REPUBLIKA.CO.ID, Benarkah PKI belum mati? Tak ada yang pernah bisa menjawab secara tegas pertanyaan itu. Sejak malam jahanam 30 Oktober 1965 hingga kini, PKI masih hadir sebagai hantu; tak terlihat alias laten. Saat Joko Widodo (Jokowi) berkuasa sebagai presiden dan PDIP menguasai parlemen, isu PKI bangkit atau dibangkitkan oleh sebagian kelompok yang di antaranya kemudian diminta pertanggungjawabannya di muka pengadilan seperti Ustaz Alfian Tanjung.
Alfian Tanjung, yang merupakan dosen Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka (UHAMKA), adalah yang paling berani menyebut istana telah disusupi PKI. Dalam suatu ceramahnya yang kemudian viral di media sosial, menurut Alfian, istana menjadi tempat rutin rapat-rapat para kader PKI. Tidak hanya istana, PDIP juga ikut diserang Alfian. Lewat akun Twitter-nya, Alfian mengklaim 85 persen dari seluruh kader PDIP adalah PKI. Alfian pun hingga kini masih berurusan dengan hukum atas ‘keberaniannya’ itu.
Yang teranyar adalah komentar pendiri Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais. Di sela sebuah diskusi di Bandung, Ahad (18/3) lalu, Amien yang tidak sefrontal Alfian, menyinggung pemerintahan era Jokowi rentan disusupi isu kebangkitan PKI. Amien yang gusar pun bertanya, kenapa rezim Jokowi ‘memberi angin’ membangkitkan PKI?
Menteri Koordinator Maritim Luhut Panjaitan murka atas retorika Amien Rais itu. Saat memberikan pidato di Gedung BPK, Jakarta, Senin (19/3), Luhut yang menyebut Amien sebagai senior mengingatkan mantan ketua MPR itu untuk tidak asal kritik, karena dia bisa mencari dosa masa lalu Amien. Belum jelas, apakah nada ancaman Luhut itu akan berujung pada proses hukum seperti yang terjadi pada Alfian Tanjung.
Panasnya isu kebangkitan PKI ini pun bahan bakar beberapa lembaga survei untuk melakukan penelitian. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada September 2017 merilis hasil surveinya dengan kesimpulan bahwa, isu kebangkitan PKI dimobilisasi oleh kekuatan politik tertentu dan dipercaya oleh preferensi politik tertentu pula. Mereka yang percaya PKI bangkit kebanyakan adalah pemilih PKS (37 persen), Gerindra (20 persen), dan PAN (18 persen).
Berdasarkan, survei SMRC, mereka yang percaya PKI bangkit justru berusia di bawah 21 tahun. Dari sebaran wilayah, responden yang percaya atas isu kebangkitan PKI berada di wilayah DKI Jakarta, Banten, Sumatra Barat, dan Jawa Barat, yang merupakan basis massa pendukung Prabowo Subianto. Dari segi agama, mereka yang percaya PKI akan bangkit adalah muslim (14 persen), ketimbang pemeluk agama lain (1 persen).
Indo Barometer juga belum lama ini merilis hasil surveinya. Meski tidak secara langsung menanyakan kepada responden apakah mereka percaya akan bangkit, hasil survei Indo Barometer menunjukkan bahwa, sebagian responden (45,9 persen) menyatakan Jokowi bukan pendukung PKI. Hanya sekirat 2,5 persen responden yang percaya Jokowi pendukung PKI. Sedangkan, 51,6 responden tidak tahu atau tidak menjawab.
Sadar akan betapa bahayanya isu kebangkitan PKI terhadap tingkat elektoral dirinya di Pilpres 2019, Jokowi berulang kali merespons secara blak-blakan. Mulai dari keluarnya diksi ‘gebuk’ dari mulut Jokowi, sampai upayanya meluruskan logika bahwa tidak mungkin dirinya pernah berfoto dengan DN Aidit lantaran saat PKI dibubarkan, ia masih balita.
Jokowi, lingkaran istana, dan PDIP pastinya tidak akan pernah membiarkan isu kebangkitan PKI menjadi liar. Sehingga gerak cepat langkah hukum selalu menjadi jawaban atas setiap isu laten PKI yang digoreng oleh siapa pun.
Jika kebangkitan PKI masih sekadar isu, tidak demikian kebangkitan keluarga Cendana. Setelah Soeharto dan rezim Orde Baru runtuh pada 1998, kini para pewaris dinasti politik Cendana bergeliat bangkit. Putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy menjadi tokoh sentral Partai Berkarya dan Siti Hediati Hariadi atau terkenal dengan pangggilan Titiek, kariernya tengah moncer di Golkar.
