Selasa 20 Mar 2018 08:37 WIB

Deklarasi Antihoaks yang Masif dan Budaya Literasi

Apakah masyarakat mampu mengidentifikasi sebuah pesan mengandung kabar bohong?

Melawan Hoax. Ilustrasi
Foto: Sciencealert
Melawan Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ratna Puspita*

Iringan musik dangdut terdengar dari halaman kantor Wali Kota Bekasi di Jalan Jendral Ahmad Yani, Ahad (11/3). Lebih dari seratus orang berada di depan panggung berjoget dan menggerakkan badan mengikuti iringan lagu yang dilantunkan seorang penyanyi perempuan.

Seusai penyanyi tersebut melantunkan dua lagu, dua orang MC, terdiri dari laki-laki dan perempuan, naik ke atas pentas dan menyapa para penonton di halaman kantor wali kota. Keduanya melontarkan lelucon bahwa para penonton lebih suka menggerakkan tubuh untuk berjoged dangdut daripada berolahraga.

Di sela-sela percakapan tersebut, kedua MC menyampaikan juga pesan antihoaks dan meminta para penonton untuk berhati-hati menyebarkan pesan lewat media sosial, baik media sosial berjaringan seperti Facebook atau percakapan seperti WhatsApp. Tidak hanya itu, acara ini juga menghadirkan komunitas anak muda Bekasi Smart Influencer dan perwakilan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya untuk berbicara mengenai antihoaks.

Pesan-pesan antihoaks yang dikemas dengan hiburan, doorprize, dan pasar atau bazaar ini dikemas oleh Pemerintah Kota Bekasi dalam acara Fun Day Stop Hoax Bekasi Smart City. Acara itu sekaligus dilakukan bersamaan dengan hari bebas kendaraan bermotor atau car free day di Jalan Ahmad Yani serta memperingati hari ulang tahun Kota Bekasi ke-21 tahun.

Kota Bekasi bukan satu-satunya daerah yang mengkampanyekan antihoaks. Deklarasi antihoaks banyak didengungkan oleh banyak daerah belakangan ini menyusul meningkatnya penyebaran berita-berita palsu, bohong, dan kabar fitnah di media sosial.

Pada 15 Desember 2017, misalnya, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan diskusi yang menggandeng jurnalis dan pegiat media sosial. Kampanye antihoaks juga dilakukan oleh jajaran kepolisian dan kelompok masyarakat seperti nelayan di Cilncing.

Presiden Joko Widodo pun menguraikan pesan-pesan antihoaks dalam pidatonya. Jokowi menilai berita hoaks sengaja diciptakan untuk memperkeruh suasana.

Ia pun mengibaratkan media sosial seperti media yang tanpa redaksi dan digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang merugikan. Dia mengatakan media sosial digunakan menyampaikan berita bohong, hoaks, saling menghujat dan juga ujaran kebencian.

Peningkatan aktivitas kampanye antihoaks di daerah ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik di tanah air. Tahun ini dan tahun depan merupakan tahun politik di Indonesia.

Tahun ini, Indonesia akan menyelengarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 di 117 daerah. Sebanyak 17 daerah merupakan setingkat provinsi atau pemilihan gubernur, termasuk gubernur di daerah dengan banyak pemilih seperti Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pada 2018 ini juga partai politik akan sibuk mempersiapkan pesta demokrasi terakbar tahun depan. Ya, pada 2019, Indonesia akan menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) serentak, yakni pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden secara bersamaan.

Bagi kegiatan kehumasan pemerintah, kampanye merupakan bagian dari pemasaran sosial. Kampanye yang dilakukan oleh instansi atau lembaga, baik di daerah maupun pusat, merupakan upaya untuk  menyampaikan informasi, memberikan pesan-pesan mendidik, dan mengajak orang melakukan sesuatu atau persuasi. Philip Kotler dan Eduardo L Roberto (1989) menyatakan pemasaran sosial adalah strategi untuk mengubah perilaku.

Hal yang kemudian terlintas dalam pikiran saya ketika menyaksikan, atau membaca, atau mendengar deklarasi antihoaks terkait efektivitas deklarasi-deklarasi tersebut untuk meminimalisir penyebaran hoaks di masyarakat. Pertanyaan lain yang muncul, yakni apakah masyarakat sebenarnya memahami apa itu hoaks, berita bohong, berita palsu, dan kabar fitnah?

Apakah masyarakat mampu mengidentifikasi sebuah pesan mengandung kabar bohong? Atau jangan-jangan, ada lebih banyak masyarakat yang justru menganggap segala apa yang tertulis dan disebarkan melalui pesan percakapan mengandung sebuah kebenaran?

Kita sekarang berada di era revolusi teknologi komunikasi. Pada era sekarang yang memaksa orang berpikir dalam jangka pendek, sesuatu yang viral menjadi penanda kebenaran, status yang banyak dibagikan menjadi ukuran informasi bisa dipercaya, unggahan yang banyak mendapat tanda suka atau like berarti bisa diipertanggungjawabkan.

Dalam kondisi tersebut, selain kampanye yang dikemas dengan hiburan dan hadiah, hal yang juga perlu digencarkan oleh pemerintah adalah melakukan literasi digital. Literasi atau kemampuan membaca di negara ini sudah menjadi persoalan sebelum internet masuk dan berkembang pesat seperti sekarang.

Komentar tentang buruknya budaya literasi menghiasi sejumlah pemberitaan di masa lalu. Rendahnya kemampuan membaca ini berimplikasi pada tontonan televisi yang lebih banyak mengedepankan acara humor dengan pukulan dan candaan kasar. Sekarang, rendahnya kemampuan membaca atau literasi membuat orang lebih senang dengan informasi-informasi sensasional dan mudah dilupakan alias cepat menghilang.

Karena itu, dengan selalu munculnya hoaks serta kekhawatiran berita bohong dan kabar fitnah pada penyelenggaraan Pemilu 2018, pemerintah seharusnya tidak hanya melakukan kegiatan promosi alias kampanye yang berada di permukaan. Pemerintah juga selayaknya melakukan kampanye hingga ke tingkat masyarakat terkecil, yakni rukun tetangga (RT), untuk mengajarkan mereka tentang literasi digital seperti tidak semua hal yang tertulis di internet adalah kebenaran, mengidentifikasi pesan melalui aplikasi percakapan yang tidak bisa diverifikasi, atau cara mengenali pesan yang memuat kabar bohong dan fitnah.

* Penulis adalah wartawan Republika dan Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement