidupan yang terkait dengan transaksi keuangan.

Bagi kaum penentangnya, cryptocurrency seperti Bitcoin tak ubahnya seperti penyakit berbahaya yang harus dibasmi sedini mungkin. Mata uang virtual tidak hanya bersifat utopia dan penuh khayalan, tetapi juga merusak bangunan sistem keuangan sebuah negara yang dalam waktu tertentu bisa memporak-porandakan pondasi bangunannya.

Mata uang virtual yang menggunakan teknologi blockchain itu bisa menjadi ancaman bagi ekonomi sebuah negara, baik menyangkut kebijakan moneter, fiskal, alat pembayaran, investasi, hingga siklus bisnis baru. Intinya, Bitcoin bisa mengubah dan merevolusi struktur sistem keuangan sekarang.

Mata uang virtual termasuk Bitcoin kini terus berkembang pesat. Bitcoin sendiri sejak diperkenalkan pada 2008 oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Nakamoto Satoshi semakin diburu di seluruh dunia. Nilainya fluktuatif secara tajam.

Secara total ada 21 juta Bitcoin dan yang beredar sudah hampir 17 juta Bitcoin. Artinya, sebanyak 80 persen Bitcoin sudah ditambang.

Saat pertama kali diluncurkan, harga satu Bitcoin hanya ratusan dolar AS. Seiring waktu, nilai Bitcoin terus naik hingga mencapai 20 ribu dolar AS dan akhirnya terjungkal lagi ke level di bawah 10 ribu dolar AS.

Jelas, Bitcoin akan mengancam eksistensi mata uang konvensional. Bitcoin telah menjelma tidak hanya sebagai alat investasi atau spekulasi. Dia juga terus berevolusi menjadi sistem pembayaran yang sudah diterima di banyak negara di seluruh dunia.

Para pemain melihat Bitcoin seperti aset yang serupa dengan emas. Bahasa kerennya 'digital gold'. Bitcoin adalah emas, emas digital. Emas adalah batu yang diberi nilai oleh manusia, begitupun Bitcoin. Ia adalah kode angka dalam teknologi blockchain yang diberi nilai oleh manusia.

Karena menganggap Bitcoin sebagai alat investasi, banyak pemain menerapkan strategi jual dan tahan secara jangka panjang. Prinsip ini biasa disebut sebagai hold on for dear life (HODL). Para pemain cukup memindahkan aset-aset Bitcoinnya ke tempat aman untuk dilepas sewaktu-waktu.

Bitcoin dan mata uang virtual lainnya --sebagai produk blockchain-- tidak ada yang mengatur kecuali teknologi yang menyokongnya. Tak ada bank sentral yang bisa mengubah sistem atau aturan main yang sudah ditentukan oleh teknologi blockchain tadi.

Di sinilah keberatan muncul di banyak negara termasuk di Indonesia. BI sampai saat ini konsisten melarang pengoperasian Bitcoin sebagai alat pembayaran. Tapi persoalannya, Bitcoin tidak hanya berperan sebagai alat pembayaran, dia juga alat investasi.

Bitcoin juga sudah menjadi market place besar dengan transaksi mencapai 72 miliar dolar AS. Bitcoin juga merupakan sebuah produk perdagangan. Ia telah menjelma menjadi buku kas atau buku akuntasi raksasa di dunia digital. Tentu, ada peluang menarik pajak besar di sana.

Ini menjadi tantangan Perry Warjiyo. Bagaimana Bank Indonesia menyikapi fenomena revolusi teknologi blockchain yang digadang-gadang sebagai penemuan abad ini. Apakah BI terus menolak tanpa memberikan solusi untuk merambah ke dalam dunia digital yang terus berkembang dengan sangat pesat?

Tantangan kedua, booming teknologi finansial (tekfin/fintech). Suka tidak suka, kita saat ini sudah memasuki revolusi industri keempat (4.0) yang ditandai dengan temuan-temuan besar dalam dunia digital.

Klaus Schwab menggambarkan dengan baik fenomena revolusi industri 4.0 ini: revolusi digital telah mengubah banyak hal, mengubah cara hidup, cara kerja, model bisnis, dan cara berinteraksi satu sama lain. Disrupsi menjadi hal yang tidak terelakkan akibat revolusi keempat ini.

