REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita*
Sepertiga malam terakhir pada Sabtu, 12 Mei 2018, baru berjalan separuhnya. Dua orang perempuan ditangkap anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri di Masjid Al Ikhwan, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Dari keduanya, polisi menyita barang bukti berupa dua lembar kartu tanda penduduk (KTP), dua unit telepon selular, dan satu bilah gunting. Kedua perempuan itu diduga merencanakan penyerangan dengan cara mendatangi Mako Brimob.
Keduanya bakal mendatangi Mako Brimob untuk memberikan makanan kepada para narapidana teroris. Polisi menyebutkan satu dari dua perempuan itu rencananya akan menyerang polisi menggunakan gunting saat pemeriksaan makanan.
Belakangan, diketahui usia kedua perempuan itu. Seorang berusia 18 tahun dan lainnya 23 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk (diduga) terjebak dalam jaringan terorisme.
Dugaan keterlibatan keduanya dalam jaringan teroris menunjukkan pergeseran pada aksi terorisme di Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) pada masa lalu tidak pernah menggunakan perempuan sebagai ‘senjata’.
Psikolog Universitas Indonesia (UI) Mira Noor Milla yang mendalami masalah terorisme mengatakan penyerangan menggunakan perempuan merupakan strategi milik ISIS. Termasuk kelompok yang menyatakan dukungan untuk ISIS.
ISIS menggunakan perempuan sebagai senjata karena keberhasilannya lebih tinggi. Sebab, perempuan seringkali tidak dilabeli sebagai penjahat.
Selain itu, perempuan dianggap lebih militan, setia, dan taat ketika telah didoktrin. Mira menjelaskan dalam merekrut perempuan, jaringan terorisme menawarkan perjodohan.
Keberadaan pasangan hidup bagi perempuan dianggap akan mampu mengisi kekosongan kebermaknaan identitas. "Disempurnakan oleh pasangan hidupnya," kata Mira.
Pelibatan perempuan bukan satu-satunya hal yang mencengangkan pada aksi terorisme di Indonesia yang terjadi hampir dua pekan terakhir. Jaringan teroris masa kini juga memanfaatkan keluarga yang masih memiliki anak-anak kecil.
Pada Ahad (13/5) malam, sebuah bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Polisi menyatakan bom itu tidak sengaja meledak.
Bom rakitan seorang ayah bernama Anton Febrianto (47 tahun) itu turut meledakkan juga ibu, Puspita Sari (47) dan anak perempuan tertua RAR yang baru berusia 17 tahun. Tidak hanya itu, bom juga melukai dua anak lainnya, FP (11) dan GHA (10).
Seorang anak laki-laki satu-satunya di keluarga itu tidak terluka. AR, remaja berusia 15 tahun itu, membawa kedua adiknya yang terluka ke rumah sakit.
Saya mendengarkan penjelasan kejadian Rusunawa Wonocolo melalui rekaman suara Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Frans Barung pada Senin (14/5) pukul 02.30 WIB. Reporter Republika Dadang Kurnia, yang melakoni akhir pekan luar biasa mulai dari meliput Presiden Joko Widodo di Pasuruan pada Sabtu (12/5), tiga bom di gereja di Surabaya pada Ahad pagi, hingga melewatkan tengah malam di Sidoarjo, mengirimkan rekaman itu melalui pesan percakapan.
Ketika mendengarkan suara Frans, saya merasa sedih. AR sebaya dengan keponakan saya, yang lebih banyak mengisi hari-harinya dengan belajar, mempersiapkan ujian kenaikan kelas, dan bermain dengan teman-temannya.
AR justru harus menyaksikan kakak dan ibunya meninggal karena bom. Seolah tidak cukup, dia harus membopong dua adik perempuannya yang juga terluka karena bom.
AR bisa jadi tidak pernah terpikir bakal berada dalam kondisi tersebut. Kondisi di mana dia harus menyaksikan adik-adiknya yang seharusnya masih riang bermain terluka karena bom hasil rakitan ayahnya.
Ayahnya, Anton, tidak tewas dalam peristiwa ledakan bom yang tidak disengaja itu. Dia tewas karena berupaya melawan polisi. Bahkan, menurut polisi, dia masih memegang bom.
Beberapa jam sebelum bom tidak sengaja meledak itu, ada kesedihan lain terkait pelibatan anak-anak dalam jaringan teroris ini. Pasangan Dita Oeprianto dan Puji Koeswanti membawa empat anaknya untuk meledakkan bom di tiga gereja berbeda.
Kesedihan muncul ketika membaca bahwa salah satu anak Dita-Puji, FH (16), sempat menangis satu malam sebelum kejadian itu. FH, yang belum pada cukup usia untuk menentukan yang baik untuknya, melakukan aksi itu bersama kakaknya yang baru menjejak usia dewasa, Yusuf Fadil (18 tahun).
Malam sebelum pengeboman tiga gereja di Surabaya atau pada Sabtu, tetangga menyaksikan Firman menangis pada malam hari sebelum pengeboman di tiga gereja di Surabaya. "Biasanya suka cium tangan dan pelukan sama anaknya seusai shalat tapi pas itu tidak tahu kenapa anak laki-laki keduanya menangis. Ya sekitar shalat maghrib pada Sabtu lalu," ujar Khorihan selaku ketua RT 02/03 di lokasi tempat tinggal FH bersama kedua orang tuanya,.
AIS adalah anak lain yang juga dilibatkan dalam aksi teror. Gambar gadis berusia delapan tahun itu berdiri setelah ledakan di Mapolrestabes Surabaya menjadi viral beberapa hari lalu.
Pelibatan anak-anak dalam aksi terorisme ini boleh jadi memiliki alasan yang sama dengan perempuan: anak-anak tidak mungkin dicurigai sebagai pelaku kejahatan. Orang dewasa yang membawa anak dianggap tidak mungkin melakukan sesuatu yang keji seperti meledakkan bom.
Saya pun teringat sebuah drama Korea berjudul Angry Mom (2015) yang menunjukkan bagaimana orang dewasa bukan hanya memanipulasi anak-anak untuk melakukan kejahatan. Orang dewasa memanfaatkan celah dalam hukum, yakni anak-anak adalah korban sehingga tidak dapat dihukum.
Dengan celah tersebut, orang dewasa kerap ‘menjebak’ anak-anak untuk melakukan kejahatan. Cara itu agar orang dewasa bisa cuci tangan atas kejahatan tersebut. Orang dewasa memasukkan pikiran-pikiran sehingga anak-anak mau melakukan tindakan melanggar hukum.
Bukan berarti saya sepakat dengan usulan anak-anak harus diperlakukan sebagai pelaku dalam hukum. Bagaimanapun, anak-anak yang melakukan tindak kejahatan adalah korban dari pola pengasuhan orang dewasa.
Kendati demikian, pelibatan anak-anak dalam aksi ini hendaknya membuat kita lebih waspada. Kondisi ini menunjukkan pergeseran lain dalam jaringan terorisme. Nilai-nilai terorisme, seperti menghancurkan yang berbeda dengan dirinya, tidak lagi sebatas diajarkan, melainkan masuk dalam pola pengasuhan.
Mengutip Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto, pola penyusupan paham terorisme (infiltrasi terorisme) ini dilakukan secara bertahap. Caranya, dia mengatakan, orang tua akan memulai dengan cara menanamkan kebencian pada sistem negara, pemerintah, dan aparat.
Pola pengasuhan ini membuat pelibatan anak-anak dalam aksi terorisme terjadi dalam berbagai level. Susanto menyebutkan pelibatan anak-anak terjadi lewat peran eksekutor, perencana dan pengatur lapangan, mentor, penyandang dana, dan simpatisan.
*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id