Titiek saat ini bukan cuma kader biasa Golkar, namun adalah Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Golkar. Ia pun tercatat sebagai anggota Fraksi Golkar di DPR untuk periode 2014-2019. Pengaruh Titiek di Golkar terbukti semakin kuat, setelah belakangan muncul keputusan DPP Golkar untuk mengganti Wakil Ketua MPR Mahyudin dengan putri keempat almarhum Soeharto itu.
Memang, setelah era reformasi, putri sulung Soeharto, Siti Hardianti Rukmana (Tutut) telah berpartisipasi pada pemilu 2004 dan 2009 lewat Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). PKPB sempat meraih dua kursi DPR pada 2004, namun kemudian gagal pada pemilu 2009 karena raihan suaranya tak melampaui ambang batas pemilu.
Ada dua partai lain yang pernah didirikan oleh anggota keluarga Cendana, yakni Partai Karya Republik dan Partai Nasional Republik. Namun, dua partai itu tidak pernah ikut pemilu karena lebih dulu gagal lulus verifikasi parpol di KPU.
Lewat Partai Berkarya, Tommy kali ini serius untuk kembali meraih kekuasaan yang pernah dirasakan ayahnya lewat jalur politik praktis. Didirikan tepat pada ulang tahun ke-54 Tommy, Partai Berkarya kemudian mendapatkan legitimasi SK Menkumham pada 13 Oktober 2016. Saat Partai Bulan Bintang (PBB) yang notabene adalah partai lama susah payah lulus verifikasi faktual KPU, Partai Berkarya menjadi di antara partai baru yang lebih dulu dinyatakan sah untuk ikut Pemilu 2019.
Partai Berkarya juga bukan asal lulus verifikasi. Merujuk data KPU, Partai Berkarya memiliki 409.022 anggota dengan tingkat keterwakilan perempuan mencapai 36,36 persen. Jumlah anggota Partai Berkarya lebih tinggi dibandingkan sejumlah partai lama, termasuk jika dibandingkan dengan PDIP yang hanya beranggotakan 339.224 orang. Jumlah anggota PKS dan PKB juga berada di bawah Partai Berkarya, dengan masing-masing dengan 300.158 dan 375.254 anggota.
Saat pengundian nomor urut Pemilu 2019 di kantor KPU pada bulan lalu, Tommy terlihat hadir. Kepada wartawan, Tommy berlanggam realistis dengan enggan mengomentari Pilpres 2019. Target Tommy adalah Partai Berkarya meraup banyak suara di pemilihan legislatif dan mendapatkan jumlah signifikan kursi di parlemen.
Ketua Umum Partai Berkarya Neneng Tutty memberi sinyal, bahwa Tommy kemungkinan baru akan bertarung di Pilpres 2024. Ia berharap jargon Orde Baru seperti trilogi pembangunan, ekonomi kerakyatan, dan swasembada pangan akan laku dijual oleh Partai Berkarya pada kampanye Pemilu 2019. Jika kita membuka laman Partai Berkarya di internet, pada beranda laman tersebut akan terlihat foto wajah Soeharto dengan kutipan, “Rasa syukur yang paling tepat adalah dengan jalan mempertahankan kemurnian cita-cita kemerdekaan dan bekerja keras dan membangun bangsa ini sebagai pengisi kemerdekaan.”
Naïf memang jika Partai Berkarya masih yakin narasi ‘Piye, enak zamanku tho?’ menjadi kunci sukses di Pemilu 2019. Alasannya, SMRC punya data bahwa, 55 persen pemilih pada Pemilu 2019 berada pada rentang usia 17-38 tahun. Adapun, penduduk potensial pemilih pada Pemilu 2019 berdasarkan data Kemendagri mencapai 196,5 juta orang. Itu artinya, sebagian besar pemilih pada Pemilu 2019 tidak bersentuhan dengan memori Orde Baru, apalagi para kaum milenial.
Simpulannya, baik isu kebangkitan PKI dan geliat kebangkitan keluarga Cendana tengah meretas jalan menuju tahun politik 2019. Apakah isu kebangkitan PKI akhirnya berhasil menumbangkan Jokowi? Atau, trah politik Soeharto akan kembali berjaya? Dua pertanyaan itu akan terjawab kurang lebih satu tahun dari sekarang.