REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gita Amanda*
Beberapa waktu terakhir, masyarakat diresahkan dengan berita mengenai kasus ditemukannya cacing gilig di dalam tiga merek ikan makarel kemasan. Temuan terbaru oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) semakin meresahkan, karena ternyata tidak hanya tiga tapi ada 27 merek ikan makarel kemasan yang dinyatakan mengandung cacing.
Keduapuluh tujuh merek tersebut di antaranya bahkan merupakan merek-merek yang sangat umum dan bertahun-tahun telah ada di rak-rak pasar maupun swalayan. Sebut saja Gaga, Pronas, Hoki, Botan bahkan ABC.
Padahal ikan makarel kalengan merupakan salah satu menu makanan "cepat saji" andalan para ibu di rumah. Apalagi jelang bulan puasa Ramadhan, biasanya banyak ibu rumah tangga akan memilih ikan makarel kemasan ini sebagai satu dari banyak stok makanan untuk sahur maupun berbuka.
BPOM mengatakan, cacing yang berada di kaleng makarel tersebut sebenarnya sudah mati. Tapi tetap saja, meski sudah mati cacing itu bisa menimbulkan masalah kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Reaksi kesehatannya memang beragam di setiap orang, ada yang langsung mengalami masalah pencernaan seperti diare atau mual dan muntah. Atau ada yang biasa saja.
Yang mengherankan tentu, mengapa kasus temuan cacing ini baru terungkap sekarang. Apakah selama ini BPOM "kebobolan" dalam mengawasi makanan-makanan yang masuk ke dalam negeri atau memang baru kali ini banyak produsen mulai nakal dalam memproduksi produk makanan mereka? Sebab menurut keterangan BPOM dari 27 merek sarden yang mengandung cacing 16 di antaranya berasal dari luar negeri.
Lalu bagaimana tindakan Pemerintah khususnya BPOM mengatasi hal ini? Konon, BPOM telah mengeluarkan surat peringatan keras kepada importir tiga merek sarden. Para importir diharuskan menarik semua produknya dan akan diawasi ketat BPOM. Tapi apa sanksi semacam itu cukup membuat jera para produsen nakal?
Saya jadi ingat, pekan lalu, sebuah berita juga beredar terkait produk makanan kemasan. Polres Metro Jakarta Barat berhasil mengagalkan peredaran puluhan ribu produk makanan dan minuman kedaluarsa. Puluhan ribu! angka tepatnya 96.080 item makanan kedaluarsa. Barang-barang itu bukan sembarang produk, melainkan produk "elit" seperti susu, keju hingga mayonies dengan merek terkemuka.
Produk-produk itu rencananya akan disebar ke sembilan minimarket dan supermarket terkemuka di Tanah Air. Supermarket, tempat yang semestinya memiliki kontrol cukup ketat terhadap produk yang dijajakan.
Cara yang dilakukan para pelaku pun terbilang sederhana. Mereka menghapus tulisan expired, lalu dengan alat sablon khusus menuliskan ulang. Hasilnya para pelaku mampu membuat produk-produk itu secara kasat mata tak ketahuan berbeda dengan produk lain.
Apa jadinya jika konsumen mengkonsumsi makanan kedaluarsa? Tentu ada dampak kesehatannya baik dalam waktu pendek maupun panjang. Tapi apa ganjaran untuk para pelaku?
Di salah satu media disebutkan, pelaku dikenakan Pasal 62 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat 1 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pasal 143 Jo Pasal 99 UU Nomor 18/2012 tentang Pangan. Dalam pasal 99, disebutkan pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 4 miliar.
Dua tahun ganjaran paling lama untuk pelaku. Apa itu juga akan memberi efek jera? Rasanya pemerintah harus lebih ketat dan memberi ganjaran lebih besar bagi para pelaku. Tak lain agar mereka berpikir ribuan kali untuk melakukan "kejahatan" macam ini. Untuk para ibu atau konsumen, tentu harus semakin berhati-hati. Mulai beralih ke makanan organik dan segar mungkin bisa menjadi salah satu pilihan.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id