REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nidia Zuraya*
Jika disebutkan kata Kuba, mungkin yang pertama kali akan terlintas dalam pikiran kita adalah Fidel Castro. Anak tertua dari petani tebu kaya asal Spanyol ini berhasil mendobrak kesadaran nasional masyarakat Kuba untuk melawan penguasa diktator saat itu, Fulgencio Batista.
Bersama saudaranya, Raul Castro, ia membentuk Gerakan 26 Juli, kelompok gerilya revolusioner yang mencakup Ché Guevara. Mulai tahun 1956, mereka bertempur melawan militer Batista. Hingga pada 1 Januari 1959, Batista mengakui kekalahan dan melarikan diri dari Kuba. Sejak saat itu Fidel mengambil-alih tampuk kekuasaan di Kuba.
Selama hampir 60 tahun kakak beradik Castro menguasai Kuba. Saat berkuasa Fidel melakukan reformasi besar-besaran, termasuk memodernisasi jaringan listrik negara, menyediakan pendidikan dan perawatan kesehatan gratis, dan menciptakan lapangan kerja penuh saat Kuba menjadi negara komunis.
Tetapi perubahan ini harus dibayar masyarakat Kuba dengan harga yang luar biasa. Seperti halnya Batista, Fidel menjelma menjadi penguasa diktator. Protes publik, kebebasan pers, dan kelompok oposisi politik ditekan. Pemilihan umum yang bebas hanya menjadi angan-angan belaka.
Dalam hal pandangan politik global, rezim Fidel Castro berkiblat ke Uni Soviet. Tak hanya dalam hal politik, secara ekonomi Kuba juga bergantung pada Uni Soviet. Terutama saat negara ini diembargo oleh Amerika Serikat dan musuh-musuhnya yang lain. Fidel juga memanfaatkan hubungannya dengan Uni Soviet untuk memperkuat militernya.
Bencana mulai terjadi ketika awal 1990-an Uni Soviet runtuh. Ekonomi Kuba yang banyak bergantung pada Uni Soviet ikut terguncang. Kelaparan melanda Kuba. Ketika kelaparan makin meluas, orang-orang Kuba yang putus asa mulai makan anjing dan kucing.
Puncak dari krisis ekonomi dan tekanan politik di dalam negeri memaksa ratusan ribu orang melarikan diri dari Kuba. Mereka pergi dalam empat gelombang. Pada tahun 1980, puluhan ribu orang Kuba mulai mencari suaka di kedutaan Amerika Selatan. Bahkan putri Fidel sendiri, Alina, ikut membelot.
Meskipun ada eksodus massal, keluarga Castro tetap berkuasa, dan Fidel berhasil menghindari keruntuhan Kuba dengan mengizinkan reformasi terbatas. Setelah Uni Soviet jatuh, ia mengizinkan beberapa bisnis keluarga dan investasi asing. Dia berhenti mendukung militan asing dan memperluas aliansi ekonomi Kuba.
Karena alasan kesehatan, Fidel menyerahkan kekuasaan kepada sang adik, Raul Castro. Fidel secara resmi mengundurkan diri pada tahun 2008. Dia meninggal pada tahun 2016.
Tidak seperti saudaranya, Raul membawa Kuba ke arah yang berbeda. Meskipun secara terbuka mendukung komunisme, Raul juga membuka Kuba bagi investasi perusahaan swasta.
Saat ini, warga Kuba bisa membeli dan menjual rumah mereka sendiri dan menyewakan sebagian tanahnya kepada perusahaan swasta. Reformasi tersebut telah memberikan hasil yang beragam dan lebih sulit dari yang diperkirakan.
Raul juga berupaya menormalkan kembali hubungan dengan Amerika Serikat (AS). Pada 2013, Kuba mulai menegosiasikan pembukaan kembali Kedutaan Besar AS, melakukan pertukaran tawanan dengan AS, dan mengurangi pembatasan perjalanan dan perdagangan dengan AS. Namun, upaya Raul ini kembali terhambat setelah Donald Trump mengambilalih kursi kepemimpinan di AS.
Pada April tahun ini, negara kepulauan itu akan mendapatkan pemimpin baru. Pada 19 April 2018, Raul Castro yang berusia 86 tahun memilih untuk mengundurkan diri. Mundurnya Raul sekaligus menandai berakhirnya era rezim keluarga Castro di Kuba.
Sebagai penerusnya, Raul telah menunjuk Miguel Diaz-Canel untuk menduduki jabatan presiden dan kepala negara Kuba. Diaz-Canel, yang saat ini menjabat sebagai wakil presiden pertama Kuba, akan menjadi pemimpin non-Castro pertama di Kuba sejak revolusi 1959. Ia satu-satunya nama yang diajukan oleh komisi yang didukung partai.
Banyak pihak menilai arah kebijakan politik dan ekonomi Kuba di bawah kepemimpinan Diaz-Canel tidak akan banyak berubah. Ia akan mengikuti arah kebijakan yang digariskan oleh Partai Komunis, partai politik yang berkuasa di Kuba.
Meski tidak lagi menjabat sebagai presiden dan kepala negara, Raul tetap akan memimpin partai. Seperti negara komunis lainnya, Kuba menganut sistem negara satu partai. Dalam sistem ini, seringkali pemimpin partai politik lebih memiliki kekuasaan daripada presiden ataupun kepala negara tersebut.
Keluarga Castro mungkin tidak lagi menduduki kursi kekuasaan, tetapi pemerintahan mereka belum berakhir.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id