Disrupsi telah melahirkan satu generasi baru yang kreatif, memiliki kesadaran tinggi atas teknologi, dan melampaui batas-batas yang tak pernah terduga sebelumnya. Disrupsi juga membenamkan bisnis-bisnis lama, industri yang tak mau berubah, dan pekerjaan-pekerjaan. Wajah masyarakat di seluruh dunia berubah.

Industri keuangan termasuk yang tidak terelakkan dari perubahan ini. Fintech atau tekfin telah menjadi bagian penting bagi industri keuangan di Tanah Air.

PriceWaterhouseCoopers (PwC) dalam laporan "Financial Service Technology 2020 on Beyond: Embracing Disruption", menempatkan fintech sebagai tema kunci teratas. PwC mengungkapkan bahwa fintech akan mengarahkan industri jasa keuangan pada model bisnis baru.

Hingga 2015, Silicon Valley Bank mencatat volume investasi pada fintech di dunia mencapai lebih dari 12 miliar dolar AS. Pertumbuhan valuasi tinggi tak lepas dari model bisnis tekfin yang tidak lagi berbasiskan bank dirven, tetapi menjadi consumer driven.

Per Desember 2017 sudah ada 235 perusahaan tekfin di Indonesia. Dari jumlah itu, sistem pembayaran mendominasi, (39 persen). Subsektor pembayaran ini terus berkembang dan menguat. Pengguna layanan tekfin terbesar datang dari kelompok milenial kelas menengah, berusia 25-35 tahun, dengan pendapatan Rp 5 juta Rp 15 juta per bulan.

Pelaku subsektor pinjam-meminjam (kredit/pembiayaan) tercatat tumbuh 32 persen pada akhir 2018 dari sebelumnya 15 persen. Dara data OJK, transaksi pembiayaan peer to peer mencapai Rp 2,2 triliun. Lainnya, sebesar 11 persen dari subsektor market provisioning, 11 persen dari manajemen investasi, 4 persen dari insurtech, dan 3 persen dari equity capital raising.

BI jelas memainkan peran penting dalam menjawab tantangan tekfin ini, baik dari sektor pembayaran, pembiayaan, hingga perdagangan. Semuanya transaksi tekfin tentu berkaitan dengan uang beredar, dengan keamanan, suku bunga, hingga penggunaan mata uang rupiah sesuai UU Mata Uang.

Fintech mempengaruhi banyak bisnis, mulai dari e-commerce, hotel dan pariwisata, asuransi, properti, dan lainnya. Bisnis ini membutuhkan pelayanan electronic money, virtual account, agregator, lending, crowdfunding, dan lainnya.

Tantangan ketiga Perry Warjiyo, terkait dengan kebijakan-kebijakan BI terkait moneter, inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, dan suku bunga. Ini ranah 'zaman old' yang memang menjadi peran utama bank sentral. Perry harus menjawab tantangan berakhirnya era bunga rendah. Suku bunga the Fed dipastikan akan dinaikkan lagi pada tahun ini.

Pertumbuhan ekonomi harus terus naik, inflasi dijaga stabilitasnya, dan pentingnya keseimbangan fiskal. Ini semua berkorelasi dengan pembukaan lapangan kerja baru, pengurangan kemiskinan, dan menggerakkan sektor UMKM.

Secara regional, ASEAN menjadi menarik karena bukan hanya merupakan market, namun juga kawasan yang memberikan keuntungan dalam investasi. Banyak investasi langsung masuk ke Indoensia, tapi tentunya suatu waktu akan ada pelarian modal ke depannya.

Pekerjaan rumahnya adalah bagaimana menjaga dana-dana yang masuk itu tetap bertahan di Indonesia. Karena ini berkaitan erat dengan stabilitas nilai tukar rupiah yang menjadi salah satu tugas utama BI.

Dengan segala pengalaman, keilmuan, dan pemahamannya yang komprehensif atas persoalan-persoalan ekonomi terkini dan kebanksentralan, Perry Warjiyo besar kemungkinan mampu menjawab segala tantangan ini dengan baik. Kita tunggu saja kiprah Perry Warjiyo, Gubernur BI yang baru.

* Kepala Republika.co.id

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement