Rabu 23 May 2018 14:24 WIB

Negara Muslim Bersatu tak Bisa Dikalahkan?

Negara Muslim sibuk berkelahi dan menghindar ketika dihadapkan oleh musuh mereka

Seorang warga Palestina membawa ketapel pada peringatan 70 tahun hari Nakba (hari di mana warga Palestina diusir secara besar-besaran oleh Israel) di Ramallah, Tepi Barat Palestina, Selasa (15/5)
Foto: Mohamad Torokman/Reuters
Seorang warga Palestina membawa ketapel pada peringatan 70 tahun hari Nakba (hari di mana warga Palestina diusir secara besar-besaran oleh Israel) di Ramallah, Tepi Barat Palestina, Selasa (15/5)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Nur'aini, Editor Republika.co.id untuk isu-isu Internasional

 

Tragedi yang terjadi di jalur Gaza selama aksi protes Hari Nakba telah menewaskan ratusan warga Palestina. Jumlah korban tewas akibat aksi pembunuhan oleh tentara Israel tembus di atas 100 jiwa jika dihitung sejak dimulainya protes warga Palestina pada 30 Maret lalu. Bahkan, korban luka telah menembus 12 ribu orang sejak protes untuk memperingati pengusiran warga Palestina oleh Israel tersebut bergulir.

Hanya dalam sehari, yakni tepatnya saat Amerika Serikat meresmikan gedung kedutaan besarnya di Yerusalem pada 14 Mei 2018, sebanyak 62 warga Palestina tewas. Lima di antara korban tewas itu adalah anak-anak dan 2.700 orang terluka. Jatuhnya korban tersebut karena tentara Israel menembakkan peluruh dan gas air mata ke arah demonstran yang hanya berjarak ratusan meter dari perbatasan Gaza dan Israel.

Kejadian tersebut mengundang tanya, apa tindakan negara Muslim?

Seruan paling keras agar negara Muslim bereaksi dikemukakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Ia meminta para pemimpin negara-negara Muslim untuk bersatu menghadapi Israel. Ia menyerukan hal itu dalam KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul pekan lalu (18/5).

Gelombang protes terhadap kekejaman tentara Israel juga disuarakan masyarakat di Asia, Eropa, Timur Tengah, hingga Afrika Utara. Kecaman demi kecaman dilayangkan. Akan tetapi, justru negara Muslim yang terlihat loyo dalam merespons aksi keji Israel menembaki demonstran Palestina.

Respons aksi keji Israel sebenarnya telah datang dari OKI yang menggelar KTT Luar Biasa di Istanbul. KTT tersebut dihadiri sejumlah kepala negara. Akan tetapi, Arab Saudi hanya mengirimkan seorang pejabat senior Kementerian Luar Negeri. Selain itu, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab hanya mengirimkan pejabat dari tingkat yang lebih rendah.

Pertemuan OKI tersebut menghasilkan seruan agar PBB membuka penyelidikan internasional terhadap aksi pembunuhan di Gaza. OKI juga mendesak PBB untuk memberikan perlindungan internasional untuk Palestina. Selain itu, OKI menyerukan pembatasan ekonomi terhadap setiap negara, perusahaan, atau individu yang mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem.

Langkah responsif terhadap tragedi Gaza juga telah ditunjukkan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang menggelar pemungutan suara untuk menentukan pengiriman tim penyidik kejahatan perang internasional. Tim tersebut akan menyelidiki penembakan terhadap demonstran di Gaza yang dilakukan pasukan Israel.

Hasil dari pemungutan suara tersebut, 29 anggota Dewan HAM PBB setuju mengirim tim penyidik internasional independen. Pengiriman itu ditentang oleh dua anggota dewan yakni AS dan Australia. Sementara, 14 angggota lainnya abstain. Tim tersebut diminta untuk membuat laporan pada akhir Maret tahun depan terkait pelanggaran dalam konteks serangan militer terhadap aksi protes di Gaza yang dimulai pada 30 Maret 2018.

Kecaman, seruan, dan langkah responsif lembaga internasional tersebut tentu tidak akan efektif saat Israel dapat melakukan apa saja di wilayah Palestina, dengan dukungan dari AS. Aksi militer Israel dan pendudukan wilayah Palestina tak pernah sampai ke pengadilan internasional. Kondisi itu diperparah dengan keengganan negara-negara Muslim untuk melawan Israel karena berbagai kepentingan.

Mengutip pernyataan Erdogan, Negara Muslim terlalu sibuk berkelahi dan menghindar ketika dihadapkan oleh musuh mereka. Pernyataan Erdogan itu bisa jadi menyinggung ulah boikot negara Timur Tengah terhadap Qatar. Selain itu, Arab Saudi sibuk menggempur Yaman. Sementara, negara-negara itu tak pernah secara terang-terangan menganggap Israel sebagai musuh bersama.

Penderitaan rakyat Palestina sejak 1947 bisa jadi berlanjut dalam eskalasi konflik yang terus memuncak jika kondisi negara Muslim masih sama, enggan bergerak nyata. Boikot secara ekonomi atau bahkan sanksi keras terhadap Israel tak juga muncul dari negara-negara Muslim tersebut. Oleh karena itu, keyakinan Erdogan bahwa kelakuan semena-mena Israel terhadap Palestina bisa dilawan jika negara Muslim bersatu, sepertinya perlu diamini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement