REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Indira Rezkisari*
JAKARTA – Di era digital, makanan sukses menjadi salah satu obyek gaya hidup. Kini, memotret makanan sama pentingnya dengan memotret foto diri untuk diunggah ke laman media sosial.
Di zaman digital perusahaan, pemilik bisnis, hingga pemerintah pun mau tidak mau harus mengeluarkan uang untuk berpromosi di platform daring. Termasuk dalam urusan makanan.
Pemerintah lewat Kementerian Pariwisata baru saja mengumumkan lima makanan Indonesia yang akan diusung sebagai national food. Harapannya, lewat makanan pariwisata Indonesia bisa dilirik lebih banyak turis.
Mari lalu bicara soal makanan yang diangkat sebagai national food. Yang pertama adalah rendang, soto, lalu disusul oleh nasi goreng di tempat ketiga. Kemudian sate dan terakhir adalah gado-gado.
Pemerintah tapi akan banyak fokus pada soto, ketimbang rendang yang sudah lebih dulu populer sejak dinobatkan media CNN sebagai salah satu dari 40 makanan wajib cicip di dunia. Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan soto bersifat lebih fleksibel.
Soto lebih mudah dibuat dan mudah ditemukan di seluruh Indonesia. Ragam soto Indonesia juga sangat banyak, tercatat ada 72 macam.
Soto juga makanan yang bukan tanpa sejarah di Tanah Air. Inilah salah satu kuliner hasil peleburan budaya dengan imigran Cina yang datang ke Indonesia. Di Cina dikenal caudo atau cauto yang merupakan makanan berupa sup babat. Dalam Bahasa Cina Hokkian, makanan itu disebut dengan nama sauto.
Hasil peleburan budaya makan orang Indonesia dengan imigran India juga bisa ditemukan di semangkok soto. Pengaruh bumbu kari India, dengan penggunaan kunyit, daun kari, serta santan, dan berkuah kental bisa ditemukan di beberapa varian soto di Sumatra yang dikenal memiliki hubungan dagang dengan India.
Konon, sebutan soto populer pertama kali di Semarang. Beda daerah juga menghasilkan penyebutan yang berbeda. Seperti coto di Makassar, tauto di Pekalongan, hingga sroto di Banyumas.
Intinya, tetap sama. Soto adalah sepiring makanan berkuah gurih dengan berbagai isian. Dimakan dengan teman perasan jeruk nipis dan sambal serta kerupuk.
Memilih soto dibanding rendang untuk dijadikan jagoan juga tak salah dari segi estetika. Buat kalangan yang memotret makanan dulu sebelum dilahap, jelas foto soto lebih mudah ditata lebih cantik dibandingkan rendang. Bukannya menghina rendang, tapi memotret rendang agar lebih cantik lebih membutuhkan banyak usaha ketimbang soto.
Bicara soal makanan di media sosial, supaya soto dan empat makanan Indonesia lain yang akan dipromosikan lebih populer Pemerintah bisa menggalang kampanye tagar resmi untuk national food tersebut. Kampanye tagar di media sosial rasanya bisa membangkitkan antusiasme penikmat kuliner Indonesia untuk mengunggah foto soto, rendang, nasi goreng, sate, dan gado-gado.
Gandeng pula blogger, praktisi kuliner, selebritas, hingga penikmat kuliner populer di media sosial untuk mempopulerkan makanan Indonesia unggulan tersebut. Dari media sosial, masyarakat masa kini mendapatkan informasi soal tempat makan enak, cara memasak makanan tersebut, hingga cerita atau sejarah tentangnya.
Pemerintah juga bisa menggandeng produsen makanan untuk meracik bumbu-bumbu jadi dari beragam soto di Indonesia. Tak perlu jauh-jauh ke Medan jadinya jika ingin makan soto medan, sebab dengan bumbu jadi tukang masak di rumah cukup membeli bahan-bahan segarnya lalu memasaknya dengan bumbu jadi. Dengan begitu makanan Indonesia bisa tetap lestari di dapur rumah.
Saya menekankan pentingnya faktor makanan Indonesia lestari di dapur rumah. Dapur rumah yang saya maksud di sini tentunya dapur rumah generasi milenial ya, bukan dapur orang tua saya yang sudah pensiun jadi punya banyak waktu atau punya asisten rumah tangga untuk mengulek bumbu rendang dari dasar dan memasaknya berjam-jam di kompor hingga hitam dan nikmat.
Dapur generasi milenial berbeda karena anak muda ingin kepraktisan, anak muda hingga keluarga masa kini juga kadang tidak punya waktu untuk menyiapkan bahan makanan Indonesia dari A sampai Z. Saya misalnya, selalu sangat terbantu dengan tukang bumbu di pasar. Untuk memasak opor, saya cukup menumis bumbu, memasukkan ayam, air, santan, lalu jadilah makanan praktis khas Indonesia. Tidak kalah mudah dari membuat spageti atau frittata atau rosemary roast chicken.
Bumbu jadi dalam kemasan menarik kemudian bisa dilempar ke pasar swalayan di luar negeri. Bayangkan, bumbu jadi soto betawi di pasar swalayan di Amerika bisa dilirik seorang wanita yang pernah membaca atau melihat soal soto di media sosial. Jadilah, terhidang soto betawi di meja makan wanita asing tersebut. Lalu kemudian membawanya tertarik terbang ke Indonesia untuk berlibur dan mencicipi langsung soto betawi di kota asalnya.
Go international juga membuat mitra media sosial yang digandeng Pemerintah untuk mempopulerkan makanan Indonesia harus bekerja lebih keras dengan menulis keterangan atau caption terkait national food dalam Bahasa Inggris pula. Why? Tentu supaya orang asing mengerti isi captionnya.
Langkah berikutnya, mungkin pemerintah bisa meniru upaya Thailand yang memiliki program resmi terkait pengembangan kuliner negaranya. Yaitu dengan membuka banyak restoran Thailand di luar negeri. Pemerintah Thailand pun memiliki divisi khusus untuk membina juru masak agar bisa menghasilkan rasa makanan Thailand yang autentik di mana pun berada.
Pekerjaan rumahnya memang masih panjang. Tom yum Thailand bisa memiliki rasa autentik karena bahan baku yang asli Thailand lebih mudah ditemukan di pasar di luar negeri. Untuk menggapai itu pun dibutuhkan sinergi tak hanya menjadi pekerjaan Kementerian Pariwisata dan Badan Ekonomo Kreatif saja. Kementerian lain dibutuhkan partisipasinya supaya koki di luar negeri bisa dengan mudah mendapatkan bahan baku untuk meracik soto dengan cita rasa autentik.
Semoga soto segera bisa mendunia.
*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id