REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dwi Murdaningsih*
JAKARTA -- Saya ikut senang ketika tarif ojek online (ojol) akhirnya bisa diupayakan naik bagi driver. Ini murni suara hati saya sebagai seorang konsumen ojol. Hampir setiap hari saya menggunakan jasa ojol untuk aktivitas sehari-hari ke kantor.
Saya bahkan hampir menjadikan ojol sebagai salah satu alternatif pertama untuk mobilitas harian. Alasannya tentu saja karena lebih cepat dan efisien. Menggunakan angkot tidak lagi menjadi opsi utama karena kebutuhan untuk mengejar waktu tempuh.
Kenaikan tarif disepakati dalam pertemuan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara bersama perwakilan dari operator angkutan umum daring, Grab dan Gojek, Rabu (28/3).
Sebagai konsumen, diakui tentu saja tarif ojol yang murah menjadi daya tarik sendiri. Belum lagi promo ini itu jika membayar dengan layanan nontunai. Poin yang diperoleh dan dikumpulkan pun bisa ditukarkan dengan benefit lain bagi konsumen.
Perang tarif yang dilakukan belakangan oleh operator ojol di satu sisi menguntungkan konsumen. Tapi, sebagai konsumen saya juga sering bertanya-tanya "Apa driver tidak rugi dengan promo yang begitu jor-jorannya?". Masa iya, mengantar dengan jarak yang cukup jauh, konsumen hanya membayar dengan rupiah tertentu yang jumlahnya sangat sedikit? Berapa uang yang masuk ke kantong driver ojol?
Disini kadang konsumen menjadi serba salah. Konsumen untung. Tapi, bagi konsumen yang sesama pekerja, ada rasa empati bahwa seseorang, apapun pekerjaannya, perlu diperlakukan dengan patut. Pun soal hak penghasilannya. Jangan sampai bekerja dari subuh sampai malam, tapi hanya lelah yang didapat, tidak mendapatkan kesejahteraan yang sewajarnya.
Barangkali, kesabaran para driver itupun habis. Driver ojol melakukan demo. Perwakilan dari pengendara ojek daring meminta agar mereka bisa lebih sejahtera dengan menaikkan pendapatan yang selama ini. Pembagian hasil dari pengendara ojek daring dengan operator dinilai tidak adil dan tidak manusiawi. Kondisi ini jauh berbeda di saat awal-awal ojol baru booming.
Lagi-lagi ini subyektif saya sebagai konsumen, dengan tarif yang dulu sebegitu murahnya pun pelayanan ojol relatif tetap memuaskan bagi saya. Pengemudi sebelumnya dulu bisa mendapatkan Rp 4.000 per kilometer (km), saat ini hanya Rp 1.600 per km.
Akhirnya, operator ojek daring pun menyetujui adanya kenaikan pembagian hasil. Namun, untuk besarannya masih akan dihitung secara rinci sehingga tidak merugikan perusahaan dan masyarakat sebagai pengguna jasa ojek daring.
Soal pembicaraan tarif antara mitra driver dengan pihak aplikator ini patut diapresiasi. Jangan sampai aplikator secara sepihak menentukan kebijakan-kebijakan perusahaan tanpa membicarakan terlebih dulu dengan driver. Jika driver adalah mitra aplikator, sudah selayaknya suara mereka didengar dan dimintai pendapatnya dalam keputusan perusahaan.
Namun, masalah ojol dan transportasi sehari-hari tentu belum selesai dengan pembicaraan ini. Belum diketahui seperti apa hasilnya nanti, namun perlu diingat bahwa sebagian orang menggunakan layanan ojol adalah karena menginginkan kecepatan dan kenyamanan yang diberikan.
Hampir semua orang yang menggunakan layanan ojol karena mereka sudah terlalu lelah dengan kemacetan dan transportasi umum yang kadang cukup menyita waktu. Keberadaan ojol selama ini mengisi pasar di ceruk ini.
Disinilah tugas pemerintah untuk menyediakan transportasi yang cepat dan nyaman terus dinanti-nantikan. Ojol semestinya bukan menjadi satu-satunya andalan jika menginginkan transportasi yang cepat. Harus diakui, meski cukup terjangkau, alokasi pengeluaran untuk membayar jasa ojol tetap lebih besar jika dibandingkan dengan menggunakan transportasi umum.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id