REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nuraini*
Eskalasi konflik di Suriah terus meningkat seiring serangan pasukan koalisi yang terdiri atas militer Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris menggempur negara tersebut. Pasukan koalisi menyerang Suriah dengan dalih untuk menghancurkan fasilitas senjata nuklir pemerintahan Bassar Al-Assad. Serangan pasukan koalisi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai perlawanan terhadap ISIS. Apakah ISIS sudah dilupakan?
Serangan AS di Suriah semula menarget pasukan ISIS yang dimulai sejak September 2014. Pemerintah AS mengirimkan 50 pasukan operasi khusus pada 2015. Dua tahun berikutnya perlawanan ISIS mulai melemah. Anggota ISIS disebut telah terdesak dan bersembunyi di dua tempat di Suriah Timur yakni Kota Hajin dan Dashisha. Bahkan, Pemerintahan Trump mengklaim 98 persen wilayah yang dikuasai ISIS telah berhasil direbut.
Pada Januari 2018, Trump menyebut hampir 100 persen wilayah ISIS di Suriah dan Irak telah direbut, sehingga perlawanan terhenti. Meskipun, dalam laporan AP disebutkan, pasukan AS masih membom sisa wilayah yang dikuasai ISIS. Namun, operasi darat pasukan AS berkurang.
Kekalahan pasukan ISIS tersebut tidak membuat konflik di Suriah mereda. Serangan kembali dilakukan oleh pasukan koalisi AS setelah terjadi serangan yang diduga menggunakan senjata kimia pada Sabtu, 7 April 2018 di Douma, Suriah. Serangan di Douma tersebut menewaskan 70 orang. Donald Trump langsung merespons serangan tersebut dengan menuduh Presiden Assad bertanggungjawab atas serangan senjata kimia tersebut. Dalam cicitannya selama dua hari, Trump mengancam akan mengambil langkah militer untuk Suriah.
Tuduhan Trump tersebut dibantah oleh Rusia yang merupakan sekutu Assad. Rusia menyatakan belum ada bukti serangan senjata kimia di Suriah. Namun, pada 13 April, Trump memerintahkan serangan udara bersama pasukan Inggris dan Prancis, untuk menyerang tempat-tempat yang diduga menjadi lokasi fasilitas senjata kimia Suriah.
Serangan pasukan koalisi yang dipimpin AS tersebut tidak menunggu hasil penyelidikan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) yang baru bisa mengirimkan tim penyidiknya ke Douma, Suriah pada Sabtu, 21 April 2018, atau dua pekan setelah serangan senjata kimia. Tim penyidik OPCW telah datang ke Suriah pada 15 April di Suriah. Namun, kunjungan harus tertunda hingga 21 April karena isu keamanan. Pada 17 April 2018, tim keamanan PBB telah memasuki Douma untuk mengecek keamanan kota tersebut untuk dikunjungi tim penyidik OPCW. Namun, tim keamanan PBB tersebut mendapat serangan tembakan senjata yang memaksa tim penyidik menunda kunjungan ke Douma.
Kondisi tersebut membuat Suriah kini menjadi medan perang antarkekuatan dunia. Pasukan koalisi pimpinan AS kontra militer Pemerintah Suriah yang didukung Rusia. Bahkan, belakangan ini, Israel ingin ikut campur dalam serangan militer di Suriah. Israel mengancam menyerang Suriah jika negara tersebut menggunakan sistem pertanahan udara buatan Rusia. Israel kahawatir sistem pertahanan itu digunakan Suriah untuk menyerang negaranya.
Resolusi damai untuk Suriah kerap gagal lolos dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Draf resolusi pembentukan badan ahli untuk menyelidiki dugaan senjata kimia di Suriah tak berhasil lolos di DK PBB. Selain itu, desakan PBB agar perundingan damai Suriah bisa kembali digelar belum juga membuahkan hasil.
Konflik di Suriah telah melenceng jauh dari semula perebutan kekuasaan pemerintahan. Masalah internal negara meluas setelah muncul ISIS yang ingin membuat negara Islam di Irak dan Suriah. Serentetan teror ISIS sempat menguji nyali sejumlah negara. Serangan ke ISIS pun diluncurkan. Tetapi kini, ISIS tak lagi menjadi isu utama. ISIS terlupakan begitu saja.
Saat ISIS kalah, perdamaian tak juga tercipta. Konflik di Suriah telah berlangsung delapan tahun. Perebutan kekuasaan telah membuat rakyat sipil jadi korban. Jika dunia tidak bergerak saat ini, entah isu apalagi yang akan digunakan untuk terus menyulut api konflik di Suriah.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id