REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Reiny Dwinanda*
Setiap orang tentu punya perspektif tersendiri dalam mencermati suatu masalah. Ketika pendapat itu dikemukakan di ruang publik, bukan mustahil orang akan menguliti gagasan tersebut sesuai dengan referensi pengetahuannya masing-masing.
Puisi Sukmawati Soekarno Putri, contohnya. Sebagai budayawati, Sukmawati mengaku membuat puisi “Ibu Indonesia” semata untuk mewakili perasaan orang Indonesia yang tak mengenal syariat Islam.
Dia mengangkatnya dari realitas yang dijumpainya di Indonesia Timur, khususnya dearah-daerah yang tidak mengenal syariat Islam. Puisi itu dibacakannya di panggung Indonesia Fashion Week sebagai bagian dari peringatan 29 tahun desainer kebaya Anne Avantie berkarya.
Anne Avantie merupakan salah satu perancang yang identik dengan kebaya. Desainer yang karyanya menjadi favorit sejumlah selebritas ini juga terkenal sebagai penulis buku rohani Kristen dan aktivis sosial.
Dari bait pertama, Sukmawati telah mengawalinya dengan “Aku tak tahu syariat Islam.” Pengakuan itu menuntun masyarakat untuk menyelami maksud baris demi baris berikutnya.
Akan tetapi, sebagai buah karya seni, puisi bebas diinterpretasikan. Sebagian warganet mulai berang begitu menyimak baris kedua bait pertama dan bait seterusnya.
“Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu. Gerai tekukan rambutnya suci, sesuci kain pembungkus wujudmu.”
Penggalan bait pertama tersebut minimum punya dua arti. Sukmawati seolah mengidentikkan konde dengan perempuan ibu Indonesia. Di lain sisi, orang bisa saja menyimpulkan putri Sang Proklamator tengah membanding-bandingkan perempuan berkonde dengan perempuan bercadar serta perempuan berjilbab dengan yang memilih membiarkan rambutnya terurai.
Kecaman warganet semakin keras ketika menyimak bait kedua “Ibu Indonesia”. Sukmawati menuliskan, “Lihatlah ibu Indonesia, saat penglihatanmu semakin asing, supaya kau dapat mengingat, kecantikan asli dari bangsamu…”
Sukmawati menutup bait kedua dengan pernyataan terbuka, “Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif, selamat datang di duniaku, bumi ibu Indonesia.”
Di mata sebagian warganet, bait kedua “Ibu Indonesia” terkesan menafikkan keindonesiaan perempuan berjilbab. Stereotipe jilbab sebagai budaya Arab pun menguat.
Bagi sebagian Muslimah, puisi tersebut terasa menyakitkan jika dimaknai demikan. Apalagi, kebebasan Muslimah untuk berpakaian sesuai dengan ekspresi ketaatannya dalam beragama adalah “barang baru” di negara yang penduduknya mayoritas Muslim ini.
Betapa tidak, di Indonesia, baru 33 tahun silam Muslimah diperkenankan mengenakan jilbab sebagai bagian dari seragam di sekolah umum. Peraturannya yang membolehkan pakaian khas keagamaan bagi pelajar baru ada pada tahun 1991.
Sementara itu, di rumah sakit, pada 2009 pun perawat masih harus berjuang demi mendapatkan haknya untuk berjilbab. Kepolisian baru tiga tahun lalu memiliki payung hukum atas seragam jilbab, sedangkan TNI menyusul setahun kemudian. Di luar itu, sampai hari ini masih saja ada perusahaan yang melarang karyawatinya untuk berjilbab.
Kegeraman warganet memuncak ketika mendengar, membaca bait ketiga puisi gubahan Sukmawati. “Aku tak tahu syariat, yang kutahu suara kidung ibu Indonesia sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan adzanmu.”
Warganet yang berdoa dengan melantunkan kidung bisa jadi menemukan relevansi dengan puisi Sukmawati. Sementara itu, sang penggubah syair menganggapnya sebagai autokritik terhadap sesama Muslim. Dia merasa perlu mengungkapkan “protes” itu lantaran kerap menjumpai banyak muadzin bersuara parau yang melantunkan panggilan untuk shalat.
Sebagian warganet menganggap tak elok membandingkan kidung dengan adzan. Lebih jauh, sebagian anak negeri menganggap keseluruhan isi puisi Sukmawati ibarat lagu lama yang membawa nostalgia suram akan era represif terhadap umat Islam dan era ketika dikotomi keislaman dan keindonesia masih mengemuka.
Kembali ke judul “Ibu Indonesia”, siapakah sebenarnya sosok itu? Ibu Indonesia, perempuan Indonesia, sejatinya menampilkan dirinya dengan sangat beragam, tak sebatas mereka yang berkonde dan berkebaya. Keindonesiaan kita ditentukan oleh sejauh apa kita menginternalisasikan nilai-nilai luhur bangsa ini, bangsa yang menghargai kemajemukan.
Dear Ibu Indonesia,
Kita memang berbeda-beda
Kamu berkonde, aku bercadar
Aku bergamis, kamu berkebaya
Itu bukan alasan untuk terpencar
Tantangan hidup semakin berat
Ketika masyarakat terkepung maksiat
Ibu Indonesialah tumpuan harapan
Ibu Indonesialah yang menguatkan
Jangan risau, janganlah gundah
Setiap hari membawa berkah tersendiri
Mari tengahi yang bermasalah
Demi persatuan anak negeri
*Penulis adalah wartawan Republika