REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ani Nursalikah*
Sebuah notifikasi berita baru dari layanan perpesanan masuk ke ponsel saya lima hari lalu. Saya perhatikan masing-masing judul berita utama yang disajikan.
Pandangan saya tertumbuk ke sebuah judul 'Takut Tidur Sendiri, Siswa SMP di Sulsel Ini Nikah di KUA'. "Waduh, pernikahan anak lagi," kata saya dalam hati.
Miris sekali rasanya setiap mendengar pemberitaan anak-anak yang menikah. Lebih dari itu, saya kecewa sekali. Kecewa ke anaknya, jengkel ke orang tuanya dan kecewa ke pihak yang menikahkan.
Apa ya yang ada di pikiran mereka sampai terlintas mengambil jalan menikah? Pikiran mereka kan belum matang. Bla bla bla... banyak yang berkecamuk di benak saya saat itu.
Bukankah masa SMP adalah usia ketika disibukkan dengan les bahasa asing, ikut ekstrakurikuler di sekolah, makan bakso dengan teman-teman, jalan-jalan ke mal dan takut dihukum guru karena tak bisa mengerjakan PR Matematika. Well, itu saya sih.
Menikahkan seseorang bukan hanya perkara 'daripada zina'. Makna pernikahan lebih dari itu. Ada hak dan kewajiban yang timbul dari pernikahan. Pernikahan itu rumit, bahkan bagi orang dewasa sekali pun.
Dari pernikahan akan lahir anak-anak yang kelak meneruskan cita-cita bangsa Indonesia. Untuk mendidiknya tentulah dibutuhkan pondasi keluarga yang kuat, mumpuni, dan ayah dan ibu yang siap mengantarkan putra-putrinya ke gerbang kesuksesan.
Secara psikologis tentu anak belum memiliki kematangan berpikir atau emosi yang stabil yang dibutuhkan dalam pernikahan. Dua hal tersebut bila tak terpenuhi akan membuka jalan bagi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika tak bisa mengatasi masalah rumah tangga, bukan tak mungkin berujung pada perceraian. Terus, masih sempatkah //mikirin// sekolah?
Lalu bagaimana pula bisa menafkahi keluarganya? Di sisi lain, usia remaja adalah masa ketika anak mengalami pubertas. Di saat-saat inilah tubuh anak mengalami perubahan menuju kematangan seksual.
Hubungan suami istri di usia remaja sangat berisiko bagi perempuan karena organ reproduksi baru berkembang. Perempuan yang sering melakukan hubungan seks pada usia sebelum 18 tahun bisa terkena kanker mulut rahim.
Perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun berpotensi keguguran. Selain itu, anak dan ibu rentan terserang penyakit, gizi buruk, dan putus sekolah. Perempuan yang melahirkan pada usia yang belum matang berisiko terjadi komplikasi saat persalinan.
Data Unicef pada 2016 menunjukkan lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah sebelum berusia 18 tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun.
Sederet risiko di atas bisakah menjadi pembenaran alasan 'ketimbang zina'. Bukankah jelas pernikahan dini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Sudah saatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direvisi. Pasal 7 UU tersebut mengatur secara tegas batas usia pernikahan laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun.
Aturan yang dibuat pada 1974 tersebut sudah tidak sejalan dengan upaya memberantas pernikahan dini. Tidak salah rasanya bila wacana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) yang ingin menaikkan batas minimal usia pernikahan di UU Perkawinan dari 19 dan 16 tahun menjadi 22 dan 20 tahun diwujudkan.
Saya jadi ingat UUD 1945 Pasal 28 B yang menyebut setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jika menikah membatasi potensi anak berkembang, membuatnya terjerumus dalam KDRT, membuatnya mengurus anak hingga tak lagi melanjutkan pendidikan, bukankah itu artinya negara justru melanggar hak anak?
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id