Selasa 27 Mar 2018 08:08 WIB

Armada Hantu dan Prediksi Indonesia Bubar

Peter W Singer adalah seorang akademisi jempolan, jebolan Princeton dan Harvard.

Stevy Maradona
Foto: Daan Yahya/Republika
Stevy Maradona

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Stevy Maradona, Jurnalis Republika

Armada Hantu alias 'Ghost Fleet' menjadi novel asing yang paling menyita perhatian publik sepekan terakhir. Novel terbitan 2015 itu dibawa oleh Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto, dalam pidato di satu acara di Universitas Indonesia tahun lalu.

Kemudian oleh Partai Gerindra, pada 18 Maret kemarin, kutipan pidato Prabowo di acara mahasiswa itu dipotong dan ditayangkan di laman resmi Facebook partai. Prabowo dalam pidato itu mengingatkan bahwa ada negara lain sudah memprediksi bahwa pada 2030 Indonesia hancur. Ini yang kemudian diramaikan jagad politik nasional.

Armada Hantu adalah cerita fiksi. Kisahnya tentang adu kuat militer Amerika Serikat, Cina, dan Rusia, di dengan latar Pasifik. Seperti yang ditegaskan oleh pengarangnya Peter W Singer dan August W Cole di halaman pembuka buku itu. "Kisah berikut ini terinspirasi oleh kejadian di dunia nyata dan teknologi. Namun ini tetaplah buku fiksi, bukan sebuah prediksi".

Pengarangnya, Peter W Singer adalah seorang akademisi jempolan. Jebolan dari Universitas Princeton dan Harvard. Singer bekerja di Brookings Institution, lembaga riset dana kajian ternama di Amerika Serikat, serta menjadi konsultan bagi Pentagon.

Sementara pengarang rekannya adalah August Cole adalah mantan wartawan the wallstreet journal dan marketwatch. Biasa meliput isu internasional, kebijakan keamanan dan teknologi.

Buku novel Armada Hantu setebal 416 halaman dengan mencantumkan catatan kaki. Ada ratusan catatan kaki di bagian belakangnya! Catatan kaki itu berisi kutipan dari fakta berita yang melatari plot atau kisah, atau riset terkini yang terkait dengan karakter dan kejadian di dalam buku.

Lalu di mana letak Indonesia di dalam buku ini? Ada di tujuh halaman. Ya, hanya tujuh halaman. Itupun kata 'Indonesia' umumnya hanya muncul dalam satu kalimat, bukan paragraf atau halaman.

Kata 'Indonesia' pertama muncul di halaman 19. "The roughly six-hundred-mile-long channel between the former Republic of Indonesia and Malaysia was less than two miles wide at its narrowest, barely dividing Malaysia’s authoritarian society from the anarchy that Indonesia had sunk into after the second Timor war."

Tidak ada satupun penjelasan soal apa itu Perang Timor yang melanda Indonesia. Atau soal Timor Timur. Atau soal apapun yang membuat Indonesia menjadi korban anarkisme dan bubar sebagai negara. Nihil.

Bagaimana soal catatan kaki? Apakah ada referensi khusus tentang Indonesia di bagian kutipan? Tidak ada pula. Dari 400 lebih sumber kutipan yang disediakan Singer dan Cole, tidak ada satupun yang berjudul Indonesia.

Lalu, bagaimana kita menelaah soal peringatan 'negara bubar' itu? Perlukah kita serius mengkaji situasi tersebut?

Disebutkan di dalam buku, penyebab Indonesia bubar adalah 'Perang Timor', meskipun informasi di dalam buku itu amat minim. Hanya disebutkan terjadi Perang Timor kedua. Lho, kapan memang terjadi Perang Timor pertama?

Bisakah ini peristiwa Presiden Soeharto pada 1975-1976 menginvasi Timor Timur atas persetujuan banyak negara, seperti Amerika Serikat dan Australia. Atau situasi saat pelepasan Timor Timur dari Indonesia pada 1999. Setelah reformasi, Presiden BJ Habibie akhirnya memberi lampu hijau bagi rakyat Timor Timur untuk referendum.

Apakah setelah lepasnya Timtim hubungan dengan Indonesia memanas? Tidak. Hubungan kedua negara sampai kini tetap mesra. Hubungan dagang berjalan baik. Hubungan politik pun demikian. Indonesia menjadi saudara tua bagi Timor Leste. Barangkali lambang kemesraan RI-Timtim paling nyata bisa terlihat saat penyanyi Krisdayanti menikahi pengusaha besar Timtim Raul Lemos setelah cerai dari Anang Hermansyah.

Salah satu masalah yang masih mengemuka paskareferendum adalah pengungsi. Masih banyak pengungsi Timtim di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Kehidupan para pengungsi eks Timtim ini pun dilaporkan masih belum sejahtera. Apakah soal pengungsi ini bisa memicu perang Indonesia-Timor? Rasanya tidak.

Dalam perbincangan di Australia akhir pekan lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan Indonesia tidak ada masalah perbatasan dengan Timor Leste. Perbatasan darat sudah selesai dan disetujui kedua negara.

Perbatasan laut masih menunggu perundingan antara Timor Leste dan Australia. Namun dari konsiliasi rahasia yang dilakukan Timor Leste dan Australia, Menlu mengklaim kedua negara sangat menghormati batas Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement