REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Mohammad Akbar (Twitter: @akbar_akb)
Ada rasa getir yang membelit tat kala menerima kenyataan kalau cabang olahraga (cabor) sepak bola bukanlah cabang yang diharapkan untuk menyumbangkan medali pada gelaran Asian Games 2018 yang akan digelar di Indonesia, Agustus mendatang. Sebagai olahraga terpopuler di dunia dan di Indonesia, sampai kini cabor ini masih dibelit pada persoalan-persoalan yang terkait dengan integritas kepemimpinan, tata kelola kompetisi hingga pembinaan pemain usia dini yang masih jauh dari kata ideal.
Tak heran kalau kemudian pemerintah -- dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) -- hanya menempatkan sepak bola ke dalam cluster yang tidak berpotensi medali di Asian Games 2018. Rujukan pun diperkuat dengan daftar peringkat FIFA. Hingga pertengahan Maret silam, Indonesia berada di peringkat ke-162 dunia. Di level Asia, posisi Indonesia berada di bawah negara-negara yang dilanda konflik internal seperti Afganistan, Palestina, Suriah, Irak maupun Lebanon. Di dalam kawasan Asia Tenggara, pasukan Garuda Merah Putih justru telah tertinggal dari negara semacam Myanmar, Thailand, Filipina, hingga Vietnam.
Lalu haruskah para penggemar sepak bola negeri ini hanya meratapi nasib tanpa pernah tahu sampai kapan kehinaan ini bakal berakhir? Ah, maafkanlah jika kata hina itu harus disematkan untuk menggambarkan kondisi sepak bola Indonesia yang masih miskin prestasi. Padahal, sokongan dan harapan publik tak pernah surut dalam membakar semangat para pemain timnas Indonesia. Sayangnya sampai kini, PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi sepak bola Indonesia sepertinya hanya pandai berperan sebagai pemberi harapan palsu (PHP) saja.
Edy Rahmayadi yang telah terpilih sebagai ketua umum PSSI periode 2016-2020 serta mendapatkan restu dari pemerintah, rupanya belum terlihat istiqomah menjalankan amanah. Lebih ironisnya, para elite PSSI justru dengan lapang dada memberikan restu kepada Edy untuk menjalani cuti sebagai ketum karena yang bersangkutan hendak menyalurkan niatnya bertarung pada pemilihan kepala daerah Sumatera Utara. Rasanya, inilah dagelan nyata di saat sepak bola Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang sungguh-sungguh untuk memberikan prestasi.
Dagelan lain yang tak kalah konyol adalah molornya waktu penyelenggaraan kompetisi Liga 1 2018. Penyebab utamanya karena urusan utang yang belum dilunasi operator kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB) jelang kompetisi 2018. Sebagai organisasi yang diklaim sebagai operator kompetisi profesional, LIB masih menyisakan persoalan tuntutan klub yang meminta pembayaran sisa subsidi kompetisi Liga 1 2017. Selain masalah tersebut, persoalan keributan antarklub suporter sampai kini masih belum terentaskan. Meski sejumlah usaha mediasi telah dirintis, namun kenyataannya keributan suporter masih saja menghiasi kompetisi di negeri ini.
Menyaksikan situasi sepak bola semacam ini, rasanya menjadi sangat wajar kalau kemudian pemerintah hanya menempatkan cabor ini ke dalam cluster olahraga yang tidak berpotensi medali. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menstimulus lahirnya prestasi sepak bola di negeri ini? Rasanya, mendatangkan pelatih sekaliber Luis Milla belumlah cukup untuk mengatasi persoalan.
Mengapa? Jika hendak ditelaah lebih mendalam, sesungguhnya masalah utama dari sepak bola Indonesia ini terkait dengan integritas kepemimpinan. Dalam satu dekade terakhir ini telah terbukti dengan adanya konflik kekuasaan yang membelit PSSI telah memperlihatkan terjun bebasnya prestasi sepak bola negeri ini di pentas internasional. Konflik ini terus langgeng karena elite-elite PSSI itu masih enggan move on serta selalu saja berlindung di balik Statuta FIA yang mengharamkan intervensi pemerintah untuk melakukan pembenahan.
So, ketika kegelisahan itu didiskusikan secara langsung kepada Menpora Imam Nahrawi saat menyambangi redaksi Republika pertengahan pekan ini, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini langsung menjawab,"Apakah perlu kami membekukan lagi (PSSI)?"
Jika melihat situasi dan prestasi sepak bola yang masih miskin seperti sekarang, rasanya pilihan melakukan pembekuan terdengar ekstrem. Tapi, itulah pilihan yang harusnya dipilih kalau kita -- para penggemar sepak bola -- tak ingin selamanya terhina oleh negara lain. Tentunya, pembekuan yang pernah dilakukan tiga tahun silam menjadi pelajaran besar buat pemerintah bahwa mereka harus waspada terhadap para 'penumpang gelap' yang ingin memanfaatkan situasi untuk kembali berkuasa.
Jadi kapan dibekukan lagi PSSI, Pak Menteri?