REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agung Sasongko, S.sos, wartawan Republika
Beberapa tahun lalu, saya terbilang rutin menyaksikan secara khidmat prosesi syahadat. Haru dan bersyukur, karena banyak saudara-saudara kita yang mantap memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Peluk erat dan ucapan selamat secara tulus, saya sampaikan kepada mereka yang sungguh luar biasa berjuang mencari kebenaran hingga akhirnya menemukan kebenaran itu.
Saya jadi teringat betapa luar biasanya pengalaman Salman Al Farisi radhiyallahu 'anhu, sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau seorang Majusi dari Persia yang taat. Jalan hidupnya berubah ketika bertemu rombongan pedagang dari Syam. Singkat cerita, dia pun mendengar kisah datangnya nabi terakhir yang berada di Madinah.
Akhirnya suatu sore hari, Salman bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ia berkata pada Rasulullah, "Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang shalih, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedikit sedekah, dan menurutku kalian lebih berhak menerima sedekahku ini daripada orang lain."
Salman menyerahkan bekal kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu ia bersabda pada sahabatnya, "Silakan kalian makan." Sementara beliau tidak menyentuh sedekah itu dan tidak memakannya. Salman berkata pada dirinya, "Ini satu tanda kenabiannya."
Di hari berikutnya, ia memberikan makanan yang sama dengan akad hadiah kepada Rasul, dan akhirnya dimakan sebagiannya. Salman kembali berkata pada dirinya, "Inilah tanda kenabian yang kedua." Tanda kenabian ketiga didapatkan setelah ia melihat tanda kenabian di antara punggung Rasul. Dan saat itulah ia yakin beliau adalah seorang nabi. Salman menangis bahagia seraya memeluk Rasulullah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda pada Salman, "Geserlah kemari." Salman lalu menceritakan perjalanan hidupnya dan keadaannya saat ini. Namun, ia masih tersendara akibat belenggu perbudakan yang melilitnya. Sang majikan hanya akan membebaskannya dengan tebusan sebesar 300 pohon kurma. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyerukan kepada para sahabat untuk membantu Salman.
Ilustrasi Mualaf
Para sahabat membantu dengan memberi pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberikan 30 pohon atau 20 pohon, ada yang 15 pohon dan ada yang 10 pohon. Masing-masing sahabat memberikan pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul benar-benar 300 pohon.
"Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari aku akan meletakkannya di tanganku," sabda Rasulullah. Salman menanam tunas kurma dengan dibantu para sahabat.
Salman sangat gembira mendapati kenyataan dia diterima jauh melebihi apa yang dicita-citakannya. Yang awalnya hanya ingin bertemu dan berguru, kemudian menjadi anugerah pengakuan sebagai Muslim di tengah-tengah kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang disatukan sebagai saudara.
Penulis meyakini, banyak kisah perjuangan yang begitu inspiratif berada di saudara-saudara kita yang baru memeluk Islam. Kemudian mereka begitu tulus dan ikhlas menghadapi beragam konsekuseni dari apa yang mereka putuskan. Tak diakui keluarga, terbuang dari kenikmatan dunia, dan banyak pengalaman pahit yang mereka rasakan.
Lalu, muncul pertanyaan, bagaimana kita menyambut mereka. Tak sedikit dari kita mungkin akan merasa risih ketika membantu mereka. Atau bisa jadi, kita bingung dengan apa kita membantu mereka. Penulis menyakini, umat Islam dididik untuk peduli terhadap sesama. Persoalan hanyalah bagaimana membantu mereka?
Dari sekian perbincangan dengan sejumlah mualaf yang pernah penulis temukan, mereka hanyalah ingin belajar tentang Islam secara kaffah. Sementara sebagian dari kita tentu ada alasan mengapa, berat hati membantu mereka. Salah satunya, karena minimnya pengetahuan agama. Harus diakui, persoalan mengenalkan Islam secara kaffah tidaklah mudah. Celah inilah yang kemudian menjadi sasaran empuk untuk menjauhkan kita dan saudara-saudara kita dari Islam.