Jumat 18 May 2018 05:17 WIB

Teror dan Deteksi Penyimpangan Kelompok Islam

Tindakan teror memang pantas dikutuk.

Teror Bom (ilustrasi)
Foto: republika/bayu hermawan
Teror Bom (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono, wartawan Republika

photo
Arif Supriyono, wartawan Republika

Ledakan dan teror bom di tiga gereja, rumah susun sewa (rusunawa) Wonocolo, serta Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Surabaya menyisakan duka mendalam. Tindakan biadab itu memang pantas dikutuk. Atas nama apa pun, tindakan itu tidak layak dan tidak boleh dilakukan.

Sebanyak 28 nyawa melayang sia-sia. Belum termasuk puluhan lainnya (lebih 55 orang) yang mengalami luka-luka. Tak ada alasan apa pun yang bisa membenarkan perilaku tak berperikemanusiaan tersebut. Dalih apa pun, termasuk ayat-ayat suci semua agama, tidak bisa membenarkan tindakan itu.

Lain persoalan kalau itu terjadi dalam suasana perang. Dalam kondisi perang dan menghadapi musuh nyata yang ingin menghancurkan negara, kehidupan berbangsa, atau identitas agama, tindakan bom bunuh diri masih diterima nalar meski tetap banyak pihak yang tak menganjurkan hal itu. Nyatanya ini sama sekali bukan suasana perang.

Sungguh aneh bila kemudian orang yang dalam kesehariannya tampak mendalami ajaran agama justru bersikap seperti itu. Tentu ada yang salah dalam pemahaman nilai-nilai keagamaan mereka. Tak ada agama yang mengajarkan kebencian atau membunuh umat lain yang tidak mengganggu atau menyerang kehidupan kita.

Islam pun jelas-jelas mengajarkan nilai-nilai perdamaian dan kebersamaan dalam suasana kehidupan yang harmonis. Kalaulah ada kelompok yang secara nyata menyerang kehidupan umat, barulah perlawanan itu perlu dilakukan.

Adagium bahwa Islam adalah agama yang memberi rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam sudah dikenal banyak orang, tak hanya dipahami oleh pemeluknya saja. Surah Al-Anbiya ayat 107 dengan jelas menyebutkan hal itu. Menurut firman Allah, surah itu berbunyi,” Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Ini ajaran yang terang-benderang dalam suasana dan kondisi apa pun. Ajaran itu tak hanya berlaku antara sesama umat Islam, akan tetapi juga degan pemeluk agama lain. Bahkan dengan seluruh isi alam pun, dalam ajaran Islam setiap orang juga harus mampu memberi rahmat atau kasih sayang. Pemeluk Islam harus tak semena-mena kepada semua penghuni alam, baik manusia, binatang, atau tumbuhan.

Makna ‘rahmatana lil alamin’ (rahmat bagi seluruh alam) bisa jadi akan dipahami berbeda-beda oleh setiap umat. Padahal inti dari nilai itu jelas sekali, yakni agar kita menebar kebaikan serta kasih sayang pada semua mahluk hidup di alam semesta. Kunci utama dari nilai kebaikan itu adalah pemahaman dan perilaku umatnya. Jika perilaku umatnya keliru, maka akan ikut tercoreng pula implementasi ajaran agama yang diyakini.

Setiap pemeluk agama sudah pasti ingin memahami dan mengamalkan ajaran agamanya sebaik mungkin. Ini sudah menjadi naluri umat manusia yang ingin bisa hidup damai. Karena Islam itu memiliki ajaran ‘rahmatan lil alamin’, maka barang siapa yang menerapkan nilai agama Islam dengan baik dan benar, maka lingkungan di sekitar orang itu seakan menerima atau mendapatkan rahmat atas tindakan-tindakannya.

Sebaliknya, jika ada orang Islam yang berupaya mendalami dan menerapkan ajaran agamanya, tetapi justru menebarkan rasa ketakutan serta kebencian pada orang lain atau masyarakat di sekitarnya, berarti orang itu tidak bisa memberi rahmat bagi sekalian alam. Berarti, sekali lagi, ada nilai yang salah dipahami orang itu.

Mestinya, semakin seseorang mendalami nilai-nilai ajaran agamanya dengan baik dan benar, maka akan semakin banyak orang lain yang merasakan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya akibat bergaul dengan orang yang mendalami agama tadi. Bukan malah sebaliknya. Jangan sampai terjadi, ada orang yang semakin mendalami nilai-nilai atau ajaran agamanya, justu malah kian menjauhi masyarakat sekitarnya. Jangan pula setelah mendalami ajaran agamanya, justru perilakunya malah merepotkan dan menyusahkan orang lain atau membuat orang lain kian khawatir, terusik, dan bahkan ketakutan.

photo
Infografis teror bom di Surabaya.

Saya yakin, kelompok seperti ini merupakan minoritas dalam Islam di Indonesia. Meski begitu, keberadaannya memang sangat mengganggu. Mereka bukanlah dari kalangan Nahdlatul Ulama, bukan pula Muhammadiyah. Mereka juga bukan dari Alwasliyah, Nahdlatul Wathan, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan yang lain.

Saya kira ada baiknya ulama-ulama Islam di negeri ini yang mewakili semua organisasi massa agama resmi --dimotori Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama-- untuk duduk bersama (menggelar diskusi atau sarasehan) dan membahas keberadaan aliran-aliran agama dan ajarannya yang kian beragam. Bukan tidak mungkin dari sarasehan itu akan ditemukan nilai-nilai ajaran agama yang jauh menyimpang dari induknya.

Bila ditemukan kondisi seperti itu, Kementerian Agama dan MUI-lah yang harus ikut bertanggung jawab untuk menuntun kembali mereka ke jalan yang benar. Apabila ini juga tidak bisa dan tidak mau dijalankan oleh mereka, perlu ada ketegasan dari otoritas pemegang regulasi agama dan lembaga yang menaunginya, bahwa kelompok tersebut telah menyimpang dan lepas dari induk agamanya (Islam). Ini penting agar masyarakat paham dan bisa mengantisipasi aktivitas setiap ajaran yang menyempal.